Diskusi itu terjadi sekitar setahun
lampau. Usai mengimami tarawih sebuah musholla kecil. Seseorang yang
jauh lebih senior menghampiri. Saya tahu, ia berasala dari ormas yang di
berbeda pandangan dalam beberapa masalah fikih. Tiba-tiba ia
melontarkan logika yang saya kira sangat aneh. Terkait jumlah rakaat
shalat tarawih.
“Emang mau ikut sopir apa ikut kondektur,” ujarnya. Saya paham ia
merujuk pada jumlah rakaat shalat malam Nabi SAW dan Umar bin Khattab.
Nabi disebutnya sebagai sopir dan Umar disebutnya kondektur. Logika
yang—menurut saya—benar, tapi membodohi dalam konteks pemahaman
beragama.
Dalam riwayat shahih yang kita terima, Rasulullah SAW shalat malam di
masjid Nabawi pada bulan Ramadhan. Para sahabat lalu berkumpul
mengikuti beliau. Jumlah sahabat yang ikut berjamaah semakin banyak dan
berlipat-lipat. Shalat jamaah itu berlangsung hingga malam kedua atau
ketiga. Berapa jumlah rakaatnya? Tidak ada penjelasan terkait jumlah
rakaatnya. Pada malam ketiga atau keempat, Rasulullah SAW tidak hadir ke
masjid. Para sahabat galau menunggu Rasulullah di masjid. Hingga tiba
azan Subuh, barulah Rasulullah keluar ke masjid.
“Aku tahu kalian menungguku sepanjang malam ini. Tidak ada alasan
yang menghalangiku keluar selain rasa kuatir shalat ini akan diwajibkan
kepada kalian,” begitu kira-kira penjelasan Nabi SAW usai shalat Subuh
di hadapan para sahabat. Sahabat mengerti alasan beliau.
Dalam riwayat shahih lainnya, Aisyah RA, istri Rasulullah menjelaskan
shalat malam beliau, “Rasulullah tidak menambah di dalam bulan Ramadhan
dan tidak pula mengurangkannya dari 11 rakaat. Beliau melakukan sholat 4
rakaat dan janganlah engkau tanya mengenai betapa baik dan panjangnya,
kemudian beliau akan kembali sholat 4 rakaat dan jangan engkau tanyakan
kembali mengenai betapa baik dan panjangnya, kemudian setelah itu beliau
melakukan sholat 3 rakaat.” Riwayat ini shahih. Namun, yang perlu
diingat, ini tidak menjelaskan secara spesifik sebagai shalat tarawih.
Sepertinya Aisyah RA hanya menjelaskan bentuk shalat malam Rasulullah
SAW saat di rumah.
Ada riwayat lain yang shahih di masa Umar bin Khattab. Di masjid,
para sahabat membentuk kelompok-kelompok sendiri untuk berjamaah shalat
di malam bulan Ramadhan. Umar yang melihat “ketidakberesan” ini,
memutuskan shalat di bawah satu imam, Ubay bin Ka’ab. Jumlah rakaatnya
saat itu adalah 23 rakaat—termasuk witir 3 kali. Mulai saat itulah,
shalat Tarawih dikenal dengan jumlah 23 rakat yang disebut Umar sebagai
sebaik-baiknya bid’ah.
Mari kita lihat data berapa jumlah rakaat shalat Tarawih?
Dalam kitab Wadhaif Ramadhan, karya Abdurrahman
bin Qasim Al-Hambali (bermadzhab Hambali) disebutkan beberapa riwayat
sebagai berikut:
- Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah SAW melaksanakan shalat di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat.”
- Menurut Syaikh Taqiyuddin: shalat Tarawih dilaksanakan 20 rakaat.
Itu adalah pendapat yang masyhur di kalangan mazhab Ahmad dan Syafi’i.
Dalam madzhab Imam Malik, sebanyak 36 rakaat. Tarawih juga boleh
dilaksanakan sebanyak 11 atau 13 rakaat. Semuanya bagus. Banyak dan
sedikitnya rakaat ditentukan oleh seberapa lama dan pendeknya waktu
berdiri (dalam shalat).”
- Para sahabat ada shalat tarawih dalam jumlah rakaat yang sedikit,
ada pula yang dalam jumlah banyak. Urusan jumlah rakaat, tak ada nash
syara’ yang menyatakan dengan tegas. Yang terpenting adalah terpenuhinya
semua rukun shalat. Esensi shalat sendiri adalah hadirnya hati dan jiwa
dalam menghadap Allah SWT. Dan, keadaan itu tidak akan tercapai dalam
shalat yang penuh ketergesaan dan super cepat. Maka, kesimpulannya, 10
rakaat yang dilakukan dengan perlahan-lahan, penuh ketenangan dan khusuk
jauh lebih baik daripada 20 rakaat yang dilakukan dengan cepat dan
buru-buru.
Logika tentang Rasulullah sebagai sopir dan Umar sebagai kondektur
dalam masalah seperti ini tentu saja berbahaya. Membodohi umat yang
“mualaf” dalam memahami urusan agama. Rasulullah SAW bahkan menegaskan:
mengikuti 4 Khalifah sesudah beliau adalah seperti mengikuti beliau.
Khalifah Rasyidin adalah pemimpin-pemimpin umat pilihan yang diberikan
keistimewaan dan jaminan masuk surga.
Mudahnya begini; kalau Anda ngotot ikut sopir dan tak mau ikut
kondektur, ya jangan sekali-kali membaca Al-Quran dari teks-teks yang
ada di kertas, cetakan, atau file-file komputer. Silakan membaca
Al-Quran di media batu-batuan, kulit unta, pelepah kurma, dan segala
media yang digunakan pada masa Rasulullah SAW untuk menuliskan Al-Quran.
Bukankah pengumpulan Al-Quran dalam satu mushaf baru mulai dilakukan
pada zaman Umar, yang kemudian dilanjutkan oleh Sahabat Utsman bin
Affan?
Bekasi, 7 Juli 2013
*Catatan kecil Ramadhan 2013
1 comment:
Write komentar