Imam yang Ngeden Bacaannya
• Imam yang Ngeden Bacaannya •
Suatu hari, dalam perjalanan ke Jogja (hari Jumat), saya bersama dua santri terpaksa Jumatan di jalan. Daerah Alas Roban.
Jumatan di sebuah masjid kecil.
Yang ikut jumatan, hanya 16 orang.
Khutbahnya gak karuan. Entah apa yang dibahas.
Saat shalat, bacaannya berat.
Susah sekali sepertinya bagi dia baca ayat-ayat.
Jangan tanya tajwidnya. Apalagi makharijul hurufnya.
Intinya, jaaaauh dari standard bacaan yang benar.
Dalam hati, saya bergumam; Ya Allah, betapa beratnya dia baca firman-Mu. Seperti orang sambil ngeden saat hendak melahirkan.
Usai jumatan, dua santri saya mengulang shalatnya dengan shalat Dzuhur. Memang secara fiqih, jumatan tersebut tidak sah.
Tapi, saya gak mengulang shalat.
Santri saya bertanya;
"Gus, kok mboten ngulangi shalat?"
"Iya, saya sengaja. Saya ingin menunjukkan pada Allah bahwa saya ikhlas diimami orang seperti itu. Saya ingin menyatakan kepada Allah bahwa meskipun secara standard fikih itu tidak benar, tapi yang namanya kebaikan dan sujud pada Allah pasti benar di sisi Allah.
Apapun bentuknya. Siapapun orangnya."
Karena itu,
Saya gak pernah pilih-pilih imam.
Saya persilakan siapapun jadi imam saya.
Orang jenggoten.
Celana cingkrang.
Sarungan.
Pakai jubah.
Pakai sorban.
Saya ikhlas dan bersedia jadi makmum mereka. Walaupun bacaannya salah, saya tidak pernah menyesal.
Memang, ada hadits :
"Yang jadi imam adalah yang paling kompeten dalam Alquran."
Tapi ingat, ada juga hadits:
"Shalatlah di belakang orang Yang mengucapkan la ilaaha illallah."
Juga ada riwayat:
"Shalatlah di belakang baarr (pelaku kebaikan) & fajir (pelaku keburukan)."
Saya ingin Allah menyaksikan; saya pernah mengamalkan semua hadits tersebut.
~ dari cerita Gus Baha'
Suatu hari, dalam perjalanan ke Jogja (hari Jumat), saya bersama dua santri terpaksa Jumatan di jalan. Daerah Alas Roban.
Jumatan di sebuah masjid kecil.
Yang ikut jumatan, hanya 16 orang.
Khutbahnya gak karuan. Entah apa yang dibahas.
Saat shalat, bacaannya berat.
Susah sekali sepertinya bagi dia baca ayat-ayat.
Jangan tanya tajwidnya. Apalagi makharijul hurufnya.
Intinya, jaaaauh dari standard bacaan yang benar.
Dalam hati, saya bergumam; Ya Allah, betapa beratnya dia baca firman-Mu. Seperti orang sambil ngeden saat hendak melahirkan.
Usai jumatan, dua santri saya mengulang shalatnya dengan shalat Dzuhur. Memang secara fiqih, jumatan tersebut tidak sah.
Tapi, saya gak mengulang shalat.
Santri saya bertanya;
"Gus, kok mboten ngulangi shalat?"
"Iya, saya sengaja. Saya ingin menunjukkan pada Allah bahwa saya ikhlas diimami orang seperti itu. Saya ingin menyatakan kepada Allah bahwa meskipun secara standard fikih itu tidak benar, tapi yang namanya kebaikan dan sujud pada Allah pasti benar di sisi Allah.
Apapun bentuknya. Siapapun orangnya."
Karena itu,
Saya gak pernah pilih-pilih imam.
Saya persilakan siapapun jadi imam saya.
Orang jenggoten.
Celana cingkrang.
Sarungan.
Pakai jubah.
Pakai sorban.
Saya ikhlas dan bersedia jadi makmum mereka. Walaupun bacaannya salah, saya tidak pernah menyesal.
Memang, ada hadits :
"Yang jadi imam adalah yang paling kompeten dalam Alquran."
Tapi ingat, ada juga hadits:
"Shalatlah di belakang orang Yang mengucapkan la ilaaha illallah."
Juga ada riwayat:
"Shalatlah di belakang baarr (pelaku kebaikan) & fajir (pelaku keburukan)."
Saya ingin Allah menyaksikan; saya pernah mengamalkan semua hadits tersebut.
~ dari cerita Gus Baha'