Membenci Maksiat Harus Pakai Ilmu
• Membenci Maksiat Harus Pakai Ilmu •
Misalnya, anda di jalan raya.
Lihat anak-anak jalanan sedang menghadang kendaraan atau meminta-minta agak memaksa.
Anda mungkin bergumam; "Anaknya siapa itu, ya? Kok bisa kayak gitu? Apa gak diurus orangtuanya?"
Anda marah dan membenci kelakuan mereka.
Bahkan bisa jadi, muncul sumpah serapah yang lebih buruk--jika korbannya adalah anda sendiri.
Tapi,
Begitu diberitahu bahwa yang di jalanan tadi itu salah satunya ialah keponakan anda.
Saya yakin kalimat gumam anda bakal berubah.
"Mugi-mugi Gusti Allah mengampuni. Semoga segera sadar dan bertobat."
Kalimat anda berbalik 180 derajat.
Misalnya,
Anda mendengar tetangga anda jadi korban narkoba
Kecanduan obat terlarang.
Bisa jadi, anda akan bicara buruk tentang tetangga itu
Kebablasan, ngomong yang tidak-tidak
Tapi,
Begitu menyadari bahwa tetangga itu yang suka memberi anda
Sering mengirimi sembako
Suka memberi pinjaman utang (nirbunga)
Sikap anda berbalik 180 derajat
Mendoakan semoga segera sembuh dan terhindar dari narkoba
Misal lainnya,
Anda naik bis umum
Kaki anda terinjak penumpang lain
Seketika anda bergolak mau marah dan menyentak si penginjak
Namun,
Begitu tahu si penginjak itu seorang perempuan muda yang cantik
Sikap anda bisa berubah ...
"Gak apa-apa, mbak. Gak sakit kok...!!!"
Lha,
Terus, anda marah itu karena kesalahannya,
ataukah ...
Karena dia tidak "cantik" dalam standar anda?
Sebabnya ialah:
Kasus pertama, anda menyikapi maksiat/kesalahan tanpa kepentingan
Kasus kedua, karena Anda menyikapi maksiat dengan kepentingan
Di sinilah pentingnya ilmu dalam menyikapi segala hal
Termasuk sikap tegas terhadap maksiat atau kesalahan yang diperbuat orang lain.
Di sinilah, ilmu tasawuf menunjukkan perannya
Sehingga anda bisa bersikap adil, penuh hikmah dalam menyikapi kebaikan ataupun keburukan orang lain (keluarga atau tidak, separtai atau tidak, seorganisasi atau tidak, sesuku atau tidak).
Wassalam...
Babat, 19 Juni 2018
@mskholid
*disarikan dari ngajinya Gus Bahauddin Nursalim نفعنا الله بعلومه
Misalnya, anda di jalan raya.
Lihat anak-anak jalanan sedang menghadang kendaraan atau meminta-minta agak memaksa.
Anda mungkin bergumam; "Anaknya siapa itu, ya? Kok bisa kayak gitu? Apa gak diurus orangtuanya?"
Anda marah dan membenci kelakuan mereka.
Bahkan bisa jadi, muncul sumpah serapah yang lebih buruk--jika korbannya adalah anda sendiri.
Tapi,
Begitu diberitahu bahwa yang di jalanan tadi itu salah satunya ialah keponakan anda.
Saya yakin kalimat gumam anda bakal berubah.
"Mugi-mugi Gusti Allah mengampuni. Semoga segera sadar dan bertobat."
Kalimat anda berbalik 180 derajat.
Misalnya,
Anda mendengar tetangga anda jadi korban narkoba
Kecanduan obat terlarang.
Bisa jadi, anda akan bicara buruk tentang tetangga itu
Kebablasan, ngomong yang tidak-tidak
Tapi,
Begitu menyadari bahwa tetangga itu yang suka memberi anda
Sering mengirimi sembako
Suka memberi pinjaman utang (nirbunga)
Sikap anda berbalik 180 derajat
Mendoakan semoga segera sembuh dan terhindar dari narkoba
Misal lainnya,
Anda naik bis umum
Kaki anda terinjak penumpang lain
Seketika anda bergolak mau marah dan menyentak si penginjak
Namun,
Begitu tahu si penginjak itu seorang perempuan muda yang cantik
Sikap anda bisa berubah ...
"Gak apa-apa, mbak. Gak sakit kok...!!!"
Lha,
Terus, anda marah itu karena kesalahannya,
ataukah ...
Karena dia tidak "cantik" dalam standar anda?
Sebabnya ialah:
Kasus pertama, anda menyikapi maksiat/kesalahan tanpa kepentingan
Kasus kedua, karena Anda menyikapi maksiat dengan kepentingan
Di sinilah pentingnya ilmu dalam menyikapi segala hal
Termasuk sikap tegas terhadap maksiat atau kesalahan yang diperbuat orang lain.
Di sinilah, ilmu tasawuf menunjukkan perannya
Sehingga anda bisa bersikap adil, penuh hikmah dalam menyikapi kebaikan ataupun keburukan orang lain (keluarga atau tidak, separtai atau tidak, seorganisasi atau tidak, sesuku atau tidak).
Wassalam...
Babat, 19 Juni 2018
@mskholid
*disarikan dari ngajinya Gus Bahauddin Nursalim نفعنا الله بعلومه