Tuesday, December 30, 2008

Kakek Saya, Sebulan 3 kali Khatam Al-Quran

Hari pertama pulang, setelah melepas kengen dengan keluarga di rumah dan berbagi cerita, keluarga yang pertama saya kunjungi adalah keluarga kakek saya. Di sana, kakek saya yang dari ibu tinggal bersama paman-paman dan bibi saya yang keluarga besar (anak-anak kakek). Mereka keluarga petani.

Kakek saya bisa dibilang adalah manager pertanian di keluarga itu. Dengan tanah persawahan yang berhektar-hektar, termasuk rerimbunan pohon bambu, dia sebenarnya sudah tidak sanggup lagi mengurusnya. Urusan penggarapan diserahkan pada anak-anaknya. Malah lebih sering menyewa para buruh untuk menanam padi, membajak, atau saat memanen. Pekerjaan yang biasa dilakukan sendiri hanyalah menyiangi rumput, membersihkan hama, mengairi ladang dan sebagainya bentuk perawatan. Itu pun dilakukan oleh anak-anaknya. Dia hanya memberi instruksi dan petunjuk.

Kakek saya sudah tua. Umurnya sekitar 70 tahun. Namun, tubuhnya masih sangat kuat berjalan kaki berkilo-kilo. Maklum, kehidupan sejak kecilnya adalah sebagai petani. Dan zamannya dulu, tidak ada kendaraan selain sepeda onthel. Itu pun digunakan jika perjalanan agak jauh. Penglihatannya pun masih sangat tajam. Saat saya datang, dari jarak sekitar 20 meter, beliau sudah bisa menebak sayalah yang datang. Jadi, meskipun sebenarnya sudah berumur, tubuhnya masih sangat kokoh.
”Kok tambah guede awakmu?” begitulah sapanya tiap kali aku pulang menemuinya. Padahal, berat tubuh saya hampir selalu sama tiap kali pulang.

Kakek saya ini sangat suka berbicara. Tepatnya suka bercerita. Tentang banyak hal. Tentang masa lalunya. Kehidupannya di desa ini dulu. Kondisi desa saya ini. Juga tentang keluarga dan kerabat jauh beliau—berarti kerabatku juga ;)—yang tidak banyak kuketahui dan jarang diceritakan oleh bapak-ibu saya. Aku dapat tahu banyak itu dari kakek saya. Apalagi jika ditanggapi, pasti ceritanya akan panjang sekali. Pembahasan akan selalu melebar. Bahkan, nyangkut gosip-gosip yang beredar di desa saya, tentang orang-orang desa. Sebab itulah, Bapak sering berpesan agar tidak terlalu menanggapi kakek, biar ceritanya gak ngelantur. Namun, bagiku berbincang dengan kakek ini selalu menjanjikan pelajaran-pelajaran sederhana yang selalu berhikmah bagiku.

Watak kakek sangat keras. Berbeda sangat jauh dengan nenek saya (istrinya) yang seingatku tidak pernah sekalipun marah padaku, termasuk juga pada saudara-saudaraku. Watak keras dan tak mau kompromi dengan kebenaran yang diyakininya itu masih berlanjut sampai setua sekarang. Saya kecil dan teman-teman sebaya dulu sering dicambuk dengan ikat pinggang kulitnya kalau ramai waktu shalat jamaah, terlambat ngaji, atau karena tidur setelah Subuh di musholla.

Oya, di samping depan rumah kakek, ada sebuah musholla. Di sanalah beliau beserta keluarga, dan tetangga sekitar biasa melaksanakan shalat 5 waktu. Tempat anak-anak belajar mengaji. Diajari salah seorang anak kakek, paman saya. Keluarga mereka selalu rutin shalat berjamaah. Saat tiba waktu azan, mereka akan segera pulang dari sawah dan melaksanakan shalat di musholla tersebut.

Yang sangat menarik dan berkesan bagi saya adalah kebiasaan kakek. Beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap 10 hari. Artinya, setiap bulan dia berhasil khatam 3 kali. Setiap hari beliau membaca 3 juz, yang dibacanya 1 juz setelah Subuh, setelah Dzuhur, dan setelah Isya’. Setelah Ashar, tidak membaca Al-Qur’an karena beliau harus membawa sapi-sapi ke dalam kandangnya, setelah dibiarkan di alam bebas. Sedangkan setelah Maghrib, tidak baca karena waktunya terbatas dan juga waktu makan malam.

Kalau sedang bepergian, kakek saya akan mengganti bacaannya dengan membaca 2 juz di hari yang lain tiap kali duduk sehingga ’utangnya’ terlunasi. Begitulah kebiasaan hebat kakek saya. Saya yang belajar agama lebih tinggi (secara akademik) jadi merasa iri dengan beliau. Kalau bulan Ramadhan, beliau biasanya meningkatkan bacaannya dengan membaca 2 juz Al-Quran tiap kali duduk. Jadi, beliau khatam Al-Quran setiap 5 hari. Hebat sekali dengan umur setua itu.

Semangat kakek saya memang sangat tinggi dalam hal membaca Al-Quran. Saya lihat tidak ada satu pun di antara anaknya yang bisa sekuat dan sekonsisten itu dalam membaca Al-Quran. Itulah bekalnya kelak, jawabnya ketika ditanya tentang semangatnya yang sungguh besar itu. [KHO]
Drajat, 24 Desember 2008

Ikan Manyung; Perpaduan Rasa Daging Ayam, Sapi, dan Kambing

Di sebelah timur pintu parkir masuk ke Makan Sunan Drajat (desa saya), terdapat sebuah warung. Warung itu menjual aneka masakan khas desa. Mulai dari ikan rajungan, ikan asin, aneka gimbal (jagung, udang, dll), tongkol, dan lain sebagainya. Sayurnya pun bermacam-macam. Yang menjadi menu andalan di warung itu adalah kepala ikan manyung (ada yang menyebutnya ikan tonang).

Bersama dua orang karib saya (Awuit & Sist), aku berangkat ke sana. Satu motor bertiga. Orang mengistilahkan mbandrek bagi orang yang baik motor bertiga. mBandrek seperti itu, sering diolok-olok dengan ndeso. Ah, saya tidak peduli. Persetan dengan omongan orang, yang penting motornya kuat saja. Jaraknya juga cukup dekat. Keadaan memang sedang memaksa seperti itu. Motor Cuma ada satu (milik Awuit). Aku tak bawa motor yang sedang dibawa bapak. Sedangkan motor Sist, ditinggal di Jogja. Dia pulang naik bis.

Sampai di warung yang dituju, Awuit langsung pesan seporsi kepala ikan manyung. Itu adalah pertama kalinya aku dengar nama ikan ini. Aku lihat pelayan meletakkan sepotong besar ikan yang memenuhi satu piring. Ikannya pasti gede banget, pikirku. Bagaimana tidak, separuh bagian kepalanya saja sudah memenuhi sepiring. Aku pun tak yakin akan bisa menghabiskannya sendirian. Akhirnya, aku pesan sepiring nasi saja dengan 2 potong gimbal jagung. Lauknya (ikan manyung) ikut gabung Awuit saja. Dia juga pasti takkan sanggup menghabiskannya sendirian. Sedangkan Sist yang tak suka dengan bau amis ikan, lebih memilih sayur dan ikan asin.

Saya mencicipi kuahnya dengan sendok. Gurih dan lezat. Lalu mulai mencuil potongan dagingnya. Lembut dan enak terasa di lidah. Dalam hati saya berpikir, kenapa sedari dulu baru sekarang saya mengetahui ada ikan selezat ini di daerah saya. Saya makin bersemangat memakan ikan tersebut dengan selingan sendokan nasi. Bahkan, nasi saya sudah ludes, separuh kepala ikan manyung itu masih tergeletak menggoda. Menyelipkan daging-daging di rongga-rongganya.

Saya bisa katakan; rasa daging ikan itu adalah perpaduan daging ayam, kambing, dan sapi. Kulit bagian luarnya—yang sebelumnya dipanggang—juga terasa seperti sedang memakan teklek (kaki) sapi. Ada serat-serat pada daging dalamnya. Tidak jauh beda dengan daging sapi. Rasanya gurih dan mendekati tiga jenis daging yang sering jadi makanan favorit banyak orang.

Berdasarkan penuturan Awuit, ikan itu memang terkenal sangat lezat. Hanya saja, jarang orang yang membeli atau mengolahnya secara personal. Baunya terlalu amis jika masih mentah. Selain itu, kulitnya juga licin, sehingga agak susah mengolahnya. Sebelum direbus dengan kuah dan bumbu-bumbu, ikan itu harus dipanggang terlebih dahulu, diberi jeruk nipis, dan sebagainya (Awuit kurang tahu detailnya). Itu katanya untuk menghilangkan bau amis. Saya sendiri tidak dapat membayangkan betapa amisnya kala ikan itu masih mentah. Lha setelah makan saja, bau itu masih menyisa di mulut dan tangan.

Awuit (ibunya punya warung pecel yang lezat) juga bercerita bahwa ibunya pernah mencoba berjualan menu kepala ikan manyung ini. Namun, hanya sanggup bertahan selama 10 hari, karena tidak tahan dengan bau amisnya. Katanya, sang ibu selalu merasa tubuhnya ikut bau amis terus-terusan. Padahal, secara penjualan, menu itu larisnya bukan main. Selama berjualan itu, selalu habis tak tersisa. Malah kerapkali orang menanyakan padahal sudah tidak tersisa.

Mesih menurut Awuit, ikan itu biasanya dijual di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) sepaket dengan dagingnya. Harga mentahnya mencapai Rp. 3000/kg. Para pembeli itu kemudian memotong kepalanya, menyisakan dagingnya yang kemudian dijual kembali dengan harga yang sangat jauh lebih murah; Rp. 700/kg. Daging itu diolah di pabrik. Entah dijadikan apa.

Foto Pre Wedding; Perlukah?

Pada malam pertama di rumah, datang seorang kawan sedesa. Ia membawa seruas bambu yang diplitur warna coklat. Di bagian luarnya terdapat kertas bertuliskan: kepada yth. Kholid di tempat. Di sebelah tulisan itu, terdapat tempelan kertas putih dengan tulisan: Menikah **** & *** (nama pengantin) 24 Desember 2008. Di salah satu ujung ruas bambu dipotong, sehingga tampak bolong. Di bagian itu, diikatkan sebuah tali yang menjulur ke dalam bambu. Saya menerima bambu itu. Itu adalah sebuah undangan pernikahan.

Setelah mengucapkan terima kasih dan berbasa-basi tentang kabar yang membawa surat undangan, saya membawa masuk rumah potongan bambu itu. Tali yang menjulur masuk ke dalam bambu saya tarik, di dalamnya terdapat kertas undangan warna coklat (nuansa zaman dahulu). Sepadan dengan bambu dan konsep undangannya. Ketika saya bolak-balik undangan itu, saya terkejut. Di dalam undangan terdapat foto-foto kedua calon mempelai. Istilah orang kotanya; Pre Wedding. Hal yang masih sangat tabu di kalangan desa. Dengan berlatarkan pedesaan dan berpakaian ala orang desa, keduanya tampak akrab dan bergembira.

Foto pertama; Calon pengantin pria membawa cangkul. Ia berjalan di belakang calon mempelai perempuan. Foto kedua; calon pengantin pria menaiki sepeda onthel, sedangkan calon perempuan membonceng di belakang. Foto ketiga; calon perempuan sedang membawa bungkusan (mungkin dianggap sebagai kiriman makanan), calon lelaki mengikuti di belakangnya. Sedang foto terakhir, terlihat keduanya duduk bersandingan akrab.

Sebenarnya, secara sosial saya bisa memahami ’kebiasaan’ yang mulai menjalar ke daerah sini, meskipun secara pribadi saya tidak menyetujui. Bapak yang melihatnya langsung berkomentar. Tidak boleh. Mereka kan belum akad. Belum halal. Aturan Islam harus tetap ditegakkan.

Ah, memikirkan hal seperti itu di zaman sekarang ini, sungguh sulit. Di balik yang ditampakkan itu, para pasangan muda itu biasanya melakukan hal yang lebih jauh. Hanya saja, itu kan menyangkut malu dan tidak malu menampakkan hal yang ’dilarang’ di tengah masyarakat.

Kenapa saya memberikan tanda petik pada kata dilarang di paragraf sebelumnya? Karena hal itu sebenarnya adalah sebuah larangan dalam agama, namun sudah dianggap biasa, bahkan suatu keharusan bagi sebagian anggota masyarakat. Jadi, bukan berarti saya juga ikut-ikutan menggeruskan larangan itu lewat kelakuan saya menyematkan tanpa petik.

Undangan itu juga beredar di kalangan guru sekolah dan pengasuh pondok almamater mereka. Kebetulan, yang perempuan adalah guru BK di madrasah. Sedangkan yang laki-laki adalah alumni sekolah tersebut. Saya dengar para guru ramai membahas foto pre-wedding tersebut. Hal yang sangat tabu di kalangan guru-guru, apalagi yang senior. Saya sudah memperkirakannya.

Besoknya, ada lagi undangan dari tetangga saya. Calon lelaki dan perempuan, kelasnya setingkat di bawah saya. Kulihat lagi-lagi ada foto calon pengantin berdua. Lebih berhak menimbulkan ’keramaian’ daripada undangan sebelumnya. Karena foto keduanya jelas sangat dekat. Mungkin bersentuhan. Sedang pada undangan pertama yang tidak bersentuhan saja sudah menimbulkan ’keramaian’. [KHO]

Mengagumkan; 7 Hari Penuh Kerja

Sahabat karib saya, menikah Agustus lalu. Istrinya teman kuliahnya dulu dan menetap di Jogja karena memperoleh beasiswa S2 di UIN Jogja. Sementara teman saya itu sendiri menetap di Lamongan. Pekerjaannya di kota kelahirannya itu sendiri. Di sekolahan. Senin sampai Jumat, sebagai kepala TU di sebuah sekolah favorit di Lamongan kota (bagian selatan). Sementara sabtu dan Ahad, dia mengajar komputer di MTs yang juga unggulan di Lamongan bagian utara. Tepatnya di pesisir laut.

Setiap Jumat sore dia berangkat naik sepeda motor menempuh perjalanan sekitar 20 km ke arah utara. Dan ahad sore atau senin pagi-pagi dia berangkat ke sekolah yang berbeda. Kerja yang senin sampai jumat, dimulai dari jam 7 pagi jam 4 sore. Sementara yang di MTs, sampai jam 2 siang. Tidak ada hari libur baginya.

Itu saja tidak cukup. Dia kerapkali menerima permintaan orang untuk membelikan seperangkat komputer, monitor, printer, atau asesoris lainnya. Dan itu harus dibelinya di Surabaya (dengan bersepeda motor) yang tentu saja jaraknya lebih jauh. Terkadang, kalo ada masalah pada barang yang dibelikan, dia terpaksa berangkat kembali ke Surabaya. Termasuk juga komputer yang bermasalah bukan karena barangnya, tapi karena virus misalnya. Dialah yang merasa bertanggung jawab untuk memperbaikinya.

Saya membayangkannya saja, sudah tak sanggup. Tapi, dia bisa.
Lha kapan ketemu istrinya? Padahal, mereka kan suami istri.
Ah...! Semoga Allah menyiapkan rencana yang lebih baik.

Kapal yang Menyeberangi Gunung

Sore itu, saya duduk termenung sendirian di pelataran musholla di desa Tunggul, Paciran (tetangga desa saya). Letaknya tepat di pinggir laut. Suara ombak-ombak kecil terdengar bergantian. Angin sepoi-sepoi menerpa muka saya. Langit cerah dengan semburat merah terlihat di ufuk barat. Ada beberapa perahu kecil di pinggiran pantai bergoyang-goyang terkena ombak. Sementara di daratannya yang berpasir, kulihat ada 3 perahu kecil terparkir tenang. Di salah satu perahu tampak ada kesibukan. Beberapa orang seperti sedang mengerjakan sesuatu. Entah apa.

Lama sekali saya termenung. Memandang hamparan laut. Melihat jejeran perahu-perahu kecil. Memperhatikan orang-orang yang sedang sibuk dengan perahunya. Sesekali memalingkan muka ke sebelah selatan musholla. Di sana ada lapangan sepak bola. Anak-anak remaja di desa tersebut sedang asyik bermain bola. Teriakan mereka sesekali terdengar.

Tiba-tiba kesibukan di salah satu perahu di bibir pantai semakin besar. Orang-orang yang tadinya di dalam perahu itu memanggil beberapa orang kawannya yang sedang berada di pantai. Beberapa orang yang bermain bola pun mulai berkumpul mengitari perahu. Mereka mengambil posisi melingkar. Mengelilingi perahu. Dua orang di antaranya menjejer batang kayu di depan perahu. Saya langsung paham. Mereka pasti akan menghanyutkan perahu itu ke laut.

Jarak perahu dengan air ada sekitar 8 meter. Cukup dekat sebenarnya. Apalagi tanah di bawahnya adalah pasir. Sejenak kemudian terdengar teriakan mereka. Arajot Holok...! Arajot Holok...! Arajot Holok..!. Itulah aba-aba yang biasa kami teriakkan bersama saat melakukan suatu hal yang berat secara bersama-sama. Arajot Holok...! Arajot Holok...! Arajot Holok..! Ternyata, proses penghanyutan itu tak semudah yang saya bayangkan. Perahu kecil dengan para pendorong cukup banyak, kupikir urusan perahu itu akan bisa cepat teratasi. Sekitar 20 menit mereka baru berhasil membawa perahu ke laut.

Saat itulah pikiran saya langsung terbawa pada zaman Muhammad Al Fatih. Panglima penakluk Konstantinopel, negeri adidaya zaman itu. Amerika-nyalah kalau sekarang. Betapa heroiknya ketika ia menginstruksikan pasukannya untuk menyeberangkan kapal-kapal perangnya melintasi gunung. Bayangkan! Kapal perang, seberapa besarnya?!
Ketika itu pasukan musuh bertahan di daerahnya. Mereka memasang rantai besi berukuran besar secara berderet di lautan untuk menghadang kapal-kapal pasukan muslimin. Sehingga tiap kali hendak menyerang, kapal pasukan muslimin terjebak di rantai tersebut, dan musuh pun dengan mudah menghancurkannya. Satu-satunya jalan untuk bisa menembus pertahan musuh adalah dengan menyeberangi gunung yang ada di sebelah lautan. Daerah sana tidak dijaga oleh musuh. Musuh menganggapnya sebagai daerah aman. Apalagi gunungnya ditumbuhi pepohonan besar.

Maka, malam itu juga seluruh pasukan bahu membahu menebangi pepohonan di gunung. Babat alas. Mereka membuat jalan baru di atas gunung untuk menyeberangkan kapal-kapal mereka. Dalam bayangan saya, mereka pasti bekerja tanpa teriak-teriakan semangat. Agar tidak terdengar oleh musuh. Batang-batang pohon yang telah dipotong pun diletakkan di atas jalan yang baru mereka buat. Di bagian atasnya, mereka beri semacam pelumas. Itu akan menjadi roda bagi kapal-kapal mereka (ingat kapal! Bukan perahu).

Menjelang subuh, puluhan kapal perang—yang tentu saja bermuatan persenjataan perang—pun bisa diseberangkan ke daerah pertahanan musuh. Dan pagi-pagi, pasukan muslimin pun menyerang. Pasukan musuh yang tidak pernah mengira hanya terpana tak bergerak. Masih belum percaya dengan apa yang mereka lihat. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Begitulah kira-kira gumam mereka. Menggeleng-gelengkan kepala. Lagi-lagi masih belum percaya.

Akhirnya, dengan kondisi musuh yang belum siap ditambah ketidakpercayaan atas apa yang mereka lihat, musuh pun bisa dikalahkan. Meski tentu saja dengan peperangan yang tidak mudah. Itulah sejarah emas Muhammad Al Fatih. Yang membuatnya mendapatkan julukan ’Al Fatih’. [KHO]

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)