Bapak Membuatkan Papan Tulis di Dinding
Hari ini saya
membaca sebuah artikel tentang pendidikan anak. Artikel yang dimuat di rubrik Family
Harian Seputar Indonesia itu berjudul “Mengasah Kecerdasan dengan Menggambar”.
Dalam artikel, disebutkan salah satu cara meningkatkan kecerdasan anak adalah
dengan memberinya ruang yang lebih luas baginya untuk menggambar. Lewat menggambar
atau mewarnai, kreatifitas anak mulai terasah dan terbentuk. Bahkan disebutkan,
anak umur 5-12 yang terbiasa menggambar di rumah akan lebih mudah memahami
pelajaran di sekolah. Bahkan, kegiatan menggambar jauh lebih bermanfaat bagi
anak daripada membaca atau berhitung.
Artikel juga
menyebutkan, anak sebaiknya diberikan fasilitas yang memadai untuk menuangkan
imajinasinya dengan memberikannya perangkat menggambar dan mewarnai. Tapi,
walaupun sudah disediakan kertas gambar, anak kerapkali lebih suka menggambar
di dinding. Sebabnya, ukuran gambar yang besar di dinding membuat anak merasa
terlibat dalam kehidupan tokoh imajinasi yang digambarnya. Berbeda dengan
kertas gambar yang minim.
Soal menggambar
ini, setidaknya saya teringat dua sosok. Yang satu, beliau sudah tiada. Meninggalkan
dunia ini. Sebaliknya, yang kedua masih bocah. Baru duduk di kelas taman
kanak-kanak.
Sosok yang pertama
adalah Bapak. Saya tak yakin Bapak pernah membaca artikel semacam ini. Yang menyebutkan
ada keterkaitan antara kebiasaan menggambar dengan kecerdasan. Yang menyatakan
anak harus diberikan ruang yang luas untuk menuangkan imajinasinya. Namun,
Bapak melakukan itu—ketika saya kecil. Karena keterbatasan ekonomi, Bapak tidak
mampu membelikan kami whiteboard plus spidolnya. Ataupun kertas gambar
beserta aneka crayon dan pensil warna. Semuanya tak ada sama sekali dalam
kehidupan masa kecil saya.
Di bagian dinding
samping rumah saya, ada jendela besar seukuran papan tulis. Karena belum ada
biaya, Bapak belum bisa memasang jendela kayu (dan kaca) di sana. Untuk menyiasatinya,
Bapak menutupnya dengan tripleks dan kemudian memakunya. Bisa dibilang belum
ada fungsi jendela di sana. (Tulisan lain tentang jendela ini, bisa dibaca di
blog adik saya).
Seperti halnya
anak kecil lainnya, masa kecil saya juga senang coret-coret. Di buku-buku atau
di dinding. Kreatifnya Bapak, beliau lalu berinisiatif membeli cat hitam. Nah,
bagian dalam triplek di jendela itulah yang dicat oleh Bapak. Kata beliau waktu
itu, ini untuk papan tulismu. Maka, aku dengan setia menunggui beliau
mengecat seluruh bagian papan tulis itu. Bahkan, mungkin sok bantu-bantu
ngecat.
Bapak lalu membelikanku
sekotak kapur tulis warna putih. Persis seperti yang ada di sekolahan, aku
begitu bahagia. Maka, petualanganku dimulai di sana. Selalu ada gambar yang kugoreskan
di papan itu. Menurut Emak, dua gambar favoritku (aku bahkan sudah lupa
tentang ini) adalah sosok Hulk dan Kura-kura Ninja. Dua tokoh idola
anak-anak di masa kecilku. Terkadang, Bapak juga membelikanku kapur berwarna
sebagai tambahan coret-coret.
Sosok kedua adalah
adik iparku. Alim Musthofa, bocah kelas taman kanak-kanak punya bermacam
tingkah yang menggelikan dan bikin gemas. Di antara hal yang membanggakan
adalah ia juga senang dengan buku dan menggambar. Maka, tiap kali pulang
kampung aku selalu berusaha membawakannya buku-buku cerita untuknya. Lalu,
Mbak-nya yang kebagian membacakan atau menceritakan isi buku. Terkadang, saya
juga kebobohan baca cerita juga. Ia juga sangat suka menggambar dan mewarnai.
Saat di rumah, saya browsing di internet gambar-gambar dasar
(hitam-putih) yang disediakan untuk mewarnai. Saya unduh dan print. Setelah
itu, si Alim ini akan khusuk dalam dunianya mewarnai gambar.
Saya akui, saya
tak pintar menggambar. Gambar saya sangat jelek. Namun, kerapkali saya coba mengajarkan
si Alim menggambar tokoh yang ada di dalam buku yang habis saya bacakan. Ia begitu
bersemangat. Lalu, dia akan mencontoh gambar yang saya buat atau mewarnainya. Katanya,
gambar Mas Olid bagus. Hehehe...
Kalau sudah
terlanjur asyik menggambar, makan pun harus disuapi sambil “bekerja”. Jika sudah
begitu, saya hanya dapat menyesali diri tak terlalu pintar menggambar.
No comments:
Write komentar