Monday, August 25, 2008

Yang kita cari sesungguhnya adalah KEBAHAGIAAN

Yang kita cari sesungguhnya adalah KEBAHAGIAAN**

Kita susah-payah, banting tulang siang malam bekerja mencari uang
Yang kita cari sesungguhnya adalah kebahagiaan;

Kita jauh-jauh rekreasi ke Bali, Hawai, Paris, atau Roma,
Yang kita cari sesungguhnya adalah kebahagiaan;

Kita sekolah tinggi, belajar hingga larut malam, berprestasi,
Yang kita cari adalah penghargaan—yang ujung-ujungnya adalah juga kebahagiaan;

Kita menggapai jabatan—bahkan (sayangnya ada juga) dengan cara-cara tak legal,
Pun sesungguhnya yang kita cari adalah kebahagiaan;

Kita mencari pasangan yang tampan atau cantik,
Yang kita cari sesungguhnya bukanlah kecantikan dan ketampanan itu,
sesungguhnya kita ingin bahagia;

Kita membeli rumah mewah di tengah taman yang asri dengan aneka bunga,
Yang kita cari sesungguhnya adalah kebahagiaan;

Kita membeli mobil mewah nan nyaman,
Yang dicari adalah kebahagiaan;

Kita berburu...
Sebenarnya, intinya adalah kebahagiaan

Terus, seperti apa sebenarnya kebahagiaan itu?
Lewat catatan harian kali ini saya tidak mencoba menggurui tentang makna kebahagiaan. Karena terkadang saya masih belum bisa menjalani segala situasinya dengan bahagia. Tapi, setidaknya saya telah belajar tentang salah satu pengertian bahagia dari seorang teman dalam salah satu perjalanan “gerilya” kami.

Hari Jumat kemarin (22/8/08) adalah pengalaman pertama saya berjualan secara langsung. Menggelar lapak di atas meja. Lokasinya di halaman masjid Pondok Indah, Jakarta.

Bersama seorang teman kantor yang merupakan marketing penerbit kami, saya menjaga lapak itu. Kami berjualan buku. Ya, buku-buku terbitan penerbit kami. Teman saya yang sudah “kenyang” pengalaman itu mengajak saya—tepatnya saya yang minta ikut dia—untuk belajar berjualan.

Sebelum berangkat jualan, pimpinan marketing menyemangati, “Ingat, tidak ada orang kaya yang berasal dari orang kantor; admin, keuangan, atau lainnya yang kerjanya di kantor. Orang yang kaya adalah yang bisa berjualan. Seorang bos di perusahaan adalah orang yang bisa berjualan—dulunya. Sehingga, sekarang dia tidak perlu lagi turun ke lapangan kecil seperti ini. Orang yang bisa berjualan juga tidak akan susah di mana pun dia berada, karena dia mampu menjual dirinya.”

Kembali ke jualan. Lapak—tepatnya sebuah meja yang disewakan oleh pengurus masjid—pun kami siapkan. Buku-buku kami jajar rapi. Banner kami pasang di belakang lapak. Brosur promosi diskon kami sebarkan. Setiap pembeli yang lewat kami sapa ramah. Kerap kali kami menjelaskan sinopsis buku-buku kami. Beberapa pengunjung mengangguk-anggukkan kepala. Banyak juga yang tertarik, dan mencoba menyimak halaman-halaman buku kami. Jujur, adanya seseorang yang tertarik membaca, meski sekilas, buku kami—karena keterangan kami, itu sudah membuat saya puas. Alhamdulillah...! Apalagi bila ada yang memutuskan untuk mengeluarkan uangnya, membeli produk yang kami jual. Ada kepuasan dan kebahagiaan yang tidak terbeli. Itu yang kurasakan.

Arus orang berangkat dan pulang dari masjid begitu cepat. Waktu luang untuk berjualan itu pun sangat singkat. Cepat sekali berlalu. Tak sampai sejam setelah shalat Jumatan selesai. Akibatnya, tak banyak pula yang membeli produk kami.

Setelah sepi, kami menghitung hasil jualan siang itu. Kami dapat 320-an ribu. Wah, jauh sekali dari target yang diberikan oleh pimpinan sebelum berangkat tadi, pikirku. Agak sedih, gelisah, juga kurang bersemangat hendak kembali ke kantor. Apalagi, sesaat kemudian, petugas dari masjid menarik iuran sewa lapak 50 ribu. Berarti hasil kita tinggal 270-an!

Namun, sesaat kemudian, teman saya—yang marketing itu—bicara, “Wah, Alhamdulillah... Mas Kholid. Kita untung banyak! Kita modal Cuma 50 ribu, tapi dapetnya 6 kali lipat. Alhamdulillah,” katanya sambil membereskan buku, dengan wajah cerah. Tidak terlihat sedikit pun muram di wajahnya. Senyumnya juga tidak henti-hentinya terlihat dari bibirnya.

Duh, orang ini, pikirku. Masak jualan “cuma” dapat segitu, dia bilang untung banyak, alhamdulillah, untung 6 kali lipat lagi! Hehehe....

Kami pulang mengendarai satu motor berdua. Aku yang di belakang, dia di depan. Ada dua kardus besar yang kami bawa. Satu kardus di depan dan satu kardus yang lebih besar saya sangga di paha kiri, karena tidak muat jika ditaruh di tengah antara kami. Sementara itu, banner saya ikat dengan tali rafia dan saya kalungkan di tubuh saya—seperti seorang pemanah bawa busur-lah...! ☺

Di perjalanan kami ngobrol-ngobrol santai tentang penjualan kami.
Eh, tiba-tiba motor hampir oleng saat melewati “polisi tidur”. Untung saja tidak jatuh, kata saya. “Maaf, Mas Kholid, ini saya nyetir cuma dengan satu tangan. Soalnya harus megang kardus yang satu biar ga jatuh. Tapi, alhamdulillah masih bisa nyetir—meski dengan satu tangan,” katanya.

Lagi-lagi saya harus geleng kepala.
Karena beratnya kardus besar itu menekan pahaku, aliran darah di tempat tersebut pun tertekan. Awalnya terasa agak sakit, namun lama-lama justru seperti tak ada rasa apa-apa.
“Gini kok mau ke Masjid Bank Mandiri, Gatot Subroto. Bisa mati rasa paha saya,” kata saya bergurau. Dia hanya tertawa.

Sampai di kantor, pimpinan langsung bertanya, “Gimana good news-nya?”
Saya yang kebetulan masuk lebih dulu, langsung aja jawab, “Alhamdulillah...!” dengan suara keras dan bersemangat.


Begitulah,
Poko’e Alhamdulillah aja...
Rezeki sudah ada yang ngatur. Gak akan tertukar kok. Yang terpenting kita mau berusaha. Dan bagaimana kita menikmati dan menjadikan proses usaha itu, membahagiakan. Karena itulah sesungguhnya tujuan kita.

Wassalam....

M.S. Al-Kholid
Belajar jadi writer; Belajar jadi copyeditor; Belajar jadi translator; Belajar jadi lay outer; Belajar jadi marketer
Pelajar di universitas kehidupan


**Tema khutbah di masjid Pondok Indah 22 Agustus 2008

Harapan Itu Masih Ada

Saya menulis ini bersamaan dengan suara Shoutul Harokah “Harapan Itu Masih Ada”. Suara drumb terasa bergema meliputi sisi-sisi sempitnya kamarku. Bass dari sound Simbadda-ku sengaja kupenuhkan. Dung..! Dung..! Bersemangat!!!

Semangat itu tertular. Perlahan-lahan mengalir ke dalam rusuk jiwaku. Aku merinding—entah bersemangat entah tersadar aku belum berbuat apa-apa. Bulu kuduk berdiri. Oooo, aku merasakan itu. Rasa yang dulu pernah kurasakan saat pertama kalinya aku ikut demo. Demo peduli negeri Palestina di Monas. Kembali menjalar di sini—saat aku sendirian di kamar mungil ini.

Ya, harapan itu masih ada, wahai Bangsaku!
Di tengah gencarnya nada pesimisme dari berbagai kalangan bangsa, lagu ini menyadarkan betapa—sekali lagi—harapan itu masih ada. Bukankah banyak hal yang sebenarnya bisa membuat kita bangga dan kita kembangkan dari bangsa ini. Tak peduli, emas di Freeport tinggal sisa-sisa butiran; tak peduli hutan di Kalimantan makin gundul; tak peduli minyak di Blok Cepu telah terkuras; tak peduli pemimpin negeri ini bertambah banyak yang tertangkap korupsi; tak peduli... tak peduli....; sesungguhnya Harapan Itu Masih Ada. Selama kita terus berjuang. Selama kita satu berpadu. Jayalah negeriku, jayalah...

Mari kita tatap masa depan dengan optimisme.
Tersenyum dalam kehidupan.


HARAPAN ITU MASIH ADA
Shoutul Harokah

tatap tegaplah masa depan
bersenyumlah di kehidupan
dengan cita dan sejuta asa
bersama membangun Indonesia

pegang teguhlah kebenaran
buang jauh nafsu angkara
berkorban dengan jiwa dan raga
untuk tegaknya keadilan

reff:

bangkitlah negeriku
harapan itu masih ada
berjuanglah bangsaku
jalan itu masih terbentang 2x

selama matahari bersinar
selama kita terus berjuang
selama kita satu berpadu
jayalah negeriku, jayalah...

Friday, August 22, 2008

Freelance design grafis dan editor

Ini iklan dapet dari MILIS


Dear milis penulis lepas,

Saat ini penerbit Mic Publishing yang berdomisili di Surabaya
membutuhkan beberapa tenaga yang kreatif dan inovatif untuk menjadi
tenaga design grafis (untuk pembuatan cover dan lay out) dan editor
secara freelance. Bagi yang berminat, Anda dapat mengirimkan contoh
hasil karya Anda (portfolio) dan besarnya permintaan fee yang
diinginkan ke (via email): naskah77@yahoo. com atau (via pos):Mic
Publishing Jalan Ngagel Madya nomor 17-21 Surabaya.

Keterangan lebih lanjut, hubungi:
Hendra A
Editor Mic Publishing
081803188184 (mobile)
087851535000 (hotline)

Regards,

Dicari Reporter dan Penulis

Teman-teman yang baik

Sebuah koran yang (sudah) terbit di Jakarta, saat ini mencari 5
reporter (senior) dan 5 penulis.

Syarat umum:
Bisa berbahasa Inggris (lisan dan tulisan)
Usia maksimal 30 tahun (reporter) dan 32 tahun (penulis)

Jika ada yang berminat, silakan kirim CV, pas foto, dan gaji yang
diinginkan kepada email saya rusdi_man@yahoo. com atau hubungi saya di
08128480754. Untuk penulis tolong sertakan pula contoh tulisan.

Terima kasih untuk semua perhatiannya.

tabik
rusdi mathari


pengirim:
rusdi_man@yahoo.com

sumber:
milis jurnalisme

Wednesday, August 20, 2008

Lowongan Desainer di Balai Pustaka

ada lowongan di tempat kerja di butuhkan cepat, kalo bisa hari Selasa, 26 Agustus 2008.

KUALIFIKASI DESIGNER BALAI PUSTAKA

Kriteria Umum

1. Memiliki integritas dan etos kerja tinggi
2. Kreatif
3. Sanggup dan bisa bekerja sesuai dengan deadline
4. Dapat bekerja sama dalam tim
5. Teliti

Kualifikasi Desainer

Job Description:
• membuat cover dan layout buku
• produk-produk desain lain (packaging, banner, brosur) yang
dibutuhkan perusahaan.

1. Menguasai Adobe Photoshop
2. Menguasai Corel Draw, Freehand, dan Adobe Illustrator (salah satunya)
3. Menguasai Indesign CS2

Kami ajak Anda bersama Balai Pustaka sebagai staf design grafis
(dengan kualifikasi terlampir diatas). Mungkin Anda yang kami pilih.
Silakan kirim surat lamaran dan CV, dan portofolio hasil karya Anda ke:

GM Penerbitan
Gedung Balai Pustaka Lt.2
di Jalan Gunung Sahari Raya Nomor 4, Jakarta, 10710

atau kirim ke email:
sastra.balaipustaka@yahoo.com

paling lambat hari selasa, 26 Agustus 2008

salam,
Sidik Effendi

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)