Oleh
Yons Achmad*
Aksi terorisme kembali dilakukan Israel. Kali ini penyerangan membabi-buta
atas armada kebebasan : Kafilah Freedom Flotilla yang membawa bantuan
kemanusiaan ke Gaza. Beragam pandangan muncul dalam kasus ini. Sebagian besar
mengutuk Israel, tapi satu negara semacam Amerika Serikat (AS) hanya
“menyesal” atas jatuhnya korban. Saya tak akan lebih jauh menyoroti sisi
politik. Saya akan fokus untuk menyoroti soal arus strategi informasi dan
media terkait kasus ini.
Saya percaya, selain melakukan aksi terorisme, Israel sudah pasti melakukan
serangkaian strategi informasi yang akan membenarkan aksi tersebut. Tepatnya
akan melakukan penyesatan publik. Penduduk Indonesia, tentu tak lepas dari
target penyesatan opini publik dalam kasus ini. Disinilah nantinya wacana
akan bertarung. Antara kemuliaan dan solidaritas misi kemanusiaan itu dan
argumentasi pembenaran atas aksi terorisme Israel. Bagaimana permainan
strategi informasi berjalan? Mari kita sama-sama cermati.
*Pertama*, yang saya amati adalah situs sahabatalaqsha. com dan situs
hidayatullah. com. Kedua institusi ini mengirimkan wakilnya dalam rombongan
armada kebebasan ke Gaza. Kedua situs tersebut sempat mati. Tak dapat
diakses. Ada dua dugaan. Karena di sabotase oleh pasukan maya Israel, atau
karena kendala teknis kebanyakan pengunjung yang akhirnya overload dan tak
bisa diakses. Tentang hal ini, saya belum mempunyai jawaban pastinya.
* *
*Kedua,* tentang arus informasi di situs jejaring sosial Twitter. Data
terbaru, pengguna Twitter di Indonesia adalah 5,5 juta. Wajar kalau saluran
informasi melalui media sosial ini diperhitungkan. Ada indikasi Twitter
bermain dalam politik informasi alias mendukung (pro) kepentingan
Israel. Fakta
bahwa hashtag #flotilla* * tidak menjadi trending topic. Justru yang muncul
malah #Israil. Atas bukti ini, kemudian publik menjadi bertanya-tanya,
benarkah Twitter pro Israel? Sayang sampai saat ini, sependek yang saya
ketahui belum ada pernyataan resmi dari Twitter merespon kejadian tersebut.
* *
*Ketiga*, tentang video penyerangan di kapal Freedom Flotilla. Di situs
Youtube kita bisa menyaksikan sebuah video yang saya kira sebuah propaganda
yang telah dirancang matang, bukan amatiran. Diproduksi dan disebarkan oleh
Israeli Defense Forces (IDF). Saya tertarik membaca video ini. Digambarkan,
tentara Israel turun dari helikopter satu persatu. Saat sampai di kapal
mereka dipukuli beramai-ramai. Video tersebut kemudian menjadi pembenar,
menjadi argumentasi Israel bahwa mereka melakukan serangan balik kepada
aktivis kemanusiaan dalam armada kebebasan itu dengan dalih membela diri.
Pejabat Israel kemudian gencar melakukan propaganda media. Avital Leibovich,
juru Bicara militer Israel mengatakan bahwa pasukan mereka yang naik ke atas
kapal Mavi Marmara mendapatkan senjata-senjata tajam di antara para
penumpang, seperti pisau dan lainnya. Dikatakan juga para aktivis telah
mempersiapkan diri untuk melakukan serangan terhadap tentara Israel (*
Hidayatullah* , 31 Mei 2010)
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan penghadangan oleh
pasukan Israel itu. Bertujuan untuk mencegah masuknya ribuan roket, misil
dan senjata-senjata lain yang dapat menghantam kota-kota kami, masyarakat
atau orang." Para prajurit Israel, katanya, hanya membela diri dari
pembunuhan (*Eramuslim* , 1 Juni 2010).
Satu point yang menarik saya catat adalah dalam soal argumentasi. Israel
piawai dalam strategi informasi. Mereka menggunakan argumentasi lewat bukti.
Dalam kasus ini video tersebut menjadi salah satu pembenar. Bukti ada.
Publik mungkin tak sepakat. Seperti komentar beberapa pengguna Twitter yang
sempat saya ikuti. “Salah sendiri Israel, wajar mereka dipukuli ngapain juga
cegat dan halangi misi kemanusiaan”.
Propaganda tersebut mungkin tidak mempan. Publik akan kritis mensikapinya.
Namun toh masih ada kemungkinan orang percaya lantas setuju dengan
argumentasi Israel. Sekali lagi, pada titik ini, dalam politik wacana kita
memerlukan bukti (landasan) kuat yang bisa meyakinkan. Visualiasi lewat
video mungkin memang pas. Berbeda misalnya argumentasi yang mengatakan
Israel diserang duluan tanpa video itu.
Tentu argumentasi menjadi lemah, bahkan sangat lemah. Apalagi reputasi
Israel dimata dunia yang terkenal paling suka berbohong. Dengan demikian,
video tersebut saya kira salah satu bagian atau setidaknya rancangan
propaganda yang memang sudah dirancang secara matang dalam memenangkan
perang informasi.
Masih tentang video tersebut, saya lalu mengamati media nasional. Saya tidak
terlalu mengamati media misalnya Sabili, Republika, Eramuslim atau
Hidayatullah. Saya percaya media tersebut pasti memihak dan pro Palestina.
Kemudian, saya mengamati dua media : Kompas dan Tempo. Beberapa tema berita
yang diangkat seputar kemanusiaan universal. Pada wilayah ini, kedua media
tersebut cukup memihak dan pro Palestina, walau aura “militansinya” biasa
saja. Berbeda dengan “semangat membara” pemberitaan pada empat media yang
saya sebut diatas.
Tapi, ada satu pemberitaan yang menggoda saya. Judulnya “Kisah Keoknya
Pasukan Komando Israel (*Tempo*, 2 Juni 2010) ditulis oleh Daru Priyambodo.
Berita tersebut bersumber dari Harian Ynetnews Israel. Berita ini diawali
dengan heroisme tentara Israel. Daru menulis : *Pasukan komando Israel sudah
lama dikenal sebagai pembunuh andal. Mereka mampu bergerak cepat dan
mematikan. Tapi, dalam operasi di geladak kapal misi kemanusiaan Mavi
Marmara, Minggu subuh lalu, sesungguhnya pasukan ini gagal total.*
Lanjut Daru : *Bagaimana kegagalan ini terjadi? Ynetnews, harian Israel,
menyebutkan kegagalan sudah terjadi ketika pasukan diterjunkan dari
helikopter. Teori dasar yang diajarkan pada pasukan khusus itu adalah,
jangan pernah bergerak sendirian, usahakan selalu bersama anggota pasukan
lain. Teori itu tak berlaku di geladak Marmara. Mengira tak akan mendapat
perlawanan sengit, pasukan komando turun satu demi satu dari helikopter,
menggunakan tali. Di bawah, tentu saja mereka tidak disambut kalungan bunga.
Yang mereka terima adalah serbuan puluhan aktivis yang menggebuk dengan
berbagai senjata seadanya, dari kayu, besi, hingga kunci Inggris. Dengan
susah payah semua anggota pasukan komando ini akhirnya berhasil mendarat.
Tapi kondisi mereka sudah babak-belur. Dua di antaranya bahkan pingsan, dan
senjatanya dirampas.*
* *
Ada dua tangkapan saat saya membaca kutipan berita diatas. (1) Berita ini
diawali paparan heroisme tentara Israel. Pertanyaannya adalah, benarkah
tentara Israel sehebat itu? (2) Darimana wartawan mendapatkan informasi
tentang pasukan komando Israel dan kenapa dia begitu yakin?. Saya kira perlu
diselidiki. Tapi karena sudah diterbitkan Tempo, kita membacanya itulah
pandangan pemberitaan Tempo.
Agak sulit memang membaca kemana arah pemberitaan itu akan dituju. Disatu
sisi, ingin menunjukkan kehebatan tentang Israel, pada lain sisi mengungkap
ketidakhebatan tentara Israel yang mengatakan kegagalan pasukan komando.
Tapi, selanjutnya menampilkan juga kisah pasukan komando yang babak belur
digebuki aktivis kemanusiaan. Bahkan dikabarkan ada yang pingsan dan
senjatanya dirampas.
Agak lama saya merenungkan teka-teki ini. Tapi saya agak kurang sepandangan
dengan Tempo. Satu alasannya, sumberi berita itu dari harian Israel. Pada
akhirnya dari menghubungkan satu persatu pemberitaan, ada sebuah benang
merah yang saya dapatkan.
Saya menduga, pasukan Israel bukan “keok” seperti yang diberitakan Tempo.
Saya malah menduga kejadian itu disengaja. Satu-persatu personil pasukan
turun dari helikopter, lalu mereka berhasil memancing kemarahan aktivis
kemanusiaan yang kemudian “menyerang” pasukan dengan tongkat (kayu). Tim
“humas” Israel mengabadikan peristiwa itu dalam sebuah video. Menyebarkannya
ke penjuru dunia.
Lantas menjadi argumen pembenaran bahwa Israel tidak melakukan penyerangan,
tapi membela diri seperti yang persis disampaikan Perdana Menteri Benjamin
Netanyahu. Ini pandangan sementara bagaimana strategi informasi Israel
dimainkan. Video tersebut benar-benar menguntungkan Israel dalam perang
Informasi. Tentu masih banyak strategi informasi lain yang perlu kita baca.
Untuk analisis yang lebih akademis, kita tunggu saja para sarjana Ilmu
Komunikasi di “menara gading” sana untuk bisa mengupasnya dengan lebih
jernih. []
*Pengamat media. Tinggal di pinggir Jakarta.
Yons Achmad*
Aksi terorisme kembali dilakukan Israel. Kali ini penyerangan membabi-buta
atas armada kebebasan : Kafilah Freedom Flotilla yang membawa bantuan
kemanusiaan ke Gaza. Beragam pandangan muncul dalam kasus ini. Sebagian besar
mengutuk Israel, tapi satu negara semacam Amerika Serikat (AS) hanya
“menyesal” atas jatuhnya korban. Saya tak akan lebih jauh menyoroti sisi
politik. Saya akan fokus untuk menyoroti soal arus strategi informasi dan
media terkait kasus ini.
Saya percaya, selain melakukan aksi terorisme, Israel sudah pasti melakukan
serangkaian strategi informasi yang akan membenarkan aksi tersebut. Tepatnya
akan melakukan penyesatan publik. Penduduk Indonesia, tentu tak lepas dari
target penyesatan opini publik dalam kasus ini. Disinilah nantinya wacana
akan bertarung. Antara kemuliaan dan solidaritas misi kemanusiaan itu dan
argumentasi pembenaran atas aksi terorisme Israel. Bagaimana permainan
strategi informasi berjalan? Mari kita sama-sama cermati.
*Pertama*, yang saya amati adalah situs sahabatalaqsha. com dan situs
hidayatullah. com. Kedua institusi ini mengirimkan wakilnya dalam rombongan
armada kebebasan ke Gaza. Kedua situs tersebut sempat mati. Tak dapat
diakses. Ada dua dugaan. Karena di sabotase oleh pasukan maya Israel, atau
karena kendala teknis kebanyakan pengunjung yang akhirnya overload dan tak
bisa diakses. Tentang hal ini, saya belum mempunyai jawaban pastinya.
* *
*Kedua,* tentang arus informasi di situs jejaring sosial Twitter. Data
terbaru, pengguna Twitter di Indonesia adalah 5,5 juta. Wajar kalau saluran
informasi melalui media sosial ini diperhitungkan. Ada indikasi Twitter
bermain dalam politik informasi alias mendukung (pro) kepentingan
Israel. Fakta
bahwa hashtag #flotilla* * tidak menjadi trending topic. Justru yang muncul
malah #Israil. Atas bukti ini, kemudian publik menjadi bertanya-tanya,
benarkah Twitter pro Israel? Sayang sampai saat ini, sependek yang saya
ketahui belum ada pernyataan resmi dari Twitter merespon kejadian tersebut.
* *
*Ketiga*, tentang video penyerangan di kapal Freedom Flotilla. Di situs
Youtube kita bisa menyaksikan sebuah video yang saya kira sebuah propaganda
yang telah dirancang matang, bukan amatiran. Diproduksi dan disebarkan oleh
Israeli Defense Forces (IDF). Saya tertarik membaca video ini. Digambarkan,
tentara Israel turun dari helikopter satu persatu. Saat sampai di kapal
mereka dipukuli beramai-ramai. Video tersebut kemudian menjadi pembenar,
menjadi argumentasi Israel bahwa mereka melakukan serangan balik kepada
aktivis kemanusiaan dalam armada kebebasan itu dengan dalih membela diri.
Pejabat Israel kemudian gencar melakukan propaganda media. Avital Leibovich,
juru Bicara militer Israel mengatakan bahwa pasukan mereka yang naik ke atas
kapal Mavi Marmara mendapatkan senjata-senjata tajam di antara para
penumpang, seperti pisau dan lainnya. Dikatakan juga para aktivis telah
mempersiapkan diri untuk melakukan serangan terhadap tentara Israel (*
Hidayatullah* , 31 Mei 2010)
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan penghadangan oleh
pasukan Israel itu. Bertujuan untuk mencegah masuknya ribuan roket, misil
dan senjata-senjata lain yang dapat menghantam kota-kota kami, masyarakat
atau orang." Para prajurit Israel, katanya, hanya membela diri dari
pembunuhan (*Eramuslim* , 1 Juni 2010).
Satu point yang menarik saya catat adalah dalam soal argumentasi. Israel
piawai dalam strategi informasi. Mereka menggunakan argumentasi lewat bukti.
Dalam kasus ini video tersebut menjadi salah satu pembenar. Bukti ada.
Publik mungkin tak sepakat. Seperti komentar beberapa pengguna Twitter yang
sempat saya ikuti. “Salah sendiri Israel, wajar mereka dipukuli ngapain juga
cegat dan halangi misi kemanusiaan”.
Propaganda tersebut mungkin tidak mempan. Publik akan kritis mensikapinya.
Namun toh masih ada kemungkinan orang percaya lantas setuju dengan
argumentasi Israel. Sekali lagi, pada titik ini, dalam politik wacana kita
memerlukan bukti (landasan) kuat yang bisa meyakinkan. Visualiasi lewat
video mungkin memang pas. Berbeda misalnya argumentasi yang mengatakan
Israel diserang duluan tanpa video itu.
Tentu argumentasi menjadi lemah, bahkan sangat lemah. Apalagi reputasi
Israel dimata dunia yang terkenal paling suka berbohong. Dengan demikian,
video tersebut saya kira salah satu bagian atau setidaknya rancangan
propaganda yang memang sudah dirancang secara matang dalam memenangkan
perang informasi.
Masih tentang video tersebut, saya lalu mengamati media nasional. Saya tidak
terlalu mengamati media misalnya Sabili, Republika, Eramuslim atau
Hidayatullah. Saya percaya media tersebut pasti memihak dan pro Palestina.
Kemudian, saya mengamati dua media : Kompas dan Tempo. Beberapa tema berita
yang diangkat seputar kemanusiaan universal. Pada wilayah ini, kedua media
tersebut cukup memihak dan pro Palestina, walau aura “militansinya” biasa
saja. Berbeda dengan “semangat membara” pemberitaan pada empat media yang
saya sebut diatas.
Tapi, ada satu pemberitaan yang menggoda saya. Judulnya “Kisah Keoknya
Pasukan Komando Israel (*Tempo*, 2 Juni 2010) ditulis oleh Daru Priyambodo.
Berita tersebut bersumber dari Harian Ynetnews Israel. Berita ini diawali
dengan heroisme tentara Israel. Daru menulis : *Pasukan komando Israel sudah
lama dikenal sebagai pembunuh andal. Mereka mampu bergerak cepat dan
mematikan. Tapi, dalam operasi di geladak kapal misi kemanusiaan Mavi
Marmara, Minggu subuh lalu, sesungguhnya pasukan ini gagal total.*
Lanjut Daru : *Bagaimana kegagalan ini terjadi? Ynetnews, harian Israel,
menyebutkan kegagalan sudah terjadi ketika pasukan diterjunkan dari
helikopter. Teori dasar yang diajarkan pada pasukan khusus itu adalah,
jangan pernah bergerak sendirian, usahakan selalu bersama anggota pasukan
lain. Teori itu tak berlaku di geladak Marmara. Mengira tak akan mendapat
perlawanan sengit, pasukan komando turun satu demi satu dari helikopter,
menggunakan tali. Di bawah, tentu saja mereka tidak disambut kalungan bunga.
Yang mereka terima adalah serbuan puluhan aktivis yang menggebuk dengan
berbagai senjata seadanya, dari kayu, besi, hingga kunci Inggris. Dengan
susah payah semua anggota pasukan komando ini akhirnya berhasil mendarat.
Tapi kondisi mereka sudah babak-belur. Dua di antaranya bahkan pingsan, dan
senjatanya dirampas.*
* *
Ada dua tangkapan saat saya membaca kutipan berita diatas. (1) Berita ini
diawali paparan heroisme tentara Israel. Pertanyaannya adalah, benarkah
tentara Israel sehebat itu? (2) Darimana wartawan mendapatkan informasi
tentang pasukan komando Israel dan kenapa dia begitu yakin?. Saya kira perlu
diselidiki. Tapi karena sudah diterbitkan Tempo, kita membacanya itulah
pandangan pemberitaan Tempo.
Agak sulit memang membaca kemana arah pemberitaan itu akan dituju. Disatu
sisi, ingin menunjukkan kehebatan tentang Israel, pada lain sisi mengungkap
ketidakhebatan tentara Israel yang mengatakan kegagalan pasukan komando.
Tapi, selanjutnya menampilkan juga kisah pasukan komando yang babak belur
digebuki aktivis kemanusiaan. Bahkan dikabarkan ada yang pingsan dan
senjatanya dirampas.
Agak lama saya merenungkan teka-teki ini. Tapi saya agak kurang sepandangan
dengan Tempo. Satu alasannya, sumberi berita itu dari harian Israel. Pada
akhirnya dari menghubungkan satu persatu pemberitaan, ada sebuah benang
merah yang saya dapatkan.
Saya menduga, pasukan Israel bukan “keok” seperti yang diberitakan Tempo.
Saya malah menduga kejadian itu disengaja. Satu-persatu personil pasukan
turun dari helikopter, lalu mereka berhasil memancing kemarahan aktivis
kemanusiaan yang kemudian “menyerang” pasukan dengan tongkat (kayu). Tim
“humas” Israel mengabadikan peristiwa itu dalam sebuah video. Menyebarkannya
ke penjuru dunia.
Lantas menjadi argumen pembenaran bahwa Israel tidak melakukan penyerangan,
tapi membela diri seperti yang persis disampaikan Perdana Menteri Benjamin
Netanyahu. Ini pandangan sementara bagaimana strategi informasi Israel
dimainkan. Video tersebut benar-benar menguntungkan Israel dalam perang
Informasi. Tentu masih banyak strategi informasi lain yang perlu kita baca.
Untuk analisis yang lebih akademis, kita tunggu saja para sarjana Ilmu
Komunikasi di “menara gading” sana untuk bisa mengupasnya dengan lebih
jernih. []
*Pengamat media. Tinggal di pinggir Jakarta.
No comments:
Write komentar