Malam itu saya refreshing ke Gramedia Matraman. Sebagai ganti dari rencana memancing yang gagal karena hujan.
Di toko itu, mata saya dipaksa melongok sebuah buku. Judulnya "1 Jam Mahir Kitab Kuning". Sebenarnya, saya sama sekali tidak tertarik untuk membukanya atau bahkan mempelajarinya. Tapi, ada hal yang menggelitik saya yang memaksa untuk mengambilnya dari rak buku.
Apa itu? Buku itu ukurannya sangat kecil dan tipis. Kira-kira setengah ukuran A5. Jumlah halamannya pun, tak menggambarkan sebuah buku yang akan mengantar kita benar-benar menguasa/mahiri kitab kuning. Cuma 135 halaman.
Saya membuka-buka isinya. Ternyata, buku itu tak lebih dari buku "Amstilatut Tashrifiyah" yang saya pelajari sewaktu di tingkat Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD). Buku yang juga dipelajari oleh adik-adik saya--yang sekarang melanjutkan di jurusan umum--dan sama sekali tidak mahir kitab kuning (pisss--mungkin sedikit2 bisa kaleee. hehe). Bahkan, buku pegangan untuk pelajaran Shorof saya itu, berukuran lebih besar dan (kalau tidak salah) jumlah halamannya pun lebih banyak dibanding buku di Gramedia itu.
Saya belajar buku shorof itu, menghafal isinya, dan mengulang-ulang bacaannya hampir setiap hari. Karena, setiap hari hampir selalu ada pelajaran yang berkaitan dengan ilmu itu. Namun, lulus dari Madrasah Ibtidaiyah, saya merasa sama sekali "belum tahu" kitab kuning.
Keadaan berlanjut, ketika duduk di Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP). Saya lebih mendalami lagi buku tersebut dengan ditambah buku-buku nahwu-shorof lainnya. Namun, saya masih saja belum merasa mahir kitab kuning. Membaca kitab kuning masih terasa berat dan susah.
Keadaan itu berlangsung hingga Madrasah Aliyah. Kebetulan saya masuk di jurusan keagamaan (MAK/MAPK). Hampir semua buku utama kami adalah buku-buku berbahasa Arab. Beberapa mata pelajaran pun (gurunya) menyampaikan dengan bahasa Arab. Kala itulah, saya baru merasa agak sedikit "nyambung" (baru sedikit lho, ya...) dengan kitab kuning. Membaca kitab kuning sendiri masih terasa berat.
Keadaan itu membaik dengan drastis kala saya masuk ke LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) di Jakarta. Perguruan tinggi yang semua buku pelajarannya berbahasa Arab. Bahasa pengantarnya pun dengan bahasa Arab. Saat itulah, saya baru benar-benar merasa bisa membaca kitab kuning, tapi masih saja belum merasa mahir.
Mahir mempunyai makna yang sangat dalam sekali. Coba saja buka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Mahir artinya SANGAT terlatih, cakap, dan terampil dalam mengerjakan sesuatu.
Terus, bagaimana dengan buku itu?
Apa Anda juga akan sangat terlatih, cakap, dan terampil dalam membaca kitab kuning?
Coba saja!
Anda bisa coba membelinya, lalu beritahu saya keberhasilan Anda.
Saya berharap Anda berhasil.
Tidak seperti saya yang perlu bertahun-tahun--hanya--untuk sekadar bisa membaca kitab kuning.
Salam buku (pinjam istilahnya Pak Bambang Trim).
*Kitab kuning sendiri adalah istilah untuk kitab-kitab berbahasa Arab yang banyak dipelajari di pesantren. Disebut begitu, karena dicetak menggunakan kertas berwarna kuning.
Di toko itu, mata saya dipaksa melongok sebuah buku. Judulnya "1 Jam Mahir Kitab Kuning". Sebenarnya, saya sama sekali tidak tertarik untuk membukanya atau bahkan mempelajarinya. Tapi, ada hal yang menggelitik saya yang memaksa untuk mengambilnya dari rak buku.
Apa itu? Buku itu ukurannya sangat kecil dan tipis. Kira-kira setengah ukuran A5. Jumlah halamannya pun, tak menggambarkan sebuah buku yang akan mengantar kita benar-benar menguasa/mahiri kitab kuning. Cuma 135 halaman.
Saya membuka-buka isinya. Ternyata, buku itu tak lebih dari buku "Amstilatut Tashrifiyah" yang saya pelajari sewaktu di tingkat Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD). Buku yang juga dipelajari oleh adik-adik saya--yang sekarang melanjutkan di jurusan umum--dan sama sekali tidak mahir kitab kuning (pisss--mungkin sedikit2 bisa kaleee. hehe). Bahkan, buku pegangan untuk pelajaran Shorof saya itu, berukuran lebih besar dan (kalau tidak salah) jumlah halamannya pun lebih banyak dibanding buku di Gramedia itu.
Saya belajar buku shorof itu, menghafal isinya, dan mengulang-ulang bacaannya hampir setiap hari. Karena, setiap hari hampir selalu ada pelajaran yang berkaitan dengan ilmu itu. Namun, lulus dari Madrasah Ibtidaiyah, saya merasa sama sekali "belum tahu" kitab kuning.
Keadaan berlanjut, ketika duduk di Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP). Saya lebih mendalami lagi buku tersebut dengan ditambah buku-buku nahwu-shorof lainnya. Namun, saya masih saja belum merasa mahir kitab kuning. Membaca kitab kuning masih terasa berat dan susah.
Keadaan itu berlangsung hingga Madrasah Aliyah. Kebetulan saya masuk di jurusan keagamaan (MAK/MAPK). Hampir semua buku utama kami adalah buku-buku berbahasa Arab. Beberapa mata pelajaran pun (gurunya) menyampaikan dengan bahasa Arab. Kala itulah, saya baru merasa agak sedikit "nyambung" (baru sedikit lho, ya...) dengan kitab kuning. Membaca kitab kuning sendiri masih terasa berat.
Keadaan itu membaik dengan drastis kala saya masuk ke LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) di Jakarta. Perguruan tinggi yang semua buku pelajarannya berbahasa Arab. Bahasa pengantarnya pun dengan bahasa Arab. Saat itulah, saya baru benar-benar merasa bisa membaca kitab kuning, tapi masih saja belum merasa mahir.
Mahir mempunyai makna yang sangat dalam sekali. Coba saja buka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Mahir artinya SANGAT terlatih, cakap, dan terampil dalam mengerjakan sesuatu.
Terus, bagaimana dengan buku itu?
Apa Anda juga akan sangat terlatih, cakap, dan terampil dalam membaca kitab kuning?
Coba saja!
Anda bisa coba membelinya, lalu beritahu saya keberhasilan Anda.
Saya berharap Anda berhasil.
Tidak seperti saya yang perlu bertahun-tahun--hanya--untuk sekadar bisa membaca kitab kuning.
Salam buku (pinjam istilahnya Pak Bambang Trim).
*Kitab kuning sendiri adalah istilah untuk kitab-kitab berbahasa Arab yang banyak dipelajari di pesantren. Disebut begitu, karena dicetak menggunakan kertas berwarna kuning.
2 comments:
Write komentar