Tuesday, December 30, 2008

Foto Pre Wedding; Perlukah?

Pada malam pertama di rumah, datang seorang kawan sedesa. Ia membawa seruas bambu yang diplitur warna coklat. Di bagian luarnya terdapat kertas bertuliskan: kepada yth. Kholid di tempat. Di sebelah tulisan itu, terdapat tempelan kertas putih dengan tulisan: Menikah **** & *** (nama pengantin) 24 Desember 2008. Di salah satu ujung ruas bambu dipotong, sehingga tampak bolong. Di bagian itu, diikatkan sebuah tali yang menjulur ke dalam bambu. Saya menerima bambu itu. Itu adalah sebuah undangan pernikahan.

Setelah mengucapkan terima kasih dan berbasa-basi tentang kabar yang membawa surat undangan, saya membawa masuk rumah potongan bambu itu. Tali yang menjulur masuk ke dalam bambu saya tarik, di dalamnya terdapat kertas undangan warna coklat (nuansa zaman dahulu). Sepadan dengan bambu dan konsep undangannya. Ketika saya bolak-balik undangan itu, saya terkejut. Di dalam undangan terdapat foto-foto kedua calon mempelai. Istilah orang kotanya; Pre Wedding. Hal yang masih sangat tabu di kalangan desa. Dengan berlatarkan pedesaan dan berpakaian ala orang desa, keduanya tampak akrab dan bergembira.

Foto pertama; Calon pengantin pria membawa cangkul. Ia berjalan di belakang calon mempelai perempuan. Foto kedua; calon pengantin pria menaiki sepeda onthel, sedangkan calon perempuan membonceng di belakang. Foto ketiga; calon perempuan sedang membawa bungkusan (mungkin dianggap sebagai kiriman makanan), calon lelaki mengikuti di belakangnya. Sedang foto terakhir, terlihat keduanya duduk bersandingan akrab.

Sebenarnya, secara sosial saya bisa memahami ’kebiasaan’ yang mulai menjalar ke daerah sini, meskipun secara pribadi saya tidak menyetujui. Bapak yang melihatnya langsung berkomentar. Tidak boleh. Mereka kan belum akad. Belum halal. Aturan Islam harus tetap ditegakkan.

Ah, memikirkan hal seperti itu di zaman sekarang ini, sungguh sulit. Di balik yang ditampakkan itu, para pasangan muda itu biasanya melakukan hal yang lebih jauh. Hanya saja, itu kan menyangkut malu dan tidak malu menampakkan hal yang ’dilarang’ di tengah masyarakat.

Kenapa saya memberikan tanda petik pada kata dilarang di paragraf sebelumnya? Karena hal itu sebenarnya adalah sebuah larangan dalam agama, namun sudah dianggap biasa, bahkan suatu keharusan bagi sebagian anggota masyarakat. Jadi, bukan berarti saya juga ikut-ikutan menggeruskan larangan itu lewat kelakuan saya menyematkan tanpa petik.

Undangan itu juga beredar di kalangan guru sekolah dan pengasuh pondok almamater mereka. Kebetulan, yang perempuan adalah guru BK di madrasah. Sedangkan yang laki-laki adalah alumni sekolah tersebut. Saya dengar para guru ramai membahas foto pre-wedding tersebut. Hal yang sangat tabu di kalangan guru-guru, apalagi yang senior. Saya sudah memperkirakannya.

Besoknya, ada lagi undangan dari tetangga saya. Calon lelaki dan perempuan, kelasnya setingkat di bawah saya. Kulihat lagi-lagi ada foto calon pengantin berdua. Lebih berhak menimbulkan ’keramaian’ daripada undangan sebelumnya. Karena foto keduanya jelas sangat dekat. Mungkin bersentuhan. Sedang pada undangan pertama yang tidak bersentuhan saja sudah menimbulkan ’keramaian’. [KHO]

No comments:
Write komentar

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)