• Pohon Barokah •
Seorang guru besar kampus negeri di Malang. Profesor asli Bluluk (atau Sukorame - Lamongan) bercerita. Sekitar 20 tahun lalu, dia sekeluarga punya beberapa hektar kebun mangga. Untuk perawatan, keluarga mereka menitipkan pada beberapa orang tetangga di kampung. Selain dijamin beras dan kebutuhan pokoknya, tukang penjaga dan perawat kebun mangga itu diberikan kebebasan untuk mengambil buah mangga.
Beberapa kali panen, mangga tersebut "ndadi". Menghasilkan buah yang amat banyak. Dalam setahun, bisa memperoleh hasil lebih dari 60 juta (zaman itu). Jumlah yang amat banyak.
Pada suatu ketika, keluarga pemilik kebun mangga berniat "njagakno" panen mangga di tahun itu untuk berangkat umroh bersama. Para tukang kebun dipesan untuk menjaga dengan baik mangga-mangga di kebun. Tidak boleh ambil mangga banyak-banyak. Secukupnya saja untuk dimakan keluarga tukang kebun.
Apa yang terjadi?
Ternyata, hasil panen merosot tajam. Banyak yang baru kenthil sudah ambyar.
Banyak bakal buah yang rontok kesambar angin.
Gagal panen tahun itu. Hasil penjualan, gak mencapai 10 juta.
Gagal pula berangkat umroh sekeluarga.
.
Emak punya sebatang pohon mangga di belakang rumah.
Seingat saya, sudah 2 atau 3 kardus air mineral yang dibawakan untuk keluarga saya di Babat. Selain untuk keluarga Babat, hasil panen sebatang pohon itu juga sudah diratakan untuk keluarga Drajat.
Bahkan, cerita Emak, sudah dibagi-bagi rata ke tetangga sekitar rumah.
Tiap rumah dapat belasan buah. Ada yang puluhan buah.
Pernah ditawar bakul. Tapi, tidak pernah dijual.
Hanya dibagi-bagi dan dimakan untuk keluarga di rumah.
Sampai hari ini, sejak panen pertama kali, sekitar sebulan lalu.
Pohon mangga itu masih tetap berbuah.
Bahkan, siang ini, Emak sudah menyiapkan 3 packing mangga. Setara 2 kardus. Yang katanya disuruh bagi untuk keluarga di Babat.
Itu pun, di pohon, masih ada banyak buah yang belum dipanen.
Saya heran.
"Kok jek ono? Kok ora entek-entek?"
Padahal, pohonnya kecil saja.
"Jariyah-e seng nandur iki," kata saya--sambil merujuk almarhum Bapak.
Eh, ternyata yang nandur Emak sendiri. Sekitar 8 atau 9 tahun lampau. Saat Bapak sudah sakit-sakitan.
"Pantesan, kok semangat bagi-bagi," ujar saya lebih lanjut. "Wong ndolek ganjarane dewe kok." 😂
Adek saya nyeletuk,
"Iyo, Cak. Aku wae diancam; ora oleh negor wit iki nek Mae wes gak onok."
Hehehe...
"Yo iyolah..."
Itulah cara bersedekahnya orang kampung.
Duit gak punya banyak. Ceramah di panggung, gak ada kesempatan. Apalagi di televisi. Apatah upload ngaji di channel youtube, malah gak punya kemampuan.
Pohon itu, sekalipun tidak menghasilkan buah, ia tetap menghasilkan pahala bagi orang yang menanam dan merawatnya.
Daunnya menghasilkan O2 yang bermanfaat bagi hidup manusia.
Sebagai makhluk Allah, pohon itu pun bertasbih. Tiap tasbihan pohon, pastinya bermanfaat bagi si penanam dan perawatnya.
(تُسَبِّحُ لَهُ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتُ ٱلسَّبۡعُ وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِیهِنَّۚ وَإِن مِّن شَیۡءٍ إِلَّا یُسَبِّحُ بِحَمۡدِهِۦ وَلَـٰكِن لَّا تَفۡقَهُونَ تَسۡبِیحَهُمۡۚ إِنَّهُۥ كَانَ حَلِیمًا غَفُورࣰا)
[Surat Al-Isra' 44]
"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun."
Di surah Yasin yang kerap kita baca, Allah SWT menegaskan bahwa Dia akan mencatat (sebagai kebaikan) atas semua yang sudah kita lakukan di dunia. Dan atas semua (bentuk kebaikan) yang kita tinggalkan di dunia. Salah satu bentuk kebaikan yang kita tinggalkan itu, bisa jadi adalah sebuah pohon yang terus dijaga dan dirawat.
(إِنَّا نَحۡنُ نُحۡیِ ٱلۡمَوۡتَىٰ وَنَكۡتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَـٰرَهُمۡۚ وَكُلَّ شَیۡءٍ أَحۡصَیۡنَـٰهُ فِیۤ إِمَامࣲ مُّبِینࣲ)
[Surat Ya-Sin 12]
"Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh)."
Masjid Desa Drajat, 15 Nopember 2019
@mskholid
~ Terkenang masa kecil di bangunan--yang kini berubah semegah ini.
Seorang guru besar kampus negeri di Malang. Profesor asli Bluluk (atau Sukorame - Lamongan) bercerita. Sekitar 20 tahun lalu, dia sekeluarga punya beberapa hektar kebun mangga. Untuk perawatan, keluarga mereka menitipkan pada beberapa orang tetangga di kampung. Selain dijamin beras dan kebutuhan pokoknya, tukang penjaga dan perawat kebun mangga itu diberikan kebebasan untuk mengambil buah mangga.
Beberapa kali panen, mangga tersebut "ndadi". Menghasilkan buah yang amat banyak. Dalam setahun, bisa memperoleh hasil lebih dari 60 juta (zaman itu). Jumlah yang amat banyak.
Pada suatu ketika, keluarga pemilik kebun mangga berniat "njagakno" panen mangga di tahun itu untuk berangkat umroh bersama. Para tukang kebun dipesan untuk menjaga dengan baik mangga-mangga di kebun. Tidak boleh ambil mangga banyak-banyak. Secukupnya saja untuk dimakan keluarga tukang kebun.
Apa yang terjadi?
Ternyata, hasil panen merosot tajam. Banyak yang baru kenthil sudah ambyar.
Banyak bakal buah yang rontok kesambar angin.
Gagal panen tahun itu. Hasil penjualan, gak mencapai 10 juta.
Gagal pula berangkat umroh sekeluarga.
.
Emak punya sebatang pohon mangga di belakang rumah.
Seingat saya, sudah 2 atau 3 kardus air mineral yang dibawakan untuk keluarga saya di Babat. Selain untuk keluarga Babat, hasil panen sebatang pohon itu juga sudah diratakan untuk keluarga Drajat.
Bahkan, cerita Emak, sudah dibagi-bagi rata ke tetangga sekitar rumah.
Tiap rumah dapat belasan buah. Ada yang puluhan buah.
Pernah ditawar bakul. Tapi, tidak pernah dijual.
Hanya dibagi-bagi dan dimakan untuk keluarga di rumah.
Sampai hari ini, sejak panen pertama kali, sekitar sebulan lalu.
Pohon mangga itu masih tetap berbuah.
Bahkan, siang ini, Emak sudah menyiapkan 3 packing mangga. Setara 2 kardus. Yang katanya disuruh bagi untuk keluarga di Babat.
Itu pun, di pohon, masih ada banyak buah yang belum dipanen.
Saya heran.
"Kok jek ono? Kok ora entek-entek?"
Padahal, pohonnya kecil saja.
"Jariyah-e seng nandur iki," kata saya--sambil merujuk almarhum Bapak.
Eh, ternyata yang nandur Emak sendiri. Sekitar 8 atau 9 tahun lampau. Saat Bapak sudah sakit-sakitan.
"Pantesan, kok semangat bagi-bagi," ujar saya lebih lanjut. "Wong ndolek ganjarane dewe kok." 😂
Adek saya nyeletuk,
"Iyo, Cak. Aku wae diancam; ora oleh negor wit iki nek Mae wes gak onok."
Hehehe...
"Yo iyolah..."
Itulah cara bersedekahnya orang kampung.
Duit gak punya banyak. Ceramah di panggung, gak ada kesempatan. Apalagi di televisi. Apatah upload ngaji di channel youtube, malah gak punya kemampuan.
Pohon itu, sekalipun tidak menghasilkan buah, ia tetap menghasilkan pahala bagi orang yang menanam dan merawatnya.
Daunnya menghasilkan O2 yang bermanfaat bagi hidup manusia.
Sebagai makhluk Allah, pohon itu pun bertasbih. Tiap tasbihan pohon, pastinya bermanfaat bagi si penanam dan perawatnya.
(تُسَبِّحُ لَهُ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتُ ٱلسَّبۡعُ وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِیهِنَّۚ وَإِن مِّن شَیۡءٍ إِلَّا یُسَبِّحُ بِحَمۡدِهِۦ وَلَـٰكِن لَّا تَفۡقَهُونَ تَسۡبِیحَهُمۡۚ إِنَّهُۥ كَانَ حَلِیمًا غَفُورࣰا)
[Surat Al-Isra' 44]
"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun."
Di surah Yasin yang kerap kita baca, Allah SWT menegaskan bahwa Dia akan mencatat (sebagai kebaikan) atas semua yang sudah kita lakukan di dunia. Dan atas semua (bentuk kebaikan) yang kita tinggalkan di dunia. Salah satu bentuk kebaikan yang kita tinggalkan itu, bisa jadi adalah sebuah pohon yang terus dijaga dan dirawat.
(إِنَّا نَحۡنُ نُحۡیِ ٱلۡمَوۡتَىٰ وَنَكۡتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَـٰرَهُمۡۚ وَكُلَّ شَیۡءٍ أَحۡصَیۡنَـٰهُ فِیۤ إِمَامࣲ مُّبِینࣲ)
[Surat Ya-Sin 12]
"Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh)."
Masjid Desa Drajat, 15 Nopember 2019
@mskholid
~ Terkenang masa kecil di bangunan--yang kini berubah semegah ini.
No comments:
Write komentar