Sunday, May 23, 2010

Launching Buku: Melawan Pembajakan Demokrasi, Pelajaran dari Pilkada Jawa Timur

Tanggal : 25 Mei 2010
Waktu : 12:30 - 16:00
Tempat : Ruang Anggrek Lt. 1 Gedung Balai Kartini Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 37 Jakarta Selatan

Akan hadir dalam launching ini adalah:
- Khofifah Indar Parawansa (ketua Umum Muslimat NU)
- Effendy Ghazali (pengamat politik)
- Tokoh-tokoh nasional.

Berikut resensi bukunya yang dimuat harian Seputar Indonesia, Minggu, 23 Mei 2010.

=======================

Demokrasi Tanpa Kecurangan

JIKA ukurannya hanya pemilihan langsung atau tidak langsung,tentu,Indonesia adalah negara yang cukup berhasil mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi.

Betapa tidak, di negeri dengan lebih dari 220 juta penduduk ini, presiden hingga kepala desa dipilih secara langsung. Rakyat bebas menentukan pemimpinnya. Namun, tentu, demokrasi tidak sebatas itu. Demokrasi juga diukur oleh sejauh mana sistem tersebut berjalan sesuai prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran serta penghormatan terhadap nilai, norma dan aturan hukum yang berlaku.

Demokrasi di Indonesia juga belum sepenuhnya memenuhi prinsip- prinsip tersebut. Sebab, dalam banyak kesempatan, proses demokrasi di negeri ini, masih menyisakan tidak sedikit persoalan. Sebut saja, misal dalam proses pemilihan umum (pemilu), baik pemilu legislatif, pemilu presiden maupun pemilu kepala daerah.

Contoh paling nyata adalah pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Jawa Timur pada 2008 silam, seperti yang diungkap dalam buku berjudul Khofifah Indar Parawansa: Melawan Pembajakan Demokrasi ini. Pesta demokrasi lokal di provinsi,berpenduduk terbesar di Indonesia itu, tidak hanya menyisakan satu, melainkan banyak persoalan yang sangat kompleks.

Di antaranya, kasus dugaan (kuat) manipulasi daftar pemilih tetap (DPT), kurang siapnya lembaga penyelenggara pemilukada, maraknya praktik-praktik pelanggaran serta kecurangan yang dilakukan pihak-pihak tertentu. Saking kompleksnya persoalan pada pemilukada itu,pemungutan suara pun harus digelar hingga tiga kali atau tiga putaran.Satu di antaranya pemungutan suara ulang di dua kabupaten: Bangkalan dan Sampang,plus penghitungan suara ulang di Pamekasan.

Hal itu dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa telah benar- benar terjadi pelanggaran di tiga kabupaten tersebut sehingga harus dilakukan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang. Pelanggaran yang dimaksud bukanlah pelanggaran yang bersifat insidental atau pun sporadis.

MK dalam putusannya,menyebut pelanggaran yang terjadi sebagai ìpelanggaran sistematis, terstruktur dan masifî. Sistematis karena pelanggaran dilakukan secara terencana, terorganisasi, profesional, dan dengan perhitungan yang matang.Terstruktur lantaran kejahatan politik tersebut melibatkan aparat/oknum lembaga negara, yakni Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Dan,masif karena pelanggaran itu terjadi di tiga kabupaten –bukan hanya di satu tempat pemungutan suara– sehingga sangat memengaruhi hasil akhir pemilukada tersebut. Saking sistematis, terstruktur dan masifnya, pelanggaran serupa kembali terjadi pada pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang.

Di antaranya, ditemukan ratusan ribu pemilih pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Khofifah Indar Parawansa–Mudjiono (Kaji) di Bangkalan dan Sampang yang tak bisa menyalurkan hak pilihnya karena tak masuk dalam DPT.Temuan lain adalah adanya ratusan ribu nama dan nomor induk kependudukan (NIK) ganda, serta adanya pemilih di bawah umur dan nama-nama fiktif.

Pelanggaran-pelanggaran itu baru satu di antara banyak pelanggaran lain,terutama jenis-jenis pelanggaran yang dapat disengketakan di MK.Dalam buku yang ditulis Ahmad Millah Hasan ini,diungkap pula bentuk-bentuk pelanggaran bernuansa SARA (suku,agama,ras dan antargolongan). Sebut saja sebagai contoh beredarnya poster bergambar Salib dan bertuliskan ‘Yesus Memberkati’ di hampir seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur.

Poster tersebut dimaksudkan untuk menjelekkan pasangan Kaji. Peran lembaga survei menambah ‘keunikan’ tersendiri pada pemilukada di provinsi yang menjadi basis Nahdlatul Ulama ini.Beberapa jam setelah pemungutan suara pada putaran kedua,lima lembaga survei, tiga di antaranya lembaga bertaraf nasional –yang cukup kredibel– menyatakan pasangan Kaji mengungguli rivalnya, Soekarwo– Saifullah Yusuf (Karsa). Namun, fakta tersebut berubah kemudian.

Kata kunci margin of error (tingkat kesalahan) 1-2 persen pun dipakai untuk meyakinkan publik bahwa bisa saja pasangan Kaji justru akan kalah atas pasangan Karsa dalam hitung manual KPUD.Opini sudah dibangun.Diperkuat diskusi yang digelar KPUD, yang secara khusus memperbincangkan margin of error atas quick count.Begitu pula sejumlah pengamat,seperti di komando, bicara bahwa quick count tidak selalu tepat.

Alhasil, dua atau tiga hari setelah pemungutan suara, beredar data melalui layanan pesan singkat (SMS) dan selebaran bahwa Desk Pilkada Provinsi Jawa Timur telah selesai menghitung suara di seluruh TPS. Hasilnya, Karsa unggul. Hampir bersamaan dengan itu,beredar pula SMS hasil hitungan versi Polisi dari Polda Jatim.Hasilnya,Karsa unggul. Ulasan rinci yang diperkuat beragam data pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif dalam buku ini,bukan hanya penting untuk diketahui sebagai informasi semata.

Buku ini penting sebagai pengingat bagi bangsa Indonesia yang masih berada dalam proses kematangan berdemokrasi. Apalagi, di masa mendatang, Indonesia masih akan menerapkan demokrasi langsung, masyarakat hingga lapisan paling bawah turut terlibat. Khusus pada 2010, sebanyak 244 pemilukada akan digelar di berbagai daerah di Indonesia, terdiri dari 7 provinsi dan 237 kabupaten/kota.

Itu artinya, sebanyak 244 pula merupakan potensi kecurangan, kekisruhan dan sekian permasalahan lain bisa terjadi. Jika tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin pesta demokrasi yang melelahkan sekaligus berbiaya tinggi itu hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang mengingkari amanat pemilihnya.(*)

M Arief Hidayat
adalah mantan wartawan dan penikmat buku.

No comments:
Write komentar

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)