khutbah Idul Adha; Belajar Jadi Ayah Sukses dari Nabi Ibrahim
Khutbah I
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ.
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ.
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ.
اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا
وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ
وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ،
لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ.
الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانَ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ
فَخَصَّ بَعْضَ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَّليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلَ
يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلّ وسّلِّمْ وبارك
علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ
في أَنْحَاءِ البِلاَدِ.
أمَّا بعْدُ، فيَا
أَيُّهَا النَّاسُ: اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ . فَقَدْ قَالَ
اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akbar ...
Kaum Muslimin dan Muslimat yang
berbahagia...
Hari raya kurban atau biasa kita sebut dengan Idul Adha,
yang kita peringati setiap tahun tak bisa lepas dari kisah Nabi Ibrahim alaihissalam.
Sosok manusia pilihan ingkang patut kitho teladani dalam kehidupan sehari-hari.
Julukan Nabi Ibrahim alaihissalam adalah Khalilullah (sang kekasih
Allah) dan Abul Anbiya’ (bapaknya para nabi).
Sejarah mencatat; di antara 25 nabi yang diutus setelah Nabi
Ibrahim, semuanya adalah anak keturunan Nabi Ibrahim as. Dari istri pertama; Sayyidah
Sarah, Nabi Ibrahim dipun karuniai anak seorang Nabi yang Ishaq AS. Kemudian beliau
melahirkan seorang nabi pula; inggih meniko Nabi Ya’qub As. Nabi Ya’qub As
terkenal dengan nama Israel, sehingga anak keturunannya disebut dengan nama
Bani Israel.
Bani Israel meniko, terkenal dengan kecerdasannya. Mayoritas
nabi yang diutus setelah zaman Nabi Ibrahim berasal saking bani Israel. Beberapa
nama nabi besar yang bisa kita sebut antara lain; Nabi Yusuf, Nabi Yunus, Nabi Ayyub,
Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi Musa, Nabi Yahya, hingga Nabi Isa alaihimus
salam. Semuanya adalah di antara keturunan Nabiyyullah Ibrahim AS dari
jalur istri yang pertama.
Dari istri kedua, yakni Sayyidah Hajar, Nabi Ibrahim AS
dipun karuniai seorang putra yang saleh. Yakni Nabi Ismail AS, yang mana dari
keturunan Nabi Ismail inilah akan lahir seorang manusia terbaik, nabi pamungkas
di akhir zaman, sang Teladan; Baginda Rasulullah saw.
Maasyirol Muslimin, jamaah shalat
Idul Adha yang berbahagia...
Sebagai sosok seorang ayah, Nabi Ibrahim bisa dibilang
sangat sukses. Terbukti dengan; Allah SWT memilih anak keturunan beliau sebagai
para nabi yang berdakwah dan menyeru kepada Allah SWT. Kita sebagai orangtua,
yang tentu saja bercita-cita nggadahi anak keturunan yang saleh dan salehah;
perlu menyimak kembali sekilas perjalanan hidup Nabi Ibrahim AS sehingga bisa
menjadi sosok khalilullah dan abul anbiya’---sosok manusia hebat
yang melahirkan anak keturunan hebat pula.
Wonten beberapa pelajaran penting dari kehidupan beliau yang
bisa kita petik hikmahnya;
Pertama, Hormat kepada Orangtua.
Nabiyullah Ibrahim as mempunyai seorang ayah bernama Azar.
Ketika masih kecil, Ibrahim As sudah berbeda keyakinan dengan bapaknya—yang
merupakan seorang pejabat negara urusan peribadatan (utawi ingkang ngurusi
patung-patung berhala). Akan tetapi, ketika menasihati ayahnya yang syirik
kepada Allah, Nabi Ibrahim tetap menunjukkan ketinggian budipekerti dan akhlak mulia
yang ditunjukkan lewat perkataan dan sikap yang baik kepada ayahnya.
Beliau menolak kebiasaan ayahnya dan kaumnya, yang
menyembah berhala dengan menggunakan kalimat pertanyaan. Wonten ing surah
al-Anbiya’ (52-54) disebutkan dialog Nabi Ibrahim dengan ayahnya:
اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖ مَا
هٰذِهِ التَّمَاثِيْلُ الَّتِيْٓ اَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُوْنَ
“(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata
kepada bapaknya dan kaumnya, "Patung-patung apakah ini yang kalian tekun
beribadat kepadanya?”
قَالُوا۟ وَجَدۡنَاۤ ءَابَاۤءَنَا
لَهَا عَـٰبِدِینَ ٥٣
Mereka menjawab, "Kami
mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.”
قَالَ لَقَدۡ كُنتُمۡ أَنتُمۡ وَءَابَاۤؤُكُمۡ فِی ضَلَـٰلࣲ مُّبِینࣲ ٥٤
Dia (Ibrahim) berkata,
"Sesungguhnya kamu dan nenek moyang kamu berada dalam kesesatan yang
nyata."
Nabi Ibrahim AS juga menunjukkan sebuah argumen ingkang
masuk akal. Beliau berkata sebagaimana yang disebutkan dalam surah As-Shaffat
ayat 95: قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ
"Apakah kamu menyembah
patung-patung yang kamu pahat itu?”
Dengan kata-kata yang lembut dan masuk logis itulah, Nabi
Ibrahim berharap supaya orangtua dan kaumnya bisa sadar dari kesesatan dan
kemuyrikan. Bahkan, beliau juga mendoakan agar ayahnya itu mendapat hidayah dan
ampunan Allah Swt.
رَبَّنَا اغۡفِرۡ لِىۡ وَلـِوَالِدَىَّ وَلِلۡمُؤۡمِنِيۡنَ يَوۡمَ يَقُوۡمُ
الۡحِسَابُ
Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan semua orang yang
beriman pada hari diadakan perhitungan (hari Kiamat)."
Kita, sebagai anak, terkadang berbeda pendapat atau
pandangan dengan orangtua tentang suatu masalah tertentu. Seringkali, kita
terbawa emosi, marah, benci, bahkan mungkin menjurus kasar kepada orangtua. Padahal,
sesungguhnya perbedaan pendapat tersebut bisa diselesaikan dengan hati lapang
dan keterbukaan. Padahal, perbedaan tersebut hanyalah urusan kecil—yang amat tidak
sebanding dengan perbedaan keyakinan antara Nabi Ibrahim dengan ayahnya.
Pepatah Arab mengatakan: كما تدين تدان "Kamu akan diperlakukan
sebagaimana kamu memperlakukan"
Keranten meniko, salah satu upaya kita nggadahi anak-anak
keturunan ingkang shaleh salehah, anak-anak ingkang nurut dan berakhlakul
karimah kepada orangtuanya ialah: memulai saking diri kita piyambak-piyambak.
Yakni dengan cara berbuat yang baik, berkata yang sopan, lan taat dateng
orangtua kita masing-masing. Fa-insya Allah, perilaku kita yang baik tersebut
akan dilihat dan dados teladan anak keturunan kita; bagaimana cara
memperlakukan orangtuanya.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akbar, walillahil hamd...
Maasyirol Muslimin, jamaah shalat
Idul Adha yang berbahagia...
Teladan Kedua saking Nabiyullah Ibrahim ialah: Beliau
adalah Sosok cerdas yang menggunakan akalnya.
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَآ إِبْرَٰهِيمَ رُشْدَهُۥ مِن قَبْلُ
وَكُنَّا بِهِۦ عَٰلِمِينَ . (الأنبياء
- 51
“Dan sesungguhnya telah Kami
anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (diutus menjadi Nabi), dan adalah Kami mengetahui
(keadaan)nya.”
Dalam Tafsir Al-Wasith, Syekh Sayyid
At-Thantawi menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim sudah diberikan kecerdasan dan
kemampuan untuk memilah kebaikan dan kebatilan sebelum diutus sebagai Nabi—bahkan
sebelum baligh. Keistimewaan inilah yang menjadikan Nabi Ibrahim alaihissalam
tetap mempertahankan tauhidnya di tengah-tengah para penyembah berhala. Beliau tidak
terbawa arus keyakinan mayoritas masyarakatnya. Beliau justru berupaya
melakukan perubahan dan penyadaran atas kesesatan masyarakatnya. Sikap dan
prinsip ingkang teguh meniko, menjadikan beliau senantiasa berpegang teguh dan
bersandar hanya kepada Allah Swt.
Kita tentu masih ingat peristiwa ketika beliau sedang
dibakar api yang menyala-nyala oleh Raja Namrud. Datanglah Malaikat Jibril AS menawarkan
bantuan, “Wahai Nabi Ibrahim, apa yang bisa aku bantu?”
Nabi Ibrahim menjawab, “Mohon maaf, saya tidak butuh
bantuan dari Engkau, wahai Jibril. Aku hanya butuh bantuan dari Allah azza
wajalla.”
Allah kemudian berfirman:
قُلْنَا يَا
نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ
(69)
“Kami (Allah) berfirman, “Wahai api!
Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!”
Hingga api unggun yang menyala-nyala meniko habis dan padam,
Nabi Ibrahim tetap segar bugar. Tiada satu pun anggota tubuh beliau yang
terbakar. Bahkan, sehelai rambut pun tidak ada yang terbakar.
Ilmu, akal cerdas, dan pendidikan tinggi meniko tentu
saja bakal memberi manfaat manakala anugerah yang diberikan Allah tersebut,
kita gunakan secara baik dan benar. Jangan sampai kelebihan akal dan ilmu, membuat
kita skeptis dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Apalagi malah cenderung
mengikuti arus yang terjadi di masyarakat. Jika orang-orang baik, orang-orang
yang berilmu tidak lagi peduli dengan permasalahan yang terjadi di sekitarnya,
maka tinggal menunggu saja saat-saat ketika nilai-nilai kebaikan yang sudah
berjalan bertahun-tahun, akan diganti dengan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya.
Sikap peduli pada lingkungan sekitar, akan melahirkan karakter
seorang pejuang. Tentu saja, sebagai orangtua, perilaku ini akan menjadi
teladan bagi anak-anak kita. Keturunan kita akan manut lan mengikuti apa yang
selama ini sudah kita perjuangkan; bisa dalam bentuk urip-urip agomo utawi kebaikan
di lingkungan masyarakat. Bisa jadi, kebaikan dan kesuksesan yang kita
perjuangkan belum tercapai di masa kita, akan tetapi baru tercapai dan
diperoleh di zaman anak cucu lan keturunan kita.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akbar, walillahil hamd...
Maasyirol Muslimin, jamaah shalat
Idul Adha yang berbahagia...
Peristiwa ketiga dari kisah Nabi Ibrahim ialah kesabaran
dan keteguhan hati beliau ketika meninggalkan anaknya Ismail kecil bersama
Sayyidah Hajar di kota area Ka’bah dengan sedikit bekal. Ketika itu, Mekah tidak
berpenduduk, tanahnya tandus, air pun sangat langka untuk didapat.
Ketika Ibrahim berbalik hendak pulang, Sayyidah Hajar
memanggil-manggil Ibrahim—seakan mempertanyakan keputusan beliau meninggalkan
anak dan istrinya di tanah Mekah tersebut. Berulang-ulang sang istri bertanya,
namun Nabi Ibrahim tidak menoleh ke belakang dan tidak menjawab.
Hingga kemudian Sayyidah Hajar bertanya, “Apakah Tuhanmu
yang menyuruh Engkau?”
“Iya,” jawab Ibrahim.
“Kalau memang demikian, kami tidak akan ditinggalkan
(Allah).” Ujar Sayyidah Hajar.
Bagi orang yang tidak paham, mungkin akan menganggap Nabi
Ibrahim sebagai raja tega yang tidak berperasaan kepada keluarganya. Anggapan
ini jelas keliru! Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim adalah atas perintah Allah
SWT. Memang, ujian ini tidak ringan bagi beliau—apalagi harus meninggalkan anak
satu-satunya yang sudah dinantikan sekian puluh tahun. Keengganan Ibrahim untuk
berbalik, agaknya supaya tidak makin menunjukkan kepedihannya meninggalkan
mereka berdua.
Teladan atas peristiwa ini bagi kita, mungkin akan kita
temukan saat orangtua untuk pertama kalinya berpisah dengan sang buah hati. Manakala
orangtua melepaskan anak tersayang untuk pergi ke pondok, mencari ilmu. Peristiwa
tersebut, bisa jadi amat menyedihkan. Sang anak menangis, ayah dan ibunya juga
menangis. Akan tetapi, kesedihan tersebut harus ditahan. Tidak boleh
ditampakkan dihadapan sang anak—demi menyongsong masa depannya yang lebih baik.
Sebagaimana Nabi Ibrahim AS ketika berpisah dengan anak
dan istrinya di Mekah, beliau mendokan:
رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ
فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ
الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ.
"Ya Tuhan kami, (aku tinggalkan sebahagian
keturunanku di lembah yang gersang itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah
rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
Maka, seyogianya orangtua harus bersabar dengan berpisah
dengan ankanya. Orangtua harus senantiasa berusaha meneguhkan hati anaknya
ketika menjalani kondisi yang mungkin tidak mengenakkan bagi sang anak selama
di pondok. Bisa soal makanan, fasilitas kamar mandi, fasilitas kamar tidur, dan
lain sebagainya. Tentu saja seraya terus mendoakan supaya sang anak menjadi
anak menjadi generasi penerus yang saleh dan salehah, yang senantiasa
mendirikan shalat serta diberikan rejeki yang berlimpah.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akbar, walillahil hamd...
Maasyirol Muslimin, jamaah shalat
Idul Adha yang berbahagia...
Pelajaran keempat dari kisah Nabi Ibrahim terjadi ketika Nabi
Ismail alaihissalam beranjak remaja. Ia menjadi seorang anak yang
sholeh, taat, dan patuh kepada Allah Swt dan orangtuanya. Ketika itu, Nabi
Ibrahim AS bermimpi diperintah Allah untuk menyembelih anaknya, nabi Ismail AS.
Terjadilah dialog antara ayah dan anak yang merupakan sebuah hubungan lan
gambaran ketaatan kepada Allah Swt. Karakter seorang ayah yang membangun sebuah
komunikasi dialogis-persuasif, membuat sang anak ikut meyakini apa yang diwahyukan
kepada ayahnya. Firman Allah dalam Surah As-Shaffat ayat 102:
قَالَ
يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا
تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ
مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya, “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia
sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya
aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail)
menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu!
Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”
Kita melihat bagaimana sosok Nabi Ibrahim AS, sebagai
orangtua yang sudah jelas saleh dan benar. Beliau tidak serta merta melakukan
perintah Allah untuk menyembelih anaknya—sekalipun beliau meyakini kebenaran
wahyu tersebut. Melihat anaknya yang sudah mulai dewasa, Nabiyullah Ibrahim AS mengajak
dialog anaknya. Mencoba mendengar respon sang anak atas turunnya perintah
tersebut.
Kisah ini adalah contoh bagi kita sebagai orangtua ketika
berhadapan dengan anak yang sudah beranjak remaja. Tidak semestinya kita ujug-ujug
memaksakan kehendak dan keputusan bagi anak, sekalipun apa yang kita
perintahkan itu benar. Seyogianya kita meniru Nabi Ibrahim ketika berhadapan
dengan sang anak. Yakni tetap menggunakan pendekatan dialogis, berkomunikasi dan
bermusyawarah dengan baik—supaya anak bisa menerima apa yang mesti kita
putuskan baginya.
Seringkali, seorang anak melawan dan menentang keputusan
orangtuanya, bukan karena keputusan itu buruk. Akan tetapi, karena orangtua
yang gagal memberikan penjelasan atau alasan-alasan logis kepada anak. Padahal,
seandainya sebuah keputusan disampaikan dengan cara yang baik dan dialogis,
anak akan cenderung menerima keputusan tersebut—bahkan justru menghargai dan
semakin hormat kepada orangtuanya.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akbar, walillahil hamd...
Maasyirol Muslimin,
jamaah shalat Idul Adha yang berbahagia...
Keteladanan kelima atau yang terakhir saking sosok Nabi
Ibrahim AS ialah beliau seorang pribadi yang dermawan, loman, dan sangat memuliakan
tamu. Dikisahkan; ketika tengah malam, waktu di mana umumnya orang
beristirahat, rumah Nabi Ibrahim AS diketuk tamu. Beliau tetap menjawab salam dan
membukakan pintu untuk tamu tidak diundang tersebut. Saat membukakan pintu,
Nabi Ibrahim AS ternyata tidak mengenal sama sekali sinten ingkang berdiri di
depan pintu rumah beliau. Luar biasanya akhlak Nabi Ibrahim, tanpa banyak
bertanya beliau mempersilakan tamunya masuk.
Tidak sampai di situ, Nabi Ibrahim AS lantas menjamu tamu
tersebut dengan menu terbaik. Beliau dan istrinya bahkan sampai menyembelih seekor
anak sapi untuk diolah menjadi gulai demi menjamu tamunya. Makanan terbaik pun
disuguhkan. Akan tetapi, bukannya langsung dilahap, tamu Nabi Ibrahim AS hanya memerhatikan
suguhan gulai dari bapak sang Khalilullah. Barulah Nabi Ibrahim sadar,
tamunya adalah para malaikat yang sedang menyamar menjadi sosok manusia.
Di kisah lainnya, Nabi Ibrahim terkenal tidak mau makan
jika tidak bersama orang lain. Sehingga, kita memasak beliau akan menyediakan porsi
yang sangat banyak. Dalam sebuah riwayat, porsi masakannya bisa untuk ratusan orang.
Tujuan beliau ialah supaya bisa memberi makan masyarakat di sekitar beliau. Kedermawanan
dan kebaikan beliau ini membuatnya sangat dicintai oleh masyarakat. Tentu saja,
berefek kebaikan bagi anak keturunanya.
Maasyirol Muslimin, jamaah shalat
Idul Adha yang berbahagia...
Dalam sebuah ceramah pengajian, Almarhum Kiai Imam
Syaerozi Babat bercerita; bahwa beliau pada waktu kecil, bukanlah anak yang
pandai. Beliau anak yang biasa-biasa saja. Akan tetapi, ada satu kebiasaan yang
paling beliau ingat dari ibundanya. Hampir setiap hari, ketika berangkat sekolah,
ibundanya membekali Yai Imam Syaerozi kecil dengan jajan-jajanan; bisa ote-ote,
godho gedang, atau sejenis lainnya. Jajanan tersebut dibawa Yai Imam Syaerozi
ke sekolah untuk diberikan pada guru-gurunya di kantor. Kebiasaan seperti itu
berlangsung terus menerus hingga beliau lulus sekolah.
Beliau, Imam Syaerozi menyatakan bahwa bisa jadi beliau
bisa seperti saat ini, punya ilmu tinggi, mampu berdakwah kemana-mana, salah
satunya ialah berkah doa dari para gurunya. Tentu saja, para bapak-ibu guru di
sekolah akan sangat berterima kasih dan bersyukur terhadap pemberian jajanan tersebut.
Rasa syukur dan keikhlasan yang kemudian melahirkan doa tulus bagi anak yang
membawakan jajanan tersebut.
Dua contoh cerita terakhir di atas, setidaknya saget
dados teladan dan pelajaran bagi kita bagaimana caranya supaya cita-cita nggadahi
anak keturunan ingkang saleh dan salehah, sukses dunia hingga akhirat bisa kita
wujudkan. Amin ya Rabbal alamin...
Maasyirol Muslimin, jamaah shalat
Idul Adha rahimakumullah...
Demikian khutbah Idul Adha yang mengangkat tentang keteladanan
Nabi Ibrahim sebagai sosok yang sukses mempunyai keturunan para nabi dan
orang-orang sholeh. Semoga bisa menambah pengetahuan kita sekaligus
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Dan semoga Allah swt
senantiasa menurunkan hidayah dan rezeki-Nya kepada kita sehingga kita bisa
menjalankan tugas kita untuk beribadah khususnya mampu untuk melakukan ibadah
haji dan berkurban. Amin ya Rabbal alamin.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي
وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ
مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ
قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم