Selama ini, kita kerapkali digerojokin dengan propaganda:
“Ngapain sih ngobrolin masalah khilafiyah terus…? Gak ada manfaatnya tau!!!”
Propaganda itu menyesatkan.
Membuat kita terlena untuk memberi penjelasan yang benar tentang
berbagai masalah dalam agama. Khususnya yang kecil-kecil dan khilafiyah
seperti itu.
Kenapa?
Ternyata di sisi lain, ada juga pihak yang memanfaatkan propaganda
tersebut. (Bisa jadi ia termasuk pihak yang menyebarkan propaganda itu).
Pihak itu terus-terusan menulis dan menyebarkan wacana tentang masalah
khilafiyah tersebut. Tentu saja dari sudut pandang dirinya. Tidak secara
fair menyebutkan semua pendapat para ulama salafus shalih.
Jadi, jangan mentang2 Anda pernah baca di Google bahwa puasa bulan Rajab bid'ah dan munkar, lalu anda berani bilang kaum muslimin yang sedang puasa itu sesat. Naudzu billah...
Coba bayangkan, orang yang berpuasa lalu dikatakan sedang melakukan bid'ah. Saya bayangkan aja gak berani. Apalagi sampai mengatakannya.
Tapi, terkait BC yang banyak beredar di BBM dan status-status facebook, soal keutamaan (fadhilahnya) yang demikian luar biasa, saya tidak berani membenarkannya.
Adapun tentang keutamaan-keutamaan puasa Rajab secara khusus, saya banyak baca bahwa riwayatnya dhaif. Tapi, tentu saja tidak serta merta karena dhaif, lalu ditolak. Ada kaidah dalam ilmu musthalah hadis bahwa dalil dhaif di wilayah fadhailul a'mal, boleh diamalkan.
Semoga kita lebih disibukkan dengan meningkatkan kualitas dan ibadah diri. Dengan meningkatkan usaha agar hati lebih bersih, amalan lebih ikhlas.
Daripada sibuk meneliti kesalahan orang lain. Sibuk menggerutu karena orang lain beribadah sunnah dengan dalil2 dhaif. Sibuk mengkritisi kenapa tidak ibadah sunnah dengan dalil Shahih yg dilakukan.
Padahal, bisa jadi orang tersebut uda amat terbiasa dengan ibadah sunnah (dalil Shahih). Lalu, karena semangat nya ingin mendapat kedudukan yang mulia sisi Allah, ia terus beribadah dan beribadah (walau dengan dalil hadis dhaif, misalnya).
Bukankah kaidah pengamalan dalil dhaif juga ada? Jadi, tidak asal dhaif lalu kita salahkan pelakunya. Kita tuduh perbuatannya gak bener, dan seterusnya.
Saya juga tidak yakin, ustad zaman sekarang (yang berteriak mengatakan perawi A itu dhaif) kualitasnya lebih baik di sisi Allah, atau bahkan di sisi manusia lainnya.
Bahkan, bisa jadi ia akan dinilai dhaif kuadrat andai imam Ibnu Hatim, An-Nasai, Adz-Dzahabi, Al-Bukhari, Ibnu Ma'in, dan lain-lainnya hidup di zaman ini. Dan melihat tingkahnya. [21/04/2015]
Pagi ini, tak sengaja lihat sebuah akun facebook nama dan photo perempuan. Ia posting gambar di grup cita Allah dan Nabi.
Foto meme bergambar mayat dan kuburan itu bertuliskan; "Yang like semoga mati chusnul khotimah" kalau tak salah ingat.
Potong tersebut menuai banyak like dari penghuni facebook.
Tapi,
Ada yang aneh saat saya perhatikan posisi tidur mayat dan kubur.
Tidur si mayat terlentang, menghadap ke atas. Tampak jelas pula tangan bersedekap di dadanya.
Lalu, apa maksud di buat dan disebarkannya foto salah posisi seperti itu. Apakah untuk "mengajarkan" kesalahan kepada khalayak yang hanya sibuk didunia maya. Tak pernah belajar di kelas2 sekolah atau pondok. Tanpa terasa, mereka telah belajar cara merawat jenazah yang salah.
Siapa yang menyebar foto?
Hati-hati pula yang melike setiap photo atau status. Jangan2 yang bener itu bagian awalnya saja. Bagian belakangnya banyak salahnya. Sementara kita malas baca seluruhnya. [21/04/2015]
*foto sudah saya coba simpan. Tapi kok gak mau. Mungkin sebab jaringan yg naik turun. Jadi belum bisa diupload disini
Semenjak aku kuliah di LIPIA, aku mulai “mencurigai” setiap aktivitas
berbau keagamaan dan mencoba mencari dalilnya. Curigaku bukan berarti
menolak dan menyerang pelakunya dengan menuduh bid’ah, berbuat
kemunkaran, atau berbuat syirik. Akan tetapi, lebih pada usaha meneliti
sandaran yang tepat dalam beribadah. Ya, jangan sampai ibadah yang
kulakukan tidak bernilai apapun karena tak ada dalilnya.
Semenjak kuliah di IIQ, aku mulai berubah. Ada beberapa kaidah dalam
menentukan suatu amalan boleh, bisa, baik, benar, dan harus dilakukan
dalam beragama. Termasuk kaidah dalam menggunakan hadis shahih, hasan,
maupun hadis yang dhaif. Pikiran semakin terbuka.