Guru yang Tak Disuka
Beberapa hari lalu,
dalam momen Hari Guru saya meminta
murid-murid di kelas untuk menulis. Selain bercerita tentang sosok guru
favorit, juga gambaran guru yang tak disuka. Menurut tulisan mereka, di antara
ciri guru yang tidak suka adalah yang suka pilih kasih.
Saya tanyakan; yang dimaksud dengan pilih kasih
itu yang seperti apa. Serempak sekali jawaban mereka. Yakni guru yang
membeda-bedakan muridnya; antara yang “pintar” dan yang tidak. Murid yang
sering bisa jawab (“pintar”) kerap dipuji-puji dan disebut-sebut dalam kelas. Sementara
yang dianggap tidak bisa tidak pernah dipuji-puj—bahkan sesekali bisa jawab
juga diacuhkan.
Adalah sebuah hal yang wajar—sebagai manusia—guru bangga
atas prestasi muridnya. Guru akan merasa bahagia saat muridnya mampu memahami
pelajaran yang disampaikannya. Saya telah berhasil, begitu kira-kira
pikiran sang guru. Menjadi wajar pula bila murid itu sering disebut-nya. Sebaliknya,
bisa jadi guru kecewa ketika ia merasa sudah berusaha maksimal, namun muridnya
tak juga nyantol.