Membaca tentang Steve Jobs, sang pendiri raksasa komputer dunia Apple, saya teringat salah satu pesannya. Ia sampaikan dalam pidatonya di antara para wisudawan di universitas terkemuka Amerika. Uniknya, ia tak lulus kuliah (tapi memberikan kuliah umum bagi para lulusan kampus).
"Tetaplah Bodoh, Tetaplah Lapar"
"Tetaplah Bodoh, Tetaplah Lapar"
Lewat petuah itu, Steve Jobs mengajak setiap orang untuk tidak cepat puas dengan apa yang dimilikinya. Tetap lapar, berarti lapar pada kemajuan, lapar pada perbaikan nasib, lapar pada ilmu, lapar pada kebaikan, dan lapar pada gizi dan menu makan yang lebih baik (mungkin). Sementara, Tetaplah bodoh berarti tidak merasa cukup dengan ilmu yang telah diperoleh. Tak merasa ia telah pintar, walaupun sudah menyandang titel sarjana tinggi. Tak merasa lebih baik dari orang lain.
Sebuah petuah hebat yang mengingatkan saya pada salah satu kelompok anak-anak remaja-pemuda di desa asal saya, Drajat. Ya, mereka menciptakan sebuah organisasi kecil yang dinamakan "Sanggar Lapar". Organisasi yang saya pikir juga punya semangat yang sama; semangat untuk terus maju dan berprestasi. Sanggar Lapar; lapar kemajuan, lapar prestasi.
Saya teringat, teman-teman "Sanggar Lapar" ini pernah 'mengajak' saya mengalami pengalaman yang bisa dibilang sekali seumur hidup. Pengalaman yang memberi pelajaran berharga tentang memahami situasi, kondisi, dan posisi di mana kita sedang berada. Waktu itu, hampir saja kami menginap di kantor polisi. Akhirnya, setelah introgasi berjam-jam dibantu negosiasi dan penjelasan dari teman-teman Duta Msyarakat dan Pagar Nusa, kami bisa meninggalkan 'kewajiban' menginap di kantor polisi.
Bagaimana kabar "Sanggar Lapar" saat ini, seiring perginya para aktivisnya yang satu persatu mulai melepas masa lajangnya. Saya berharap "Sanggar Lapar" bisa menjadi salah satu elemen penggerak kemajuan di desa asal saya, Drajat yang tercinta.
No comments:
Write komentar