• Kenapa Kita Percaya Gus Baha'? "Sombong." •
Faktor apa yang membuat banyak orang percaya dengan pemikiran Gus Baha'? Kenapa banyak orang (dari berbagai kalangan dan organisasi) mudah menerima pendapat beliau?
Salah satunya adalah: "Kesombongan".
Dalam arti, beliau kerap dengan percaya diri menunjukkan kealimannya. Menunjukkan pada khalayak bahwa beliau benar-benar pandai dan menguasai apa yang sedang dibicarakan.
Terkait Alquran, sebagai standard utama tingkat keulamaan seseorang.
Beliau tak sungkan menyatakan bahwa sudah sejak kecil menghafal Alquran. Sudah sejak kecil mempelajari Alquran. Secara Bapaknya, KH Nursalim adalah seorang hafidz yang ahli Quran.
Bisa dibilang Alquran adalah sahabatnya.
(Kira-kira sama seperti Kapten Tsubasa yang bersahabat dengan bola. 😂)
Di sela ngaji, beliau kerapkali bilang;
Saya sudah khatam Kitab Ihya' 4 sampai 5 kali. Hampir hafal titik koma Ihya'. Bahkan sudah mengkaji kitab karya Hujjatul Islam ini lewat beberapa versi penerbit. Tiga atau empat versi cetakannya.
Belum lagi, beliau juga beberapa kali mengaku mengkhatamkan kitab Ithaf (Syarah Ihya') karya Sayyid az-Zabidi.
Lewat pengakuan tersebut, ulama-kiai Islam tradisional yang begitu mengagungkan Al-Ghazali dan Ihya'-nya bisa dibilang akan langsung merasa kalah. Apalagi, mereka yang khatam Ihya'-nya baru sekadar ikut khataman. 😆 Tanpa ikut ngaji full.
Urusan hadits, beliau pun berulang kali bilang; Shahih al-Bukhari adalah bacaan kesukaan. Beliau amat percaya dengan isi hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari itu. Bahkan menjadikan Bukhari sebagai standar utama mengenal Nabi. Pun untuk urusan ghaib yang akan terjadi di masa depan.
Saat menyebutkan suatu hadits, misalnya, beliau kerap bilang:
"Saya hafal betul teks haditsnya. Karena sengaja saya hafalkan!"
Coba deh, siapa yang gak langsung angkat tangan "melawan" orang yang begitu yakin dan mantabnya menyebut kata per kata sebuah hadits.
Di saat bersamaan, banyak penceramah (muballigh) yang kerap ragu-ragu dengan hafalan haditsnya lewat ucapan: Au Kama Qola. أو كما قال.
Para ustadz yang fanatix dengan pertanyaan:
"mana haditsnya",
"haditsnya shahih gak?",
"dishahihkan Albani gak?",
Bisa langsung membuka tangan, mengiyakan. Jika disebut hadits itu ada di Bukhari atau Muslim.
Kalaupun sudah disebut riwayat Bukhari - Muslim, masih ngeyel tanya; dishahihkan Albani apa gak?
Mending tinggal 'ngiseng' wae...
Para guru yang fanatik fikih, tentu akan langsung 'iya-iya...' kala mendengar pengakuan beliau yang dengan PEDE bilang sudah "ngelontok" kitab Fathul Muin dan Ianatut Tholibin. Sebab, pernah jadi rois Fathul Muin sewaktu mondok di Sarang.
Demikian pula dengan kitab-kitab fikih lain madzhab Syafii--karya Imam Nawawi, Imam Rofii, Imam Suyuthi, hingga Zakaria al-Anshari.
Bahkan, pemikiran-pemikiran madzhab Hanafi pun banyak diakrabi.
Begitulah, "kesombongan" soal ilmu yang kerap beliau tampakkan.
Bahkan beliau tak segan-segan menantang siapa pun yang menolak pendapatnya.
"Tapi, ya harus selevel lah... Minimal hafal Quran mantab dan sekian ribu hadits. Baru boleh debat saya. Saya siap berguru pada orang itu, jika memang terbukti lebih alim." begitu kira-kira ucapan beliau.
Lha, kalau hafalnya cuma ayat "Udkhulu fis silmi kaaaffah...", yang lainnya gak hafal, ya levelnya baru belajar iqro' itu. Kalau kata seorang kiai alim itu, levelnya baru belajar mengeja: م - ت - م
Apa penyebab beliau bersikap seperti itu?
Barangkali karena keresahan banyaknya muballigh zaman sekarang yang kurang ilmu. Dia tenar dan banyak penggemar gara-gara TV atau media (lain). Lantas merasa GR bahwa dia layak berfatwa. Padahal, ilmu tak ada. Modal pintar ngomong doang.
Disuruh men-tashrif kata: قال - يقول saja mbulet, kayak baca surat al-Kafirun. Gak selesai-selesai.
Lebih dari itu, sikap ini juga ada sanadnya. Artinya, ada tuntunan dan contoh dari para ulama terdahulu. Beberapa kali saya mendengar beliau mengutip sebuah kalimat (entah hadits atau bukan):
إذا ظهرت الفتن ، فليظهر العالم علمه.
"Jika sudah nampak fitnah-fitnah (urusan agama), maka orang alim harus menunjukkan ilmunya."
Keadaan dunia makin rusak, sebab orang-orang alim tidak mau mengajar. Tidak mau mengisi ceramah. Alasannya, masih belum cukup ilmu. Padahal, sudah mondok-nyantri puluhan tahun. Sudah hafal Imrithy. Sudah khatam dan menguasai Fathul Qorib. Sudah ngaji Hikam--bahkan Ihya' Ulumiddin.
Gaya-gayanya sich tawadhu'. Tapi, sejatinya memberi ruang bagi orang-orang yang kosong ilmunya untuk mengajarkan agama.
Wallahu a'lam...
Tritunggal, 22 Oktober 2019
@mskholid
Sekjend Ikbal Tabah
Guru MA Tarbiyatut Tholabah Kranji
Faktor apa yang membuat banyak orang percaya dengan pemikiran Gus Baha'? Kenapa banyak orang (dari berbagai kalangan dan organisasi) mudah menerima pendapat beliau?
Salah satunya adalah: "Kesombongan".
Dalam arti, beliau kerap dengan percaya diri menunjukkan kealimannya. Menunjukkan pada khalayak bahwa beliau benar-benar pandai dan menguasai apa yang sedang dibicarakan.
Terkait Alquran, sebagai standard utama tingkat keulamaan seseorang.
Beliau tak sungkan menyatakan bahwa sudah sejak kecil menghafal Alquran. Sudah sejak kecil mempelajari Alquran. Secara Bapaknya, KH Nursalim adalah seorang hafidz yang ahli Quran.
Bisa dibilang Alquran adalah sahabatnya.
(Kira-kira sama seperti Kapten Tsubasa yang bersahabat dengan bola. 😂)
Di sela ngaji, beliau kerapkali bilang;
Saya sudah khatam Kitab Ihya' 4 sampai 5 kali. Hampir hafal titik koma Ihya'. Bahkan sudah mengkaji kitab karya Hujjatul Islam ini lewat beberapa versi penerbit. Tiga atau empat versi cetakannya.
Belum lagi, beliau juga beberapa kali mengaku mengkhatamkan kitab Ithaf (Syarah Ihya') karya Sayyid az-Zabidi.
Lewat pengakuan tersebut, ulama-kiai Islam tradisional yang begitu mengagungkan Al-Ghazali dan Ihya'-nya bisa dibilang akan langsung merasa kalah. Apalagi, mereka yang khatam Ihya'-nya baru sekadar ikut khataman. 😆 Tanpa ikut ngaji full.
Urusan hadits, beliau pun berulang kali bilang; Shahih al-Bukhari adalah bacaan kesukaan. Beliau amat percaya dengan isi hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari itu. Bahkan menjadikan Bukhari sebagai standar utama mengenal Nabi. Pun untuk urusan ghaib yang akan terjadi di masa depan.
Saat menyebutkan suatu hadits, misalnya, beliau kerap bilang:
"Saya hafal betul teks haditsnya. Karena sengaja saya hafalkan!"
Coba deh, siapa yang gak langsung angkat tangan "melawan" orang yang begitu yakin dan mantabnya menyebut kata per kata sebuah hadits.
Di saat bersamaan, banyak penceramah (muballigh) yang kerap ragu-ragu dengan hafalan haditsnya lewat ucapan: Au Kama Qola. أو كما قال.
Para ustadz yang fanatix dengan pertanyaan:
"mana haditsnya",
"haditsnya shahih gak?",
"dishahihkan Albani gak?",
Bisa langsung membuka tangan, mengiyakan. Jika disebut hadits itu ada di Bukhari atau Muslim.
Kalaupun sudah disebut riwayat Bukhari - Muslim, masih ngeyel tanya; dishahihkan Albani apa gak?
Mending tinggal 'ngiseng' wae...
Para guru yang fanatik fikih, tentu akan langsung 'iya-iya...' kala mendengar pengakuan beliau yang dengan PEDE bilang sudah "ngelontok" kitab Fathul Muin dan Ianatut Tholibin. Sebab, pernah jadi rois Fathul Muin sewaktu mondok di Sarang.
Demikian pula dengan kitab-kitab fikih lain madzhab Syafii--karya Imam Nawawi, Imam Rofii, Imam Suyuthi, hingga Zakaria al-Anshari.
Bahkan, pemikiran-pemikiran madzhab Hanafi pun banyak diakrabi.
Begitulah, "kesombongan" soal ilmu yang kerap beliau tampakkan.
Bahkan beliau tak segan-segan menantang siapa pun yang menolak pendapatnya.
"Tapi, ya harus selevel lah... Minimal hafal Quran mantab dan sekian ribu hadits. Baru boleh debat saya. Saya siap berguru pada orang itu, jika memang terbukti lebih alim." begitu kira-kira ucapan beliau.
Lha, kalau hafalnya cuma ayat "Udkhulu fis silmi kaaaffah...", yang lainnya gak hafal, ya levelnya baru belajar iqro' itu. Kalau kata seorang kiai alim itu, levelnya baru belajar mengeja: م - ت - م
Apa penyebab beliau bersikap seperti itu?
Barangkali karena keresahan banyaknya muballigh zaman sekarang yang kurang ilmu. Dia tenar dan banyak penggemar gara-gara TV atau media (lain). Lantas merasa GR bahwa dia layak berfatwa. Padahal, ilmu tak ada. Modal pintar ngomong doang.
Disuruh men-tashrif kata: قال - يقول saja mbulet, kayak baca surat al-Kafirun. Gak selesai-selesai.
Lebih dari itu, sikap ini juga ada sanadnya. Artinya, ada tuntunan dan contoh dari para ulama terdahulu. Beberapa kali saya mendengar beliau mengutip sebuah kalimat (entah hadits atau bukan):
إذا ظهرت الفتن ، فليظهر العالم علمه.
"Jika sudah nampak fitnah-fitnah (urusan agama), maka orang alim harus menunjukkan ilmunya."
Keadaan dunia makin rusak, sebab orang-orang alim tidak mau mengajar. Tidak mau mengisi ceramah. Alasannya, masih belum cukup ilmu. Padahal, sudah mondok-nyantri puluhan tahun. Sudah hafal Imrithy. Sudah khatam dan menguasai Fathul Qorib. Sudah ngaji Hikam--bahkan Ihya' Ulumiddin.
Gaya-gayanya sich tawadhu'. Tapi, sejatinya memberi ruang bagi orang-orang yang kosong ilmunya untuk mengajarkan agama.
Wallahu a'lam...
Tritunggal, 22 Oktober 2019
@mskholid
Sekjend Ikbal Tabah
Guru MA Tarbiyatut Tholabah Kranji
No comments:
Write komentar