Wednesday, May 28, 2008

Penjajahan Ala Freeport...

ahulu di tengah masyarakat ada mitologi menyangkut manusia sejati, yang berasal dari sebuah Ibu, yang menjadi setelah kematiannya berubah menjadi tanah yang membentang sepanjang daerah Amungsal (Tanah Amugme), daerah ini dianggap keramat oleh masyarakat setempat,sehingga secara adat tidak diijinkan untuk dimasuki.

Sejak tahun 1971, Freeport Indonesia, masuk ke daerah keramat ini, dan
membuka tambang Erstberg. Sejak tahun 1971 itulah warga suku Amugme
dipindahkan ke luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.

Tambang Erstberg ini habis open-pit-nya pada 1989, dilanjutkan dengan
penambangan pada wilayah Grasberg dengan ijin produksi yang dikeluarkan
Mentamben Ginandjar Kartasasmita pada 1996. Dalam ijin ini, tercantum pada
AMDAL produksi yang diijinkan adalah 300 ribu /ton/hari

Kontroversi

Menurut karyawan dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R Moffett, seorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini, dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto,dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport.
Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.

Surat-surat dan dokumen-dokumen lain yang diberikan kepada New York Times oleh para pejabat pemerintah menunjukkan, Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali memperingatkan perusahaan ini sejak tahun 1997, Freeport melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup.

Menurut perhitungan Freeport sendiri, penambangan mereka dapat menghasilkan
limbah/bahan buangan sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitarlokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah
hutan hujan tropis yang telahdiberikan status khusus oleh PBB.

Sebuah studi bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan Parametrix,perusahaan konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tinto, mitra bisnisnya, yang hasilnya tidak pernah diumumkan mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok untuk
kehidupan makhluk hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke New York Times oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

New York Times berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah Indonesia
untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin khusus bagi wartawan. Semua permintaan itu ditolak. Freeport hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah surat yang ditandatangani oleh Stanley S Arkin, penasihat hukum perusahaan ini menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga, dengan emas sebagai
produk sampingan, dan bahwa banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu
sebelum pemerintah Indonesia memperketat aturan pada tahun 1990-an.

[sunting] Menyadap e-mail

Menurut seorang pejabat dan dua bekas pejabat perusahaan yang terlibat dalam
mengembangkan suatu program rahasia, Freeport selama ini menyadap e-mail
para aktivis lingkungan yang melawan perusahaan ini untuk memata-matai apa
yang mereka lakukan. Freeport menolak mengomentari hal ini. Freeport bergandengan tangan dengan perwira-perwira intelijen TNI, mulai menyadap korespondensi e-mail dan
percakapan telepon lawan-lawan aktivis lingkungannya. Hal ini dikatakan oleh seorang karyawan Freeport yang terlibat dalam kegiatan ini dan bertugas membaca e-mail-e-mail tersebut.

Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, perusahaan ini juga membuat sistemnya sendiri untuk mencuri berita-berita melalui e-mail. Caranya adalah dengan membentuk sebuah kelompok pecinta lingkungan gadungan, yang meminta mereka yang berminat untuk mendaftar secara online dengan menggunakan kode rahasia (password) tertentu. Banyak di antara mereka yang mendaftar itu menggunakan password yang sama seperti yang mereka gunakan untuk e-mail mereka. Dengan cara ini, Freeport dengan gampang mencuri berita. Menurut seseorang yang waktu itu bekerja untuk perusahaan ini, awalnya para pengacara Freeport khawatir dengan pencurian ini. Tetapi, mereka kemudian memutuskan, secara legal perusahaan itu tidak dilarang untuk membaca e-mail pihak-pihak di luar negeri.

[sunting] Hubungan Freeport dan TNI

Selama bertahun-tahun, Freeport memiliki unit pengamanannya sendiri, sementara militer Indonesia memerangi perlawanan separatis yang lemah dan rendah gerakannya. Kemudian kebutuhan keamanan ini mulai saling terkait.

Tidak ada investigasi yang menemukan keterkaitan Freeport secara langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, dan pada sejumlah kasus kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan fasilitas Freeport. Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat, memperkirakan, sebanyak 160 orang telah
dibunuh oleh militer antara tahun 1975-1997 di daerah tambang dan sekitarnya.

Pada bulan Maret 1996, kemarahan terhadap perusahaan pecah dalam bentuk
kerusuhan ketika sentimen anti-perusahaan dari beberapa kelompok yang berbeda bergabung.

Freeport menyadap berita-berita dalam e-mail. Menurut dua orang yang membaca e-mail-e-mail itu pada saat itu, ada unit-unit militer tertentu, masyarakat setempat, dan kelompok-kelompok lingkungan hidup yang bekerja sama. Sebuah pertukaran informasi dengan menggunakan e-mail antara seorang tokoh masyarakat dengan pimpinan organisasi
lingkungan hidup penuh dengan taktik intelijen militer. Dalam e-mail yang lain,
seorang pimpinan organisasi lingkungan meminta para anggotanya mundur karena demonstrasi telah berubah menjadi kerusuhan.

Dari wawancara yang dila�ku�kan, bekas pejabat dan pejabat Free�port
menyatakan, mereka terkejut melihat sejumlah orang de�ngan potongan
ram�but
militer, me�ngenakan sepatu tem��pur dan meng�genggam radio
wal�kie-tal�kie
di antara para perusuh itu. Orang-orang itu terlihat menga�rah�kan
kerusuhan
itu, dan pada sa�tu ke�ti�ka, mengarahkan massa menuju ke
la�bo��ratorium
Freeport yang ke�mudian me�reka obrak-ab�rik.

Keamanan

Dokumen-dokumen Freeport menunjukkan, dari tahun 1998 sampai 2004
Freeport
memberikan hampir 20 juta dolar kepada para jenderal, kolonel, mayor
dan
kapten militer dan polisi, dan unit-unit militer. Setiap komandan
menerima
puluhan ribu dolar, bahkan dalam satu kasus sampai mencapai 150.000
dolar,
sebagaimana tertera dalam dokumen itu.

Dokumen-dokumen itu diberikan kepada New York Times oleh seseorang yang
dekat dengan Freeport, dan menurut bekas karyawan maupun karyawan
Freeport
sendiri, dokumen-dokumen itu asli alias otentik. Dalam respon
tertulisnya
kepada New York Times, Freeport menyatakan bahwa perusahaan itu telah
mengambil langkah-langkah yang perlu sesuai dengan undang-undang
Amerika
Serikat dan Indonesia untuk memberikan lingkungan kerja yang aman bagi
lebih
dari 18.000 karyawannya maupun karyawan perusahaan-perusahaan
kontraktornya.
Freeport juga mengatakan tidak punya alternatif lain kecuali tergantung
sepenuhnya kepada militer dan polisi Indonesia dan keputusan-keputusan
yang
diambil dalam kaitannya dengan hubungan dengan pemerintah Indonesia dan
lembaga-lembaga keamanannya, adalah kegiatan bisnis biasa.

Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk
membangun
infrastruktur militer � barak-barak, kantor-kantor pusat, ruang-ruang
makan,
jalan � dan perusahaan juga memberikan para komandan 70 buah mobil
jenis
Land Rover dan Land Cruiser, yang diganti setiap beberapa tahun. Semua
memperoleh sesuatu, bahkan juga angkatan laut dan angkatan udara.
Menurut
bekas karyawan dan karyawan Freeport, ketika itu perusahaan ini sudah
merekrut seorang bekas agen lapangan
CIA, dan atas rekomendasinya, perusahaan kemudian mendekati seorang
atase
militer di Kedubes Amerika Serikat di Jakarta dan memintanya untuk
bergabung. Kemudian dua orang bekas perwira militer Amerika Serikat
direkrut, dan sebuah departemen khusus, yang diberi nama Perencanaan
Operasi
Darurat (Emergency Planning Operation) didirikan untuk menangani
hubungan
baru Freeport dengan militer Indonesia.

Departemen Perencanaan Operasi Darurat yang baru ini mulai melakukan
pembayaran bulanan kepada para komandan TNI, sementara kantor
Pengelolaan
Risiko Keamanan (Security Risk Management office) mengatur pembayaran
kepada
polisi. Informasi ini diperoleh dari dokumen-dokumen perusahaan dan
keterangan bekas karyawan dan karyawan Freeport. Menurut dokumen
perusahaan,
Freeport membayar paling sedikit 20 juta dolar (sekitar Rp 184 miliar)
kepada militer dan polisi di Papua dari
tahun 1998 sampai bulan Mei 2004. Kemudian ada juga tambahan 10 juta
dolar
(sekitar Rp 92 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi
pada
jangka waktu itu sehingga totalnya sekitar Rp 276 miliar.

New York Times menerima dokumen keuangan Freeport selama tujuh tahun
dari
seorang yang dekat dengan perusahaan itu. Tambahan dokumen selama tiga
tahun
diberikan oleh Global Witness, sebuah LSM yang mengeluarkan laporan
pada
bulan Juli, yang berjudul Paying for Protection (Bayaran Perlindungan)
[1]
tentang hubungan Freeport dengan militer Indonesia. Diamird 0'Sullivan,
yang
bekerja untuk Global Witness di London,
mengkritik pembayaran yang dilakukan Freeport itu.

Menurut perusahaan, semua pengeluaran yang dilakukannya itu harus
melalui
proses pemeriksaan anggaran. Catatan yang diterima New York Times
menunjukkan adanya pembayaran kepada perwira-perwira militer secara
perseorangan yang didaftarkan di bawah topik-topik seperti biaya
makanan,
jasa administrasi dan tambahan bulanan. Para komandan yang menerima
dana
tersebut tidak diharuskan menandatangani tanda terima.

Pendeta Lowry, yang pensiun dari Freeport pada bulan Maret 2004
tetapitetap
menjadi konsultan sampai bulan Juni, mengatakan, sebetulnya tidak ada
alasan
yang cukup bagi Freeport untuk memberikan dana secaralangsung kepada
para
perwira militer itu.

Catatan perusahaan menunjukkan, penerima terbesar adalah komandan
pasukan di
daerah Freeport, Letnan Kolonel Togap F. Gultom. Selama enam bulan
tahun
2001, ia diberikan hanya kurang sedikit dari 100.000 dolar untuk biaya
makanan, dan lebih dari 150.000 dolar di tahun berikutnya. Di tahun
2002,
Freeport juga memberikan uang kepada paling tidak 10 komandan lainnya
mencapai lebih dari 350.000 dolar untuk biaya makan.

Menurut para bekas karyawan dan karyawan Freeport,
pembayaran-pembayaran
tersebut dilakukan kepada para perwira itu, kepada istri-istri dan
anak-anak
mereka, secara perorangan. Yang berpangkat jenderal terbang di kelas
satu
atau kelas bisnis, dan para perwira yang lebih rendah pada kelas
ekonomi,
demikian kata Brigadir Jenderal Ramizan Tarigan yang menerima tiket
senilai
14.000 dolar pada tahun 2002 utuk dirinya dan anggota keluarganya.

Jenderal Tarigan yang menduduki posisi senior di kepolisian mengatakan,
para
perwira polisi dibolehkan menerima tiket pesawat udara karena gaji
mereka
sangat rendah tetapi adalah melanggar peraturan kepolisian untuk
menerima
pembayaran uang tunai. Pada bulan April 2002, Freeport membayar perwira
senior militer di Papua, Mayor Jenderal Mahidin Simbolon, lebih dari
64.000
dolar untuk yang disebut dalam buku keuangan Freeport sebagai "dana
untuk
rencana proyek militer tahun 2002".

Delapan bulan kemudian, di bulan Desember, Jenderal Simbolon
menerimalebih
dari 67.000 dolar untuk proyek aksi sipil
kemanusiaan.Pembayaran-pembayaran
ini pertama kali dilaporkan Global Witness.Jenderal Simbolon, yang kini
menjadi Inspektur Jenderal Angkatan Darat Indonesia, menolak permohonan
untuk diwawancarai.

Pada tahun 2003, sesudah terjadinya skandal Enron dan disahkannya
Undang-undang Sarbanes-Oxley, yang mengharuskan praktek-praktek
akuntansi
keuangan yang lebih ketat pada perusahaan-perusahaan, Freeport mulai
melakukan pembayaran kepada unit-unit militer ketimbang kepada para
perwira
secara individu. Demikian menurut catatan yang tersedia dan seperti
yang
dituturkan oleh bekas karyawan dan karyawan
perusahaan ini.

Menurut catatan, perusahaan membayar unit-unit polisi di Papua
sedikitdi
bawah angka 1 juta dolar di tahun 2003, didaftarkan di bawah
topik-topik
seperti "tambahan pembayaran bulanan," "biaya administrasi" dan
"dukungan
administratif." Freeport menyatakan kepada New York Times, di dalam
menentukan jenis dukungan yang dapat diberikan, adalah merupakan
kebijakan
perusahaan untuk memperhitungkan
kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM." Menurut catatan yang diterima
oleh
New York Times, pasukan paramiliter polisi, yaitu Brigade Mobil
(Brimob),
yang sering dikutip oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat karena
kekejamannya, menerima lebih dari 200.000 dolar di tahun 2003.

Sumber

* Laporan investigatif wartawan New York Times Jane Perlez, Raymond
Bonner
dan kontributor Evelyn Rusli, "Below a Mountain of Wealth, a River of
Waste", 27 Desember 2005. [2]
* Disunting dan diberitakan dalam bahasa Indonesia oleh Rakyat Merdeka
dengan judul "Menyusuri Sungai Limbah Di Kaki Gunung Emas Freeport"
secara
bersambung pada 16-22 Februari 2006 [3]

Peristiwa

* 21 Februari 2006, terjadi pengusiran terhadap penduduk setempat yang
melakukan pendulangan emas dari sisa-sisa limbah produksi Freeport di
Kali
Kabur Wanamon. Pengusiran dilakukan oleh aparat gabungan kepolisian dan
satpam Freeport. Akibat pengusiran ini terjadi bentrokan dan
penembakan.
Penduduk sekitar yang mengetahui kejadian itu kemudian menduduki dan
menutup
jalan utama Freeport di Ridge Camp,
di Mile 72-74, selama beberapa hari. Jalan itu merupakan satu-satunya
akses
ke lokasi pengolahan dan penambangan Grasberg. [4] [5]

* 22 Februari 2006, sekelompok mahasiswa asal Papua beraksi terhadap
penembakan di Timika sehari sebelumnya dengan merusak gedung Plasa 89
di
Jakarta yang merupakan gedung tempat PT Freeport Indonesiaberkantor.

* 23 Februari 2006, masyarakat Papua Barat yang tergabung dalam
Solidaritas
Tragedi Freeport menggelar unjuk rasa di depan Istana, menuntuk
presiden
untuk menutup Freeport Indonesia. Aksi yang samajuga dilakukan oleh
sekitar
50 mahasiswa asal Papua di Manado.

* 25 Februari 2006, karyawan PT Freeport Indonesia kembali bekerja
setelah
palang di Mile 74 dibuka.

* 27 Februari 2006, Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat
menduduki
kantor PT Freeport Indonesia di Plasa 89, Jakarta. Aksi menentang
Freeport
juga terjadi di Jayapura dan Manado.

* 28 Februari 2006, Demonstran di Plasa 89, Jakarta, bentrok dengan
polisi.
Aksi ini mengakibatkan 8 orang polisi terluka.

* 1 Maret 2006, demonstrasi selama 3 hari di Plasa 89 berakhir.
8aktivis LSM
yang mendampingi mahasiswa Papua ditangkap dengan tuduhan
menyusup ke dalam aksi mahasiswa Papua [6] [7]. Puluhan mahasiswa asal
Papua di Makassar berdemonstrasi dan merusak Monumen Pembebasan Irian
Barat.

* 3 Maret 2006, masyarakat Papua di Solo berdemonstrasi menentang
Freeport.

* 7 Maret 2006, demonstrasi di Mile 28, Timika di dekat bandar udara
Moses
Kilangin mengakibatkan jadwal penerbangan pesawat terganggu.

* 14 Maret 2006, massa yang membawa anak panah dan tombak menutup
checkpoint
28 di Timika. Massa juga mengamuk di depan Hotel Sheraton.

* 15 Maret 2006, Polisi membubarkan massa di Mile 28 dan menangkap
delapan
orang yang dituduh merusak Hotel Sheraton. Dua orang polisiterkena anak
panah.

* 16 Maret 2006, aksi pemblokiran jalan di depan Kampus Universitas
Cendrawasih, Abepura, Jayapura, oleh masyarakat dan mahasiswa yang
tergabung
dalam Parlemen Jalanan dan Front Pepera PB Kota Jayapura, berakhir
dengan
bentrokan berdarah, menyebabkan 3 orang anggota Brimob dan 1 intelijen
TNI
tewas dan puluhan luka-luka baikdari pihak mahasiswa dan pihak aparat.
[8]
[9]

* 17 Maret 2006, Tiga warga Abepura, Papua, terluka akibat terkena
peluru
pantulan setelah beberapa anggota Brimob menembakkan senjatanya ke
udara di
depan Kodim Abepura [10]. Beberapa wartawan televisi yang meliput
dianiaya
dan dirusak alat kerjanya oleh Brimob.

* 22 Maret 2006, satu lagi anggota Brimob meninggal dunia setelah
berada dalam kondisi kritis selama enam hari
* 23 Maret 2006, lereng gunung di kawasan pertambangan terbuka PT
Freeport Indonesia di Grasberg, longsor dan menimbun sejumlah pekerja.
3 orang meninggal dan puluhan lainnya cedera [11].
* 23 Maret 2006, Kementerian Lingkungan Hidup mempublikasi temuan
pemantauan dan penataan kualitas lingkungan di wilayah penambangan PT
Freeport Indonesia. Hasilnya, Freeport dinilai tak memenuhi batas air
limbah dan telah mencemari air laut dan biota laut.[12] [13]
* 18 April 2007, sekitar 9.000 karyawan Freeport mogok kerja untuk
menuntut perbaikan kesejahteraan. Perundingan akhirnya diselesaikan
pada 21 April setelah tercapai kesepakatan yang termasuk mengenai
kenaikan gaji terendah [14]

2 comments:
Write komentar

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)