Barusan istri saya "laporan", di rumah dia mengadakan lomba-lomba
khas Agustusan. Khusus untuk santri-santri TPQ yang kami rintis sekitar
dua minggu yang lalu. Hari ini lomba kepruk kendil. Kemarin, katanya,
lari kelerang. Besok masih ada jadwal lomba-lomba yang lain lagi. Mereka
tampak senang dan menikmati momen-momen istimewa tersebut.
Ini mengingatkan saat saya masih tinggal di kampung. Saya—bersama adik-adik—suka mengadakan lomba-lomba Agustusan sendiri. Pesertanya, anak-anak tetagga. Ada lomba makan kerupuk, kepruk kendil, lari dan kelereng. Hadiahnya sederhana saja. Cukup dengan permen dan makanan ringan yang kami beli di warung sebelah rumah. Anak-anak tetangga selalu berkumpul ramai di halaman belakang rumah kakek.
Istri saya juga cerita, anak-anak sekarang antusias sekali datang ke TPQ. Tidak seperti hari-hari awal. Diajak ngaji pada ogah-ogahan. Saat ini, jam masuk TPQ adalah saat-saat yang paling mereka nantikan. Ada banyak kegiatan yang kami siapkan untuk mereka. Semuanya untuk bersenang-senang.
Ya, sejak awal, saya berniat menjadikan TPQ ini sarana “bermain” anak-anak. Kepada salah satu wali santri, saya katakan, mungkin tidak fokus memperbaiki bacaan Al-Quran anak-anak terlebih dulu. Kami akan berusaha menjadikan anak-anak senang dulu berangkat ke TPQ. Berusaha membuat mereka merasakan bahwa belajar (berangkat sekolah) adalah sesuatu yang istimewa—yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Selama di Bekasi, saya merenungkan berbagai kegiatan yang hendak lakukan bareng anak-anak. Saya belajar cara mendongeng, merencanakan mengajar mereka membuat aneka mainan tradisional dengan bahan murah (“sampah”) di sekitar kita. Bersyukur sekali, saya mengalami masa kecil tidak dengan mainan hasil beli di toko. Tapi mainan karya tangan sendiri.
Ini mengingatkan saat saya masih tinggal di kampung. Saya—bersama adik-adik—suka mengadakan lomba-lomba Agustusan sendiri. Pesertanya, anak-anak tetagga. Ada lomba makan kerupuk, kepruk kendil, lari dan kelereng. Hadiahnya sederhana saja. Cukup dengan permen dan makanan ringan yang kami beli di warung sebelah rumah. Anak-anak tetangga selalu berkumpul ramai di halaman belakang rumah kakek.
Istri saya juga cerita, anak-anak sekarang antusias sekali datang ke TPQ. Tidak seperti hari-hari awal. Diajak ngaji pada ogah-ogahan. Saat ini, jam masuk TPQ adalah saat-saat yang paling mereka nantikan. Ada banyak kegiatan yang kami siapkan untuk mereka. Semuanya untuk bersenang-senang.
Ya, sejak awal, saya berniat menjadikan TPQ ini sarana “bermain” anak-anak. Kepada salah satu wali santri, saya katakan, mungkin tidak fokus memperbaiki bacaan Al-Quran anak-anak terlebih dulu. Kami akan berusaha menjadikan anak-anak senang dulu berangkat ke TPQ. Berusaha membuat mereka merasakan bahwa belajar (berangkat sekolah) adalah sesuatu yang istimewa—yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Selama di Bekasi, saya merenungkan berbagai kegiatan yang hendak lakukan bareng anak-anak. Saya belajar cara mendongeng, merencanakan mengajar mereka membuat aneka mainan tradisional dengan bahan murah (“sampah”) di sekitar kita. Bersyukur sekali, saya mengalami masa kecil tidak dengan mainan hasil beli di toko. Tapi mainan karya tangan sendiri.
No comments:
Write komentar