Thursday, July 3, 2008

[tips menulis] Yuk Membumi!

*Yuk Membumi!
**Oleh Nursalam AR**

"Tulisan non-fiksi adalah mata air tulisan fiksi." (Herry Nurdi, aktivis FLP
dan penulis)
*
Salah satu pelajaran penting yang saya dapat selama "nyantri" di suatu *writing
group* yang memproduksi skenario sinetron komedi (sitkom) adalah bagaimana
membuat dialog yang realistis dan membumi. Aris Nugraha, sang mentor yang
juga bidan sitkom *Bajaj* *Bajuri* selalu menekankan-- terkadang bahkan
"mencela" dengan gayanya yang khas -- agar setiap dialog bernas dan sesuai
dengan realita. Seorang rekan pernah disentilnya karena menuliskan dialog *wong
cilik *dengan bahasa Indonesia dan diksi yang baku persis guru bahasa
Indonesia di zaman SMP.

"Masak tukang becak ngomongnya filosofis banget!" semprotnya. "Yang
realistislah! "

Kami tersenyum melihat wajah rekan itu yang merah padam karena malu. Beliau
memang begitu, tapi juga lucu. Terlebih lagi suka berbagi ilmu. Ada satu
trik jitu darinya agar kalimat atau dialog realistis. Lafalkan atau ucapkan
dengan suara keras dialog tersebut secara berulang-ulang. Lalu rasakan
dengan hati dan telinga. Janggal tidak terdengar di telinga? Cukup riilkah
dengan konteks kalimat dan situasi? Tips sederhana yang sebenarnya manjur
untuk jenis penulisan lain selain skenario. Yah, realistis. Itu juga kunci
yang, menurut Mas Aris, merupakan kunci kesuksesan sitkom
masterpiece- nya, *Bajaj
Bajuri*. Suatu realitas pengemudi bajaj yang lekat dengan keseharian kita.
Yang membuat kita sebagai penonton merasa dekat bahkan mengidentifikasikan
diri dengan si Bajuri.

Yah, realistis. Itu yang kadang kita lupa. Realistis bukan hanya soal dialog
atau kalimat. Realistis juga soal kesesuaian dengan konteks sikon. Sewaktu
SD, sebuah karangan saya luput dapat nilai tertinggi di kelas hanya karena
"satu kalimat": "Setiap pagi nelayan berangkat melaut". Saya lupa realitas
bahwa pekerjaan nelayan tidaklah sama dengan orang kantoran yang berangkat
tiap pagi. Nelayan justru berangkat kerja setiap petang jelang malam. Tapi,
di banyak pelatihan dan di banyak milis, kesalahan sejenis yang "sepele"
masih saja saya temui meski zaman SD dulu masih era 1980-an.

Saya teringat memori puluhan tahun lalu itu ketika baru-baru ini membantu
kawan menerjemahkan sebuah novelet. Dalam novelet yang masih sangat pemula,
sang penulis memberi nama tokoh-tokohnya dengan nama "Reva", "Shierly" dan
"Ricky". *Setting*-nya di kota metropolitankah? Tidak, *setting*-nya adalah
desa terpencil di pedalaman Provinsi Bengkulu. Ah, aroma sinetron yang
kental sekali!

Realistis juga bicara soal pengayaan jiwa dan tulisan kita. Ada satu milyar
lebih tulisan tentang anak SMP yang berkisah soal cinta. Seakan dunia ini
hanya hidup dan dihidupi dengan cinta? Pemahaman yang realistislah yang
membuat suatu kisah cinta yang klasik lebih terasa "dekat" dan "membumi".
Ada kasus narkoba, korupsi, *trafficking* (perdagangan anak dan perempuan)
dll yang ada di depan kita , yang kadang luput kita tangkap hanya karena
kita asyik masyuk berfantasi di dunia mimpi. Mimpi yang seragam, dan mimpi
yang sempurna. Kita takut dengan realitas di depan kita, dan menjadikan
tulisan sebagai pelarian. Tanpa disadari, ia masuk ke dalam jiwa dan luber
dalam tulisan. Sehingga tak jarang kita menjumpai tulisan yang "autis",
asyik dengan dunianya sendiri. Bahkan tak realistis.

Barangkali obatnya adalah mencari air penyembuh di mata air abadi, seperti
dalam dongeng. Seperti kata Herry Nurdi yang juga wartawan SABILI bahwa
tulisan nonfiksi adalah mata air bagi tulisan fiksi, cara termudah adalah
menuliskan observasi dan renungan kita atas pengalaman sehari-hari dan
berbagi dengan orang lain. Setidaknya ada pahala shodaqoh yang didapat.
Syukur-syukur kritik dan masukan. Bahkan, dalam sebuah komunitas,
berlimpahnya teman adalah berkah tersendiri dari berbagi cerita pengalaman.
Untuk tujuan mulia tersebut itulah komunitas Sekolah Kehidupan (
sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com dan sekolah-kehidupan. multiply. com)
tercipta.

Haramkah menulis fiksi? Tidak. Namun, sebaiknya belajarlah langsung dari
sumber, dari mata air abadi. Ia dekat dengan kita. Ia ada di genggaman kita.
Jika mata air sudah berlimpah, tulisan apapun sebagai muara akan memperoleh
berkah juga dari kemakmuran sang mata air. Karena realistis, karena membumi,
adalah hal pertama dalam hidup seorang manusia yang beradab. Bukankah
pelajaran pertama nabi Adam adalah ketika Tuhan mengajarkannya nama-nama
benda (baca: observasi)?

Mari belajar menulis diary sebelum menulis fiksi. Jika tidak setuju, anggap
saja ini sebuah rekomendasi. Atau coba lihat ke sudut lain, dan baca lagi
seruan tadi. Maka ia akan terbaca sebagai: Yuk membumi!

*Jakarta, 2 Juli 2008
-sebuah solilokui (nyanyi sunyi) untuk diri sendiri-*
--
-"When there's a will there's a way"
Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-91477730
http://nursalam. multiply. com
YM ID: nursalam_ar

No comments:
Write komentar

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)