Saya membeli buku ini di Islamic Book Fair Jakarta 2011 yang lalu. Bersamaan dengan 2 buku serial anak-anak mamak yang lain (selain Eliana--yang belum terbit). Buku ini yang pertama kali saya khatamkan.
Kisah dalam buku ini seakan begitu dekat dengan saya, sebagai anak desa yang hidup di kota. Kisah tentang keindahan dan kenyamanan desa, membuat saya selalu terpikir untuk kembali ke desa dan mendidik anak2 saya kelak lewat kearifan alam dan desa.
Istri saya punya adik laki-laki. Masih kecil, sekolahnya juga masih TK. Dia mulai belajar membaca. Saat pulang kampung, istri saya seringkali menceritakan kisah tentang Burlian; keberanian, keceriaan, kepolosan, dan kepandaian si anak. Sosok Burlian itu lalu tertanam begitu kuat dalam diri adik ipar saya itu. Dia seperti sangat mengidolakannya. Padahal, ia tak membaca buku Burlian itu sendiri.
Istri saya kerap menggunakan senjata nama "Burlian" itu untuk membujuk adiknya. Misalnya, saat adik ipar itu malas makan, istri saya membujuknya lewat kata-kata:
"Nanti gak seperti Burlian lho. Burlian itu rajin makannya." kata istri saya.
Begitulah, adik ipar saya yang masih TK itu pun segera bersemangat makannya.
Suatu ketika, adik saya itu jatuh. Ia pun meringis kesakitan. Hendak menangis keras. Istri saya kembali mengeluarkan senjata rahasianya. Ya, senjata itu bernama "Burlian".
"Mas, Burlian itu kalau jatuh gak nangis, lho... Burlian itu kuat dan hebat. Meski jatuh, Burlian tetap tersenyum dan bangkut lagi," ujar istri saya menyemangati.
"Iya ya, Neng?" kata adik saya, "Aku mau seperti Burlian deh. Gak nangis." Ia tersenyum kembali dan melanjutkan aktivitasnya.
Begitulah, sosok Burlian telah menginspirasi tak hanya bagi pembacanya, tapi juga orang lain di sekitar pembacanya.
Kisah dalam buku ini seakan begitu dekat dengan saya, sebagai anak desa yang hidup di kota. Kisah tentang keindahan dan kenyamanan desa, membuat saya selalu terpikir untuk kembali ke desa dan mendidik anak2 saya kelak lewat kearifan alam dan desa.
Istri saya punya adik laki-laki. Masih kecil, sekolahnya juga masih TK. Dia mulai belajar membaca. Saat pulang kampung, istri saya seringkali menceritakan kisah tentang Burlian; keberanian, keceriaan, kepolosan, dan kepandaian si anak. Sosok Burlian itu lalu tertanam begitu kuat dalam diri adik ipar saya itu. Dia seperti sangat mengidolakannya. Padahal, ia tak membaca buku Burlian itu sendiri.
Istri saya kerap menggunakan senjata nama "Burlian" itu untuk membujuk adiknya. Misalnya, saat adik ipar itu malas makan, istri saya membujuknya lewat kata-kata:
"Nanti gak seperti Burlian lho. Burlian itu rajin makannya." kata istri saya.
Begitulah, adik ipar saya yang masih TK itu pun segera bersemangat makannya.
Suatu ketika, adik saya itu jatuh. Ia pun meringis kesakitan. Hendak menangis keras. Istri saya kembali mengeluarkan senjata rahasianya. Ya, senjata itu bernama "Burlian".
"Mas, Burlian itu kalau jatuh gak nangis, lho... Burlian itu kuat dan hebat. Meski jatuh, Burlian tetap tersenyum dan bangkut lagi," ujar istri saya menyemangati.
"Iya ya, Neng?" kata adik saya, "Aku mau seperti Burlian deh. Gak nangis." Ia tersenyum kembali dan melanjutkan aktivitasnya.
Begitulah, sosok Burlian telah menginspirasi tak hanya bagi pembacanya, tapi juga orang lain di sekitar pembacanya.
No comments:
Write komentar