Imam al-Bukhari, dikenal
punya hafalan luar biasa. Hafalannya ratusan ribu hadits. Matan plus sanadnya. Kutubus
Tis’ah yang ada 9 kitab hadits itu (Shahih Bukhari –sampai-- Musnad Ad-Darimi),
kalau dirata-rata per kitab berisi 7.000 hadits, maka total haditsnya baru 63.000.
Jauh di bawah hafalan Imam Bukhari.
Salah satu sosok akhir zaman
di Indonesia yang masyhur dikenal hafal Kutubut Tis’ah ialah Hadratus Syaikh
Hasyim Asy’ari—pendiri NU.
Lha, ustadz zaman now
(termasuk saya—malu); hadits kitab Arbain Nawawi yang jumlahnya hanya 42
hadits, belum hafal-hafal juga sejak MI dulu.
Gus Bahauddin Nursalim—yang pengajiannya
sering saya jadikan rujukan tulisan di FB, dikenal punya hafalan luar biasa
pula. Hafal Alquran sejak usia kecil. Hafal matan beberapa kitab rujukan utama
di pesantren salaf. Beliau mengaku heran melihat orang yang sulit menghafal. Hehehe....
Apa rahasianya?
Sama dengan Imam al-Bukhari.
“TIDAK MAU MENGHAFAL SELAIN
ILMU”
Imam Bukhari dalam profil
beliau yang ditulis Ibn Hajar dalam Mukaddimah Fathul Bari, dijelaskan bahwa
Imam Bukhari tidak pernah membeli sesuatu sendiri. Tidak pernah memikirkan
harga sebuah barang yang dibelinya. Tidak perhitungan dengan apapun yang tidak
ada hubungannya dengan ilmu.
Sehingga,
Pernah suatu malam Imam
Bukhari berniat menjual salah satu barangnya.
Malam itu, datang seorang
pembeli. Dia menawar dengan harga 500 ribu dirham.
Imam Bukhari diam saja,
karena masih sibuk dengan urusan lainnya.
Esok pagi,
Datang calon pembeli
lainnya.
Dia menawar dengan harga
10.000 dirham (dua kali lipat dari penawar pertama).
Apa jawab Imam Bukhari?
“Sebentar, kalau tidak
salah, tadi malam ada yang mau membeli barang ini seharga 500 ribu dirham.”
Pembeli kedua kaget.
“Yang bener, wahai Imam. Mana
mungkin engkau jual barang itu dengan harga yang lebih murah?”
“Seperti itulah agama
mengajarkan. Siapa yang datang duluan, dia yang berhak membeli,” jawab Imam
Bukhari. Tak menghiraukan potensi memperoleh harga yang lebih besar.
Sekali lagi. Kunci hebatnya
hafalan Imam Bukari ialah;
Tidak memikirkan urusan lain
selain ilmu.
Coba kita bandingkan dengan kondisi
kita.
Ibu-ibu yang setiap hari
berbelanja di pasar.
Dia sebenarnya juga punya
hafalan yang luar biasa.
Tak percaya; lihat saja.
Sema jenis buah dia hafal—beserta
harganya.
Semua jenis sayur, dia hafal—beserta
harganya.
Semua jenis bumbu, dia hafal—beserta
harganya pula.
Termasuk racikan bumbu
pecel, bumbu sambel tomat, bumbu sop, bumbu soto, bumbu kare, bumbu-bumbu
lainnya. Hafal di luar kepala.
Andai ada satu jenis bumbu
saja naik 500 rupiah.
Akan langsung bisa bantah si
penjual,
“Lho, kemarin harga Cuma 2.000.
Mosok hari ini jadi 2.500???”
Luar biasa kan hafalannya.
Coba misalnya, semua jenis
buah, semua jenis sayur, semua jenis bumbu dan racikan dapur itu dituliskan
beserta harganya, kira-kira dapat berapa puluh atau berapa ratus lembar buku?
Di sinilah sebenarnya kita
bisa sadar; betapa besarnya potensi hafalan setiap diri manusia.
Sekarang, coba lihat para
penggila bola.
Cak Ilham Fauzin, misalnya. Sebagai
fans-nya AC Milan.
Sampean bisa tanya siapa
saja nama pemain AC Milan sejak tahun 1990 lalu.
Lengkap beserta nomor
punggungnya dan posisi sang pemain.
Hafal di luar kepala. Termasuk
deretan nama pelatih AC Milan dari tahun ke tahun. Juara Serie A berapa kali,
dan juara Liga Champions berapa kali. Semua dihafalkannya.
Cak Mumtaz Jatmiko,
misalnya. Sebagai fans-nya Juventus.
Anda bisa bertanya hal yang
sama seperti di atas tentang Juventus.
Maka, semua pertanyaan akan
dijawabnya dengan lancar tanpa satu pun tertukar.
Atau Cak Rohul Reang,
sebagai fans Inter Milan.
Saya yakin; dia juga punya
hafalan luar biasa terhadap tim kesayangannya ini.
Andaikan semua hafalan
tentang pemain dan klub kesayangan mereka itu dituliskan, maka akan diperoleh
beratus-ratus lembar buku.
Sekali lagi, ini bukti
betapa hebatnya potensi hafalan setiap manusia.
Lalu,
Apa yang membedakan kita—sebagai
umat awam ini, dengan beliau-beliau yang menjadi ulama hebat, kiai hebat,
penulis hebat.
Bedanya hanya satu.
APA YANG KITA HAFAL.
Tritunggal, 4 Januari 2019
@mkholid @ruanginstalasi
No comments:
Write komentar