Ilmu hadits itu unik.
Sekalipun yang kita katakan benar.
Atau diniatkan untuk kebaikan.
Atau terbukti menjadi pemicu orang semakin baik nan shalih, tetap saja kita dilarang mengatasnamakan Nabi saw. Atau menyebut: ini hadits dari Rasulullah saw.
Pelaku model begini sama saja telah memesan tempat duduk di neraka.
Ngeri sekali.
Pejuang kebaikan ngawur seperti ini, bukannya menghadirkan surga, justru melahirkan ancama neraka.
Misalnya,
Penceramah karena saking semangatnya ngajak jamaah untuk shalat Tarawih. Lantas berdalil:
Siapa yang melaksanakan shalat Tarawih pada malam pertama, pahalanya seperti pahala Nabi Adam.
Shalat Tarawih malam kedua, pahalanya seperti Nabi Idris.
Dst.
Lantas, menyebut fadhilah-fadhilah tersebut dari hadits Nabi saw.
Jelas.
Ini salah besar.
Secara fiqih dan tarikh, hadits yang disebutkan penceramah itu palsu (maudhu').
Nabi hanya menyebut secara umum; qiyamullail. Nama Tarawih sendiri baru muncul pada zaman Khalifah Umar ra.
Nah, perilaku "semangat" beragama yang keliru seperti ini ancamannya neraka.
Atau misalnya,
Ada yang semangat mengajak orang membaca tahlil sambil gedek-gedek. Lalu, menyebutkan fadhilah-fadhilah gedek2 saat tahlil--sambil menyebut itu dari hadits Rasulullah saw.
Padahal,
Belum jelas juga riwayatnya benar.
Belum tentu juga itu didhawuhkan oleh Baginda Rasul.
Karena itu,
Perlu waspada tingkat tinggi saat mempromosikan sebuah amaliah itu sunnah Nabi atau dilakukan Nabi saw.
Cek bener-bener haditsnya.
Kalau mau aman, ya bilang saja di kitab ini.
Kata ustadz ini.
Kata ulama ini. Dst.
Tritunggal, 20 Januari 2019
@mskholid
@ruanginstalasi
~ sambil mendengar kontroversi "alkantara" 😁
Sekalipun yang kita katakan benar.
Atau diniatkan untuk kebaikan.
Atau terbukti menjadi pemicu orang semakin baik nan shalih, tetap saja kita dilarang mengatasnamakan Nabi saw. Atau menyebut: ini hadits dari Rasulullah saw.
Pelaku model begini sama saja telah memesan tempat duduk di neraka.
Ngeri sekali.
Pejuang kebaikan ngawur seperti ini, bukannya menghadirkan surga, justru melahirkan ancama neraka.
Misalnya,
Penceramah karena saking semangatnya ngajak jamaah untuk shalat Tarawih. Lantas berdalil:
Siapa yang melaksanakan shalat Tarawih pada malam pertama, pahalanya seperti pahala Nabi Adam.
Shalat Tarawih malam kedua, pahalanya seperti Nabi Idris.
Dst.
Lantas, menyebut fadhilah-fadhilah tersebut dari hadits Nabi saw.
Jelas.
Ini salah besar.
Secara fiqih dan tarikh, hadits yang disebutkan penceramah itu palsu (maudhu').
Nabi hanya menyebut secara umum; qiyamullail. Nama Tarawih sendiri baru muncul pada zaman Khalifah Umar ra.
Nah, perilaku "semangat" beragama yang keliru seperti ini ancamannya neraka.
Atau misalnya,
Ada yang semangat mengajak orang membaca tahlil sambil gedek-gedek. Lalu, menyebutkan fadhilah-fadhilah gedek2 saat tahlil--sambil menyebut itu dari hadits Rasulullah saw.
Padahal,
Belum jelas juga riwayatnya benar.
Belum tentu juga itu didhawuhkan oleh Baginda Rasul.
Karena itu,
Perlu waspada tingkat tinggi saat mempromosikan sebuah amaliah itu sunnah Nabi atau dilakukan Nabi saw.
Cek bener-bener haditsnya.
Kalau mau aman, ya bilang saja di kitab ini.
Kata ustadz ini.
Kata ulama ini. Dst.
Tritunggal, 20 Januari 2019
@mskholid
@ruanginstalasi
~ sambil mendengar kontroversi "alkantara" 😁
No comments:
Write komentar