• Belajar Hemat dari Bapak •
"Cung, lampune ojo lali dipateni. Tivine dipateni."
Begitulah dulu pesan rutin almarhum Bapak setiap malam. Jika saya masih terjaga hingga jam 9 malam lebih. Menonton TV. Kalau saya sudah tertidur duluan, bisa dipastikan Bapak akan selalu mematikan semua lampu dan power listrik di rumah. Termasuk tombol power TV di layar. Bahkan, boster antena pun dicetekkan untuk mati.
Sehingga, ketika menonton TV di malam hari, saya mesti menyalakan timer. Supaya saat ketiduran, TV pun ikut mati.
Kecuali lampu untuk membantu penerangan jalan raya, tidak ada lampu lain yang menyala di dalam rumah. Begitu pun ketika pagi. Hampir tak pernah terjadi lampu penerangan pinggir jalan telat dimatikan. Apalagi sampai keduluan terbitnya matahari.
Pun saat menyalakan 'sanyo' (baca: pompa air). Tidak pernah sekali pun sanyo menyala hingga air amber-amber (meluber). Beliau disiplin "menjaga" sanyo menyala hingga jeding (kolah air) penuh.
Atau jika ada kesibukan lain, almarhum Bapak tidak pernah meninggalkan sanyo menyala tanpa berpesan pada orang lain di rumah untuk selalu mengecek sanyo. Jangan sampai air tumpah-tumpah.
Menyalakan alat listrik pun, beliau menganjurkan untuk bergantian. Jangan sampai sanyo menyala bersamaan dengan setrika. Atau, TV menyala bareng dengan sanyo. dll. Begitulah aturan beliau yang diterapkan pada kami, anak-anaknya. Dan, efeknya tagihan listrik bulanan pun lumayan hemat.
Kebiasaan hemat ini memengaruhi saya hingga sekarang--saat berkeluarga.
Ketika bangun tidur, pertama kali yang saya cari ialah remote AC. Jangan sampai AC menyala di waktu-waktu yang tidak begitu dibutuhkan.
Lalu mematikan lampu-lampu di rumah yang terpaksa menyala di malam hari--untuk mengusir tikus. Agar tidak "ajak-ajak" tumpukan kain dan kaos.
Maka,
Hati saya merasa gak enak saat melihat lampu yang lupa dimatikan hingga mentari bersinar terang. Atau keran air yang menyala hingga amber-amber.
Hingga beberapa tahun ini, ketika sudah berkeluarga. Dan menjadi kepala keluarga, saya merasakan. Betapa seorang Bapak mesti harus siap sewaktu-waktu ketika datang tagihan bulanan.
Listrik di rumah yang mencapai ratusan ribu.
Air dari PAM kadang 100 an ribu.
Wifi indihome yang bisa mencapai 350 an ribu.
Apalagi dengan model token listrik pra-bayar sekarang.
Kita tidak bisa menikmati aliran listrik sebelum membayar duluan.
Seringkali alat meteran tiba-tiba berbunyi: "tit...tit...ti..."
Dan peeeet.... Listrik mati.
Seorang bapak harus ada duit saat itu juga. Untuk beli token.
Makanya, kerapkali ketika saya mengalaminya.
Dan, uang 22,500 ketika itu menjadi saaangat berarti.
Cukup untuk nominal pembelian strom minimal di indomaret.
Tritunggal, 19 Agustus 2019
@mskholid
"Cung, lampune ojo lali dipateni. Tivine dipateni."
Begitulah dulu pesan rutin almarhum Bapak setiap malam. Jika saya masih terjaga hingga jam 9 malam lebih. Menonton TV. Kalau saya sudah tertidur duluan, bisa dipastikan Bapak akan selalu mematikan semua lampu dan power listrik di rumah. Termasuk tombol power TV di layar. Bahkan, boster antena pun dicetekkan untuk mati.
Sehingga, ketika menonton TV di malam hari, saya mesti menyalakan timer. Supaya saat ketiduran, TV pun ikut mati.
Kecuali lampu untuk membantu penerangan jalan raya, tidak ada lampu lain yang menyala di dalam rumah. Begitu pun ketika pagi. Hampir tak pernah terjadi lampu penerangan pinggir jalan telat dimatikan. Apalagi sampai keduluan terbitnya matahari.
Pun saat menyalakan 'sanyo' (baca: pompa air). Tidak pernah sekali pun sanyo menyala hingga air amber-amber (meluber). Beliau disiplin "menjaga" sanyo menyala hingga jeding (kolah air) penuh.
Atau jika ada kesibukan lain, almarhum Bapak tidak pernah meninggalkan sanyo menyala tanpa berpesan pada orang lain di rumah untuk selalu mengecek sanyo. Jangan sampai air tumpah-tumpah.
Menyalakan alat listrik pun, beliau menganjurkan untuk bergantian. Jangan sampai sanyo menyala bersamaan dengan setrika. Atau, TV menyala bareng dengan sanyo. dll. Begitulah aturan beliau yang diterapkan pada kami, anak-anaknya. Dan, efeknya tagihan listrik bulanan pun lumayan hemat.
Kebiasaan hemat ini memengaruhi saya hingga sekarang--saat berkeluarga.
Ketika bangun tidur, pertama kali yang saya cari ialah remote AC. Jangan sampai AC menyala di waktu-waktu yang tidak begitu dibutuhkan.
Lalu mematikan lampu-lampu di rumah yang terpaksa menyala di malam hari--untuk mengusir tikus. Agar tidak "ajak-ajak" tumpukan kain dan kaos.
Maka,
Hati saya merasa gak enak saat melihat lampu yang lupa dimatikan hingga mentari bersinar terang. Atau keran air yang menyala hingga amber-amber.
Hingga beberapa tahun ini, ketika sudah berkeluarga. Dan menjadi kepala keluarga, saya merasakan. Betapa seorang Bapak mesti harus siap sewaktu-waktu ketika datang tagihan bulanan.
Listrik di rumah yang mencapai ratusan ribu.
Air dari PAM kadang 100 an ribu.
Wifi indihome yang bisa mencapai 350 an ribu.
Apalagi dengan model token listrik pra-bayar sekarang.
Kita tidak bisa menikmati aliran listrik sebelum membayar duluan.
Seringkali alat meteran tiba-tiba berbunyi: "tit...tit...ti..."
Dan peeeet.... Listrik mati.
Seorang bapak harus ada duit saat itu juga. Untuk beli token.
Makanya, kerapkali ketika saya mengalaminya.
Dan, uang 22,500 ketika itu menjadi saaangat berarti.
Cukup untuk nominal pembelian strom minimal di indomaret.
Tritunggal, 19 Agustus 2019
@mskholid
No comments:
Write komentar