Friday, April 9, 2010

Bubur Sumsum yang "Menggoda"


Jakarta pagi telah cukup panas. Padahal, hari itu baru pukul tujuh. Di bawah jembatan penyeberangan, penjual bubur sumsum memarkir motor dengan gerobaknya. Berhari-hari aku menahan diri tak membeli. Namun, hari ini tak kuasa lagi. Aku menghampirinya. Memesan senungkus sumsum tanpa candil. Hanya beserta gula cair dan santan yang dibungkus plastic sendiri. Aku membayangkan kelezatan bubur itu, seperti pengalaman pertamaku saat lidahku merasakan lembutnya bubur sumsum di kampong kakakku. Setidaknya, itulah harapanku. Tak terlalu berlebihan, kukira. Aku melihat tanda-tandanya pada gerobak penjual sumsum di kramat itu. Ya. Ia tak jauh beda dengan yang dulu kutemu.

Penjual itu cukup meyakinkan. Aku kerap kali mulai menilai rasa masakan seorang penjual lewat caranya meladeni pembeli. Caranya memasak atau meracik jualannya. Sekali lagi ia terlihat meyakinkan. Aku berharap padanya. Berharap bahwa rasa bubur buatannya—atau mungkin buatan istrinya—juga lezat. Pastinya, akan menjadi garansi bagiku untuk membelinya setiap pagi.

Selembar lima ribu rupiah kusodorkan. Ia dengan lincah pula mengembalikan seribu lima ratus. Tak lupa, ia menyodorkan pula setumpuk tissue. Silakan ambil, katanya. Kuambil selembar saja. Itu sudah sangat cukup, kukira. Di mejaku juga masih ada satu boks tisu Pasti buatan salah satu minimart.

Aku tidak perlu lama menunggu kedatangan busway. Ia datang dengan penumpang yang telah penuh. Tak ada kursi kosong tersisa. Masih ada sekitar tujuh orang yang berdiri pula. Tak biasanya, pikirku. Busway yang arah Kampung Melayu hampir selalu kosong saat pagi. Dan berkebalikan saat sorenya. Begitu pula yang ke arah Senen-Ancol, selalu penuh paginya dan kosong sorenya.

Aku mungkin bisa berhemat seribu lima ratus setiap hari, andai kudatang di halte busway sebelum jam tujuh pagi. Tapi, itu terlalu pagi bagiku. Aku kerap kali bangun kesiangan. Tiba di kantor pun akan terlalu pagi. Mungkin, aku akan terkunci dari luar. Tak bisa masuk karena bahkan yang bawa kunci belum juga datang. Jadi, kupikir jam 7 adalah jam yang pas untuk berangkat kerja. Aku akan tiba di kantor sekitar jam 7.40. aku punya cukup waktu untuk makan bubur, nasi uduk di jalan seberang, bikin kopi, baca Republika, koran Duta—yang kubawa dari kantorku yang lain, atau sekadar berbincang dengan teman kerja.

Aku seperti sudah tak sabar lagi. Bubur sumsum yang menggoda di tiap pagiku, membuatku bercepat-cepat membukanya. Sendok pertama, aku kecewa. Rasanya jauh sekali dari bayanganku. Bahkan jauh dari rasa bubur-bubur lain yang pernah kurasakan sebelumnya. “Orang ini gak bisa bikin bubur kok jualan bubur!” entakku menggerutu. Teman kantorku di sebelahku bekomentar, “Tuntutan.” Hmmm… aku hanya bisa menggerutu. Selanjutnya, kutuangkan santan kelapa yang terbungkus di plastik terpisah. Ia tak cukup kental. Aku semakin tidak percaya dengan rasanya. Dan, benar saja. Santan itu bahkan sudah basi. Kecut. Karena sayang, tetap saja kuteruskan sendokanku. Namun, aku sama sekali tak menyertakan santan itu ke dalam mulutku. Ya, tentu saja ada sedikit-sedikit yang ikut terbawa bersama sumsum itu. Rasanya tak terlalu siginifikan di mulut. Aku cepat sekali melahapnya. Caranya, tentu saja dengan tidak memikirkan ada santan yang basi di dalamnya. Yang penting aku harus menghabiskannya segera. Dan, sekali lagi, aku meyakini hal baru hari ini. Aku tak akan membeli bubur itu lagi.

Kramat

No comments:
Write komentar

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)