Saturday, June 28, 2008

TIPS - Teknik Menulis Kolom/Opini

Teknik Menulis Kolom/Opini

Oleh Farid Gaban | Pena Indonesia

PENGANTAR

Membuka halaman-halaman koran atau majalah, kita akan menemukan banyak
esai atau opini. Tulisan-tulisan itu punya karakteristik sebagai berikut:

- OPINI: mewakili opini si penulis tentang sesuatu hal atau peristiwa.

- SUBYEKTIFITAS: memiliki lebih banyak unsur subyektifitas, bahkan
jika tulisan itu dimaksudkan sebagai analisis maupun pengamatan yang
"obyektif".

- PERSUASIF: dimaksudkan untuk mempengaruhi pembaca agar mengadopsi
sikap dan pemikiran penulis, atau bahkan bertindak sesuai yang
diharapkan penulis.

Meskipun banyak, sayang sekali, tulisan-tulisan itu jarang dibaca.
Dalam berbagai survai media, rubrik opini dan editorial (OP-ED)
umumnya adalah rubrik yang paling sedikit pembacanya. Ada beberapa alasan:

- SERIUS dan PANJANG: orang mengganggap tulisan rubrik opini terlampau
serius dan berat. Para penulis sendiri juga sering terjebak pada
pandangan keliru bahwa makin sulit tulisan dibaca (makin teknis, makin
panjang dan makin banyak jargon, khususnya jargon bahasa Inggris)
makin tinggi nilainya, bahkan makin bergengsi. Keliru! Tulisan seperti
itu takkan dibaca orang banyak.

- KERING: banyak tulisan dalam rubrik opini cenderung kering, tidak
"berjiwa", karena penulis lagi-lagi punya pandangan keliru bahwa
tulisan analisis haruslah bersifat dingin: obyektif, berjarak,
anti-humor dan tanpa bumbu.

- MENGGURUI: banyak tulisan opini terlalu menggurui (berpidato,
berceramah, berkhotbah), sepertinya penulis adalah dewa yang paling tahu.

- SEMPIT: tema spesifik umumnya ditulis oleh penulis yang ahli dalam
bidangnya (mungkin seorang doktor dalam bidang yang bersangkutan) .
Tapi, seberapa pun pintarnya, seringkali para penulis ahli ini terlalu
asik dengan bidangnya, terlalu banyak menggunakan istilah teknis,
sehingga tidak mampu menarik pembaca lebih luas untuk menikmatinya.

KOLOM: "ESSAY WITH STYLE"

Berbeda dengan menulis untuk jurnal ilmiah, menulis untuk koran atau
majalah adalah menulis untuk hampir "semua orang". Tulisan harus lebih
renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika perlu), tanpa
kehilangan kedalaman—-tanpa terjatuh menjadi tulisan murahan.

Bagaimana itu bisa dilakukan? Kreatifitas. Dalam era kebebasan seperti
sekarang, seorang penulis dituntut memiliki kreatifitas lebih tinggi
untuk memikat pembaca. Pembaca memiliki demikian banyak pilihan
bacaan. Lebih dari itu, sebuah tulisan di koran dan majalah tak hanya
bersaing dengan tulisan lain di koran/majalah lain, tapi juga dengan
berbagai kesibukan yang menyita waktu pembaca: pekerjaan di kantor,
menonton televisi, mendengar musik di radio, mengasuh anak dan sebagainya.

Mengingat "reputasi" esai sebagai bacaan serius, panjang dan
melelahkan, tantangan para penulis esai lebih besar lagi. Dari situlah
kenapa belakangan ini muncul "genre" baru dalam esai, yakni "creative
non-fiction" , atau non-fiksi yang ditulis secara kreatif.

Dalam "creative non-fiction" , penulis esai mengadopsi teknik penulisan
fiksi (dialog, narasi, anekdot, klimaks dan anti klimaks, serta ironi)
ke dalam non-fiksi. Berbeda dengan penulisan esai yang kering dan
berlagak obyektif, "creative non-fiction" juga memungkinkan penulis
lebih menonjolkan subyektifitas serta keterlibatan terhadap tema yang
ditulisnya. Karena memberi kemungkinan subyektifitas lebih banyak,
esai seperti itu juga umumnya menawarkan kekhasan gaya ("style") serta
personalitas si penulis.

Di samping kreatif, kekuatan tulisan esai di koran atau majalah adalah
pada keringkasannya. Tulisan itu umumnya pendek (satu halaman majalah,
atau dua kolom koran), sehingga bisa ditelan sekali lahap (sekali baca
tanpa interupsi).

PENULISAN KOLOM INDONESIA

"Creative non-fiction" bukan "genre" yang sama sekali baru sebenarnya.
Pada dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an kita memiliki banyak penulis
esai/kolom yang handal, mereka yang sukses mengembangkan "style" dan
personalitas dalam tulisannya. Tulisan mereka dikangeni karena
memiliki sudut pandang orisinal dan ditulis secara kreatif, populer
serta "stylist".

Para penulis itu adalah: Mahbub Junaedi, Goenawan Mohamad, Umar Kayam,
YB Mangunwijaya, MAW Brower, Syubah Asa, Dawam Rahardjo, Abdurrahman
Wahid, Arief Budiman, Mochtar Pabottingi, Rosihan Anwar, dan Emha
Ainun Nadjib.

Untuk menunjukkan keluasan tema, perlu juga disebut beberapa penulis
esai/kolom lain yang menonjol pada era itu: Faisal Baraas
(kedokteran- psikologi) , Bondan Winarno (manajemen-bisnis) , Sanento
Juliman (seni-budaya) , Ahmad Tohari (agama), serta Jalaluddin Rakhmat
(media dan agama).

Bukan kebetulan jika sebagian besar penulis esai-esai yang menarik itu
adalah juga sastrawan—penyair dan cerpenis/novelis. Dalam "creative
non-fiction" batas antara fiksi dan non-fiksi memang cenderung kabur.
Bahkan Bondan (ahli manajemen) dan Baraas (seorang dokter) memiliki
kumpulan cerpen sendiri. Dawam juga sesekali menulis cerpen di koran.

Namun, pada dasawarsa 1990-an kita kian kehilangan penulis seperti
itu. Kecuali Goenawan ("Catatan Pinggir"), Bondan ("Asal-Usul" di
Kompas) dan Kayam (Sketsa di Harian "Kedaulatan Rakyat"), para penulis
di era 1980-an sudah berhenti menulis (Mahbub, Romo Mangun, Sanento
dan Brower sudah almarhum).

Pada era 1990-an ini, kita memang menemukan banyak penulis esai
baru—namun inilah era yang didominasi oleh penulis pakar ketimbang
sastrawan. Faisal dan Chatib Basri (ekonomi), Reza Sihbudi, Smith
Alhadar (luar negeri, dunia Islam), Wimar Witoelar (bisnis-poilik) ,
Imam Prasodjo, Rizal dan Andi Malarangeng, Denny JA, Eep Saefulloh
Fatah (politik) untuk menyebut beberapa. Namun, tanpa mengecilkan
substansi isinya, banyak tulisan mereka umumnya "terlalu serius" dan
kering. Eep barangkali adalah salah satu pengecualian; tak lain karena
dia juga sesekali menulis cerpen.

Sementara itu, kita juga melihat kian jarang para sastrawan muda
sekarang menulis esai, apalagi esai yang kreatif. Arswendo Atmowiloto,
Ayu Utami dan Seno Gumiro Adjidarma adalah pengecualian.

Padahal, sekali lagi, mengingat "reputasi" esai sebagai bacaan serius
(panjang dan melelahkan), tantangan kreatifitas para penulis esai
lebih besar lagi.

TUNTUTAN BAGI SEORANG PENULIS KOLOM

Kenapa esai astronomi Stephen Hawking ("A Brief History of Time"),
observasi antropologis Oscar Lewis ("Children of Sanchez") dan skripsi
Soe Hok Gie tentang Pemberontakan Madiun ("Orang-orang di Persimpangan
Kiri Jalan") bisa kita nikmati seperti sebuah novel? Kenapa tulisan
manajemen Bondan Winarno ("Kiat") dan artikel kedokteran-psikolog i
Faisal Baraas ("Beranda Kita") bisa dinikmati seperti cerpen?

Hawking, Lewis, Hok Gie, Bondan dan Baraas adalah beberapa penulis
"pakar" yang mampu menyajikan tema-tema spesifik menjadi bahan bacaan
bagi khalayak yang lebih luas. Tak hanya mengadopsi teknik penulisan
populer, mereka juga menerapkan teknik penulisan fiksi secara kreatif
dalam esai-esai mereka.

Untuk mencapai ketrampilan penulis semacam itu diperlukan sejumlah
prasyarat dan sikap mental tertentu:

Keingintahuan dan Ketekunan:

Sebelum memikat keingintahuan pembaca, mereka harus terlebih dulu
"memelihara" keingintahuannya sendiri akan sesuatu masalah. Mereka
melakukan riset, membaca referensidi perpustakaan, mengamati di
lapangan bahkan jika perlu melakukan eksperimen di laboratorium untuk
bisa benar-benar menguasai tema yang akan mereka tulis. Mereka tak
puas hanya mengetahui hal-hal di permukaan, mereka tekun menggali.
Sebab, jika mereka tidak benar-benar paham tentang tema yang ditulis,
bagaimana mereka bisa membaginya kepada pembaca?

Kesediaan untuk berbagi:

Mereka tak puas hanya menulis untuk kalangan sendiri yang terbatas
atau hanya untuk pembaca tertentu saja. Mereka akan sesedikit mungkin
memakai istilah teknis atau jargon yang khas pada bidangnya; mereka
menggantikannnya dengan anekdot, narasi, metafora yang bersifat lebih
universal sehingga tulisannya bisa dinikmati khalayak lebih luas.
Mereka tidak percaya bahwa tulisan yang "rumit" dan sulit dibaca
adalah tulisan yang lebih bergengsi. Mereka cenderung memanfaatkan
struktur tulisan sederhana, seringkas mungkin, untuk memudahkan
pembaca menelan tulisan.

Kepekaan dan Keterlibatan:

Bagaimana bisa menulis masalah kemiskinan jika Anda tak pernah bergaul
lebih intens dengan kehidupan gelandangan, pengamen jalanan, nelayan
dan penjual sayur di pasar?

Seorang Soe Hok Gie mungkin takkan bisa menulis skripsi yang
"sastrawi" jika dia bukan seorang pendaki gunung yang akrab dengan
alam dan suka merenungkan berbagai kejadian (dia meninggal di Gunung
Semeru).

Menulis catatan harian serta membuat sketsa dengan gambar tangan
maupun tulisan seraya kita bergaul dengan alam dan lingkungan sosial
yang beragam mengasah kepekaan kita. Kepekaan terhadap ironi, terhadap
tragedi, humor dan berbagai aspek kemanusiaan pada umumnya.
Sastra (novel dan cerpen) kita baca bukan karena susunan katanya yang
indah melainkan karena dia mengusung nilai-nilai kemanusiaan.

Kekayaan Bahan (resourcefulness) :

Meski meminati bidang yang spesifik, penulis esai yang piawai umumnya
bukan penulis yang "berkacamata kuda". Dia membaca dan melihat
apasaja. Hanya dengan itu dia bisa membawa tema tulisannya kepada
pembaca yang lebih luas. Dia membaca apa saja (dari komik sampai
filsafat), menonton film (dari India sampai Hollywood), mendengar
musik (dari dangdut sampai klasik). Dia bukan orang yang tahu semua
hal, tapi dia tak sulit harus mencari bahan yang diperlukannya: di
perpustakaan mana, di buku apa, di situs internet mana.

Kemampuan Sang Pendongeng (storyteller) :

Cara berkhotbah yang baik adalah tidak berkhotbah. Persuasi yang
berhasil umumnya disampaikan tanpa pretensi menggurui. Pesan
disampaikan melalui anekdot, alegori, metafora, narasi, dialog seperti
layaknya dalam pertunjukan wayang kulit.

APA SAJA YANG BISA DIJADIKAN TEMA ESAI?

Kebanyakan penulis pemula mengira hanya tema-tema sosial-politik yang
bisa laku dijual di koran. Mereka juga keliru jika menganggap
tema-tema seperti itu saja yang membuat penulis menjadi memiliki gengsi.

Semua hal, semua aspek kehidupan, bisa ditulis dalam bentuk esai yang
populer dan diminati pembaca. "Beranda Kita"-nya Faisal Baraas
menunjukkan bahwa tema kedokteran dan psikologi bisa disajikan untuk
khalayak pembaca awam sekalipun.

Ada banyak penulis yang cenderung bersifat generalis, mereka menulis
apa saja. Namun, segmentasi dalam media dan kehidupan masyarakat
sekarang ini menuntut penulis-penulis spesialis.

- Politik lokal (bersama maraknya otonomi daerah)
- Bisnis (industri, manajemen dan pemasaran)
- Keuangan (perbankan, asuransi, pajak, bursa saham, personal finance)
- Teknologi Informasi (internet, komputer, e-commerce)
- Media dan Telekomunikasi
- Seni-Budaya (film, TV, musik, VCD, pentas)
- Kimia dan Fisika Terapan
- Elektronika
- Otomotif
- Perilaku dan gaya hidup
- Keluarga dan parenting
- Psikologi dan kesehatan
- Arsitektur, interior, gardening
- Pertanian dan lingkungan

Pilihlah tema apa saja yang menjadi minta Anda dan kuasai serta ikuti
perkembangannya dengan baik. Fokus, tapi jangan gunakan kacamata kuda.

TEKNIK PENULISAN KOLOM

Mencari ide tulisan

Ada banyak sekali tema di sekitar kita. Namun kita hanya bisa
menemukannya jika memiliki kepekaan. Jika kita banyak melihat dan
mengamati lingkungan, lalu menuliskannya dalam catatan harian, ide
tulisan sebenarnya "sudah ada di situ" tanpa kita perlu mencarinya.
Tema itu bahkan terlalu banyak sehingga kita kesulitan memilihnya.
Untuk mempersempti pilihan, pertimbangkan aspek signifikansi (apa
pentingnya buat pembaca) dan aktualitas (apakah tema itu tidak
terlampau basi).

Merumuskan masalah

Esai yang baik umumnya ringkas ("Less is more" kata Ernest Hemingway)
dan fokus. Untuk bisa menjamin esai itu ditulis secara sederhana,
ringkas tapi padat, pertama-tama kita harus bisa merumuskan apa yang
akan kita tulis dalam sebuah kalimat pendek.
Rumusan itu akan merupakan fondasi tulisan. Tulisan yang baik adalah
bangunan arsitektur yang kokoh fondasinya, bukan interior yang indah
(kata-kata yang mendayu-dayu) tapi keropos dasarnya.

Mengumpulkan Bahan

Jika kita rajin menulis catatan harian, sebagian bahan sebenarnya bisa
bersumber pada catatan harian itu. Namun seringkali, ini harus
diperkaya lagi dengan bahan-bahan lain: pengamatan, wawancara,
reportase, riset kepustakaan dan sebagainya.

Menentukan bentuk penuturan

Beberapa tema tulisan bisa lebih kuat disajikan dalam bentuk dialog.
Tapi, tema yang lain mungkin lebih tepat disajikan dengan lebih banyak
narasi serta deskripsi yang diperkaya dengan anekdot. Beberapa penulis
memilih bentuk penuturan yang ajeg untuk setiap tema yang ditulisnya:

- Dialog (Umar Kayam)
- Reflektif (Goenawan Mohamad)
- Narasi (Faisal Baraas, Bondan Winarno, Ahmad Tohari)
- Humor/Satir (Mahbub Junaedi)

Menulis

Tata Bahasa dan Ejaan: Taati tata bahasa Indonesia yang baku dan
benar. Apakah ejaan katanya benar, di mana meletakkan titik, koma dan
tanda hubung? Apakah koma ditulis sebelum atau sesudah penutup tanda
kutip (jika ragu cek kebuku rujukan Ejaan Yang Disempurnakan) .

Akurasi Fakta: tulisan nonfiksi, betapapun kreatifnya, bersandar pada
fakta. Apakah peristiwanya benar-benar terjadi? Apakah ejaan nama kita
tulisa secara benar? Apakah rujukan yang kita tulis sama dengan di
buku atau kutipan aslinya? Apakah kita menyebutkan nama kota, tahun
dan angka-angka secara benar?

Jargon dan Istilah Teknis: hindari sebisa mungkin jargon atau istilah
teknis yang hanya dimengerti kalangan tertentu. Kreatiflah menggunakan
deskripsi atau anekdot atau metafora untuk menggantikannya. Hindari
sebisa mungkin bahasa Inggris atau bahasa daerah.

Sunting dan Pendekkan: seraya menulis atau setelah tulisan selesai,
baca kembali. Potong kalimat yang terlalu panjang; atau jadikan dua
kalimat. Hilangkan repetisi. Pilih frase kata yang lebih pendek:
melakukan pembunuhan bisa diringkas menjadi membunuh. "Tidak" sering
bisa diringkas menjadi "tak", "meskipun" menjadi "meski" dan sebagainya.

Pakai kata kerja aktif: kata kerja aktif adalah motor dalam kalimat,
dia mendorong pembaca menuju akhir, mempercepat bacaan. Kata kerja
pasif menghambat proses membaca. Pakai kalimat pasif hanya jika tak
terhindarkan.

Tak menggurui: meski Anda perlu menunjukkan bahwa Anda menguasai
persoalan (otoritatif dalam bidang yang ditulis) hindari bersikap
menggurui. Jika mungkin hindari kata "seharusnya" , "semestinya" dan
sejenisnya. Gunakan kreatifitas dan ketrampilan mendongeng seraya
menyampaikan pesan. Don't tell it, show it.

Tampilkan anekdot: jika mungkin perkaya tulisan Anda dengan anekdot,
ironi dan tragedi yang membuat tulisan Anda lebih "basah" dan berjiwa.

Jangan arogan: orang yang tak setuju dengan Anda belum tentu bodoh.
Hormati keragaman pendapat. Opini Anda, bahkan jika Anda meyakininya
sepenuh hati, hanya satu saja kebenaran. Ada banyak kebenaran di "luar
sana".

Uji Tulisan Anda: minta teman dekat, saudara, istri, pacar untuk
membaca tulisan yang sudah usai. Dengarkan komentar mereka atau kritik
mereka yang paling tajam sekalipun. Mereka juga seringkali bisa
membantu kita menemukan kalimat atau fakta bodoh yang perlu kita
koreksi sebelum diluncurkan ke media.

"MENJUAL" KOLOM KE MEDIA

Apa yang umumnya dipertimbangkan oleh redaktur esai/opini untuk memuat
tulisan Anda?

Nama penulis: para redaktur tak mau ambil pusing, mereka umumnya akan
cepat memilih penulis yang sudah punya namaketimbang penulis baru.
Jika Anda penulis baru, ini merupakan tantangan terbesar.

Tapi, bukankah tak pernah ada penulis yang "punya nama" tanpa pernah
menjadi penulis pemula? Jangan segan mencoba dan mencoba jika tulisan
ditolak. Tidak ada pula penulis yang langsung berada di puncak; mereka
melewati tangga yang panjang dan terjal. Anda bisa melakukannya dengan
menulis di media mahasiswa, lalu menguji keberanian di koran lokal
sebelum menulis untuk koran seperti Kompas atau majalah Tempo.

Otoritas: redaktur umumnya juga lebih senang menerima tulisan dari
penulis yang bisa menunjukkan bahwa dia menguasai masalah. Tidak
selalu ini berarti sang penulis adalah master atau doktor dalam bidang
tersebut.

Style dan Personalitas: tema tulisan barangkali biasa saja, tapi jika
Anda menuliskannya dengan gaya "style" yang orisinal dan istimewa
serta sudut pandang yang unik, kemungkinan besar sang redaktur akan
memuatnya.

Populer: koran dan majalah dibaca oleh khalayak yang luas. Tema
tulisan harus cukup populer bagi pembaca awam, tanpa kehilangan
kedalaman. Bahkan seorang doktor dalam antropologi adalah pembaca awam
dalam fisika. Kuncinya: tidak nampak bodoh dibaca oleh orang yang
paham bidang itu, tapi tidak terlalu rumit bagi yang tidak banyak
mendalaminya.

BAHAN BACAAN LANJUTAN

Teknik Penulisan
- Argumentasi dan Narasi (Gorys Keraf)
- Yuk, Menulis Cerpen, yuk (Mohammad Diponegoro)

Catatan Harian dan Korespondensi
- Catatan Harian Soe Hok Gie
- Surat-surat Iwan Simatupang
- Catatan Harian Ahmad Wahib

Kumpulan Esai
- Catatan Pinggir dan Kata, Waktu (Goenawan Mohamad)
- Mangan Ora Mangan Kumpul dan Sugih tanpa Banda (Umar Kayam)
- Faisal Baraas (Beranda Kita)
- Puntung-Puntung Roro Mendut (YB Mangunwijaya)

Kumpulan Cerpen
- Orang-orang Bloomington (Budidarma)
- Lukisan Perkawinan (Hamsad Rangkuti)
- Odah (Mohamad Diponegoro)
- Leak (Faisal Baraas)
- Tegak Lurus Dengan Langit (Iwan Simatupang)
- Bromocorah (Mochtar Lubis)

SELESAI

sumber:
milis jurnalisme

No comments:
Write komentar

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)