Semenjak aku kuliah di LIPIA, aku mulai “mencurigai” setiap aktivitas
berbau keagamaan dan mencoba mencari dalilnya. Curigaku bukan berarti
menolak dan menyerang pelakunya dengan menuduh bid’ah, berbuat
kemunkaran, atau berbuat syirik. Akan tetapi, lebih pada usaha meneliti
sandaran yang tepat dalam beribadah. Ya, jangan sampai ibadah yang
kulakukan tidak bernilai apapun karena tak ada dalilnya.
Semenjak kuliah di IIQ, aku mulai berubah. Ada beberapa kaidah dalam menentukan suatu amalan boleh, bisa, baik, benar, dan harus dilakukan dalam beragama. Termasuk kaidah dalam menggunakan hadis shahih, hasan, maupun hadis yang dhaif. Pikiran semakin terbuka.
Salah satu aktivitas yang rutin dilakukan di masjid kampungku setiap usai Jumatan adalah membaca Surah Al-Ihklas 7x, Al-Falaq 7x, dan An-Nas 7x. Ketika belum tau ilmunya, saya sekadar ikut2an saja sambil mencoba mencari-cari kebenaran dalilnya dan apa fadlilah yang akan diperoleh pelakunya. ketika itu, hanya membaca sambil meyakini bahwa itu adalah kebaikan; membaca ketiga surah pendek yang katanya punya keistimewaan besar itu pastilah akan mendatangkan kebaikan. Namun, fadilah yang sebenarnya belum aku ketahui.
Hingga hari ini, tanpa sengaja aku menemukan sebuah hadis di dalam kitab الترغيب في فضائل الأعمال وثواب ذلك karya Ibnu Syahin. Ada hadisnya. Ternyata fadilahnya cukup besar juga bagi orang yang mau membaca ketiga surah tersebut tiap usai shalat Jumat. Janji Allah, kata Nabi, ia akan dijauhkan dari keburukan hingga jumat berikutnya. Nah, itu berarti andai setiap usai Jumatan kita membacanya, pastilah sepanjang hidup kita akan dijauhkan oleh Allah dari keburukan. wallahu a’lam.
Hadis itu berbunyi:
من قرأ بعد صلاة الجمعة قل هو الله أحد ، وقل أعوذ برب الفلق ، وقل أعوذ برب الناس سبع مرات ؛ أجاره الله بها من السوء إلى الجمعة الأخرى »
“Barang siapa yang membaca “Qulhu”, “Al-Falaq” dan “An-Nas” tujuh kali tiap usai Shalat Jumat, Allah akan menghindarkannya dari keburukan hingga Jumat pekan berikutnya.”
Saya mencoba mencari takhrij hadis tersebut, tapi tak saya temukan. Para perawinya tsiqah, hanya dua orang yang kelihatan bermasalah. Satu orang tidak saya temukan (mungkin keterbatasan ilmu saya) dan kedua orang itu dikatakan dhaif oleh Imam Dzahabi, tapi beliau termasuk orang yang shalih.
Akhirnya, kembali pada kaidah bahwa beramal dengan hadis dhaif itu boleh dengan syarat2 tertentu. Salah duanya adalah dhaifnya tidak keterlaluan dan tidak menyalahi prinsip2 syariat secara umum. Maka, menurut saya hadis itu bisa diamalkan. Wallahu A’lam… [24/11/11]
Semenjak kuliah di IIQ, aku mulai berubah. Ada beberapa kaidah dalam menentukan suatu amalan boleh, bisa, baik, benar, dan harus dilakukan dalam beragama. Termasuk kaidah dalam menggunakan hadis shahih, hasan, maupun hadis yang dhaif. Pikiran semakin terbuka.
Salah satu aktivitas yang rutin dilakukan di masjid kampungku setiap usai Jumatan adalah membaca Surah Al-Ihklas 7x, Al-Falaq 7x, dan An-Nas 7x. Ketika belum tau ilmunya, saya sekadar ikut2an saja sambil mencoba mencari-cari kebenaran dalilnya dan apa fadlilah yang akan diperoleh pelakunya. ketika itu, hanya membaca sambil meyakini bahwa itu adalah kebaikan; membaca ketiga surah pendek yang katanya punya keistimewaan besar itu pastilah akan mendatangkan kebaikan. Namun, fadilah yang sebenarnya belum aku ketahui.
Hingga hari ini, tanpa sengaja aku menemukan sebuah hadis di dalam kitab الترغيب في فضائل الأعمال وثواب ذلك karya Ibnu Syahin. Ada hadisnya. Ternyata fadilahnya cukup besar juga bagi orang yang mau membaca ketiga surah tersebut tiap usai shalat Jumat. Janji Allah, kata Nabi, ia akan dijauhkan dari keburukan hingga jumat berikutnya. Nah, itu berarti andai setiap usai Jumatan kita membacanya, pastilah sepanjang hidup kita akan dijauhkan oleh Allah dari keburukan. wallahu a’lam.
Hadis itu berbunyi:
من قرأ بعد صلاة الجمعة قل هو الله أحد ، وقل أعوذ برب الفلق ، وقل أعوذ برب الناس سبع مرات ؛ أجاره الله بها من السوء إلى الجمعة الأخرى »
“Barang siapa yang membaca “Qulhu”, “Al-Falaq” dan “An-Nas” tujuh kali tiap usai Shalat Jumat, Allah akan menghindarkannya dari keburukan hingga Jumat pekan berikutnya.”
Saya mencoba mencari takhrij hadis tersebut, tapi tak saya temukan. Para perawinya tsiqah, hanya dua orang yang kelihatan bermasalah. Satu orang tidak saya temukan (mungkin keterbatasan ilmu saya) dan kedua orang itu dikatakan dhaif oleh Imam Dzahabi, tapi beliau termasuk orang yang shalih.
Akhirnya, kembali pada kaidah bahwa beramal dengan hadis dhaif itu boleh dengan syarat2 tertentu. Salah duanya adalah dhaifnya tidak keterlaluan dan tidak menyalahi prinsip2 syariat secara umum. Maka, menurut saya hadis itu bisa diamalkan. Wallahu A’lam… [24/11/11]
No comments:
Write komentar