Kopi Buat Guru Ngaji
Subuh belum tiba ketika saya melipir ke Jatirogo. Jalanan masih sepi, embun belum sempat menguap. Saya mampir di sebuah masjid di pinggir jalan—sunyi, teduh, sederhana. Di situlah saya menemukan pemandangan yang membuat hati bergetar pelan.
Di emperan masjid itu, seorang bapak setengah baya duduk bersila. Di hadapannya, satu per satu anak kecil datang mengaji. Tidak dengan mushaf, tidak pula dengan buku. Mereka duduk bersahaja, membaca atau menghafal surah-surah pendek dari Juz Amma. Sang guru menuntun perlahan, sepenggal demi sepenggal ayat.
Saya hanya memperhatikan dari kejauhan. Tidak ada formalitas. Tidak ada pengeras suara. Tidak ada plang “TPQ Modern” atau “Madrasah Digital”. Hanya ada seorang guru dan anak-anak desa yang datang silih berganti membawa semangat mengaji.
Dan saya terdiam…
Masya Allah, masih ada yang seperti ini di zaman sekarang. Di tengah modernisasi pembelajaran Al-Qur’an—dengan metode cepat, aplikasi digital, kelas eksklusif ber-AC—ternyata masih ada guru ngaji yang bertahan dengan cara lama: mengajar dengan sabar, tanpa pamrih, di pojok masjid yang sederhana.
Namun, di balik kekaguman itu, saya juga merenung. Ada dua hal yang perlu kita pikirkan bersama.
Pertama, soal efektivitas.
Cara mengajar seperti ini, meski tampak tulus dan menyentuh, bisa jadi kurang maksimal dalam hal hasil. Tanpa metode yang jelas, tanpa mushaf sebagai pegangan, dan tanpa bimbingan tajwid yang sistematis, hafalan anak-anak rawan keliru. Mungkin, guru tersebut terpaksa mengajar seperti itu karena keterbatasan—bisa jadi belum pernah mendapat pelatihan, atau hanya mengikuti tradisi yang diwariskan sejak dulu.
Kedua, soal keikhlasan yang sering disalahpahami.
Guru seperti ini mungkin sudah puluhan tahun mengabdi. Tapi apakah beliau diberi bisyaroh yang pantas? Apakah tiap pagi beliau bisa sarapan dengan layak? Atau sekadar ngopi dan makan pisang goreng setelah mengajar?
Sayangnya, banyak lembaga yang merasa cukup dengan satu kata: ikhlas.
Asal guru rajin datang dan ngajar, sudah dianggap cukup. Tak perlu pelatihan. Tak perlu dukungan. Apalagi insentif tambahan. Padahal, keikhlasan itu bukan alasan untuk menutup mata terhadap kebutuhan manusiawi para guru ngaji.
Yang lebih miris, kadang guru seperti ini bahkan tak berani masuk warung kopi karena tak membawa cukup uang untuk sekadar membeli kopi dan rokok eceran. Padahal, mereka mengajarkan firman Tuhan setiap hari. Ironi, bukan?
---
Tulisan ini bukan keluhan, tapi ajakan untuk peduli.
Kalau kita mencintai Al-Qur’an, maka cintailah juga orang-orang yang mengajarkannya. Kalau kita ingin anak-anak kita pandai mengaji, maka berikanlah perhatian pada guru-guru mereka—baik secara ilmu, maupun secara kehidupan.
Minimal, mari kita mulai dari hal kecil: pastikan guru ngaji kita bisa ngopi dengan tenang setiap pagi.
Semoga secangkir kopi yang kita niatkan untuk guru ngaji, menjadi jembatan keberkahan yang mengalir tak henti.
No comments:
Write komentar