Ini salah satu kalimat yang "menyakitkan" saya:
"Orang yang Balik Kampung dari Jakarta adalah Orang yang Kalah Perang!"
Kalimat itu amat menohok hati saya.
Apalagi ketika itu, saya termasuk orang yang memutuskan pulang kampung--setelah belasan tahun hidup di Jabodetabek.
Berpindah-pindah tempat belajar dan bekerja.
Ketika itu saya amat tersinggung.
Apalagi, harus diakui, saya memang masih pengangguran saat awal-awal hidup di kampung. Belum berpenghasilan.
Makan dan tidur masih menumpang (bahkan sampai sekarang).
Aktivitas saya ketika itu, hanya berkisar mengantar istri ngajar di TK, bantu-bantu ngajar TPQ, atau terkadang menggantikan jam mengajar mertua di Kranji. Bahkan, yang rutin justru ngopi ke Babat sambili baca koran di sana.
Hampir-hampir saya mengamini apa yang dikatakan beliau.
Kalau tidak ada kalimat remeh dan enteng Bapak mertua saya:
"Urusan pekerjaan, Abah hanya berdoa; semoga penghasilan yang mendatangi kita. Bukan kita yang mendatangi pekerjaan itu. Alhamdulillah, itu terkabul. Butuh apa-apa cukup sekarang."
Ya, nasib saya jauh lebih baik daripada beliau yang pernah jadi sopir truk bertahun-tahun, jadi kuli orang.
----
Saya tidak bermaksud membuktikan sesuatu pada seseorang.
membuktikan bahwa ucapan beliau yang menohok itu salah.
Tidak. Sama sekali tidak.
Saya hanya berusaha menjalankan setiap episode kehidupan ini dengan langkah terbaik. Menyiapkan semuanya dengan amanah.
Memberikan apa yang saya bisa untuk keluarga.
Saya hanya menyiapkan sungainya,
Dan biarkan air akan mengalirinya.
Deras atau kemericik, biarlah Allah yang menentukan.
Dan, seminggu lalu saya ketemu beliau.
Dan, beliau bilang sambil berbisik di telinga:
"Kamu sekarang lebih hebat!" ujarnya dengan senyum lebar.
Babat, 17 Nopember 2016
@mskholid | Blogger | Penikmat Kopi
No comments:
Write komentar