Entah sudah berapa lama, aku tak lagi membaca novel sebagaimana dulu kebiasaanku. Pekerjaan dan aktivitas yang semakin padat, ditambah jadwal kuliah dan tugas-tugas sejenak mengalihkan bacaanku.
Idul Adha kemarin aku pulang kampung. Ziarah dan berdoa di makam ayahku. Tiba-tiba aku merindukannya. Ingin sekali bersua dengannya. Memeluknya erat. Memeluknya dengan tangisan terima kasih.
Lalu tak sengaja kutemukan buku itu di rak buku ruang tamu di rumahku. “kapan terakhir kita memeluk ayah kita?” kata itu tertulis di bagian belakang buku tersebut. Kalimat itu seakan menohokku. Ah, ada apa dengan buku ini. Aku penasaran.
“Pastilah karya Tere Liye selalu bagus,” gumamku dalam hati.
Ketika berangkat kembali ke Jakarta aku comot buku itu dan kumasukkan ke dalam tas. Adikku memergoki.
“Kok dibawa?” teriaknya.
“Kayaknya bagus,” jawabku cuek dan tetap memasukkan ke dalam tas.
Dalam perjalanan malam Surabaya-Jakarta malam itu. Sengaja aku memilih naik kereta ‘peninggalan’ masa laluku. Sekadar menghilangkan penasaran setelah ada beberapa perbaikan pelayanan–termasuk tak menjual tiket tanpa tempat duduk.
Meskipun tak lagi menjual tiket tanpa tempat duduk, yang namanya Kertajaya ya tetap Kertajaya. Dari dulu, entah sampai kapan.
Aku mendapatkan duduk di pinggir jendela. Kupikir ini akan sedikir nyaman. Aku bisa bersandar tidur dan melihat pemandangan di luar kereta.
Tak dinyana, aku duduk bersama serombongan ibu-ibu, ada nenek tua, ada anak kecil pula. Rombongan keluarga yang hendak ke Lampung untuk menjenguk keluarga di sna, begitu kata mereka. Tempat duduk terasa semakin menyempit. Aku terdesak semakin ke dinding kereta.
Sejenak mencoba memejamkan untuk menghilangkan rasa kesal. Menyandarkan kepala di dinding kereta. Tetap saja, susah sekali mataku terpejam. Merutuki diri, kenapa coba-coba naik Kertajaya lagi. Bukankah aku bisa tiba di Jakarta lebih pagi. Terdengar sisi batin yang lain membantah.
Ahhh…
(Di sinilah kenapa foto buku itu kupasang)
Aku teringat dengan buku bang Darwis Tere Liye Satu yang kucomot dari rak buku di rumah. Sejatinya itu adalah buku milik Adikku Arini Falahiyah. Mungkin ia telah mengkhatamnya dan meninggalkannya di rumah.
Aku membuka lembar buku. Langsung terkesima dengan kalimat-kalimat sederhana khas Tere Liye. Dan, mulailah sejak itu aku mempunyai duniaku sendiri. Bertualang sendiri bersama Dam ke Akademi Gajah, Lembah Bukhara, dan Suku Penguasa Angin.
Tengah malam. Tak terasa aku telah menyudahinya. Aku tarik napas panjang. Puas. Ada senyum, tawa, tangis, dan kadang air mata (untuk urusan yang satu ini tere liye emang jagonya).
Hujan mengguyur di luar jendela. Bahkan sempat masuk ke depan tempat dudukku pun seakan menjadi tak ada. Aku beranjak, pamit dari orang sebelah menuju kamar kecil.
Wudhu di kamar kecil. Mencari tempat duduk yang longgar di lantai kereta dengan alas koran. Shalat Maghrib dan Isya’ sambil duduk. Sesaat, mataku terpejam di tengah teriakan pedangan asongan.
“Kopi… Kopi…”
“Pop Mie… Pop Mie…”
Jakarta, 10 November 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Adv.
IKLAN
Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)
1 comment:
Write komentar