Omong Berisi Writerpreneur #1
Selalu saja ada dorongan untuk menulis; dari awalnya sebuah hobi, lalu menjadi pekerjaan, dan seterusnya menjadi bisnis. Dalam sebuah training Professional Writing Skill, seorang peserta bertanya kepada saya, “Pak, apa bedanya menulis sebagai pekerjaan dan menulis sebagai bisnis?”
Saya jawab dan balik bertanya: “Menulis sebagai pekerjaan biasanya mengiringi profesi tertentu, seperti editor, staf humas, sekretaris, notulis, atau guru/dosen. Sekarang soal bisnis, saya tanya kepada Anda: berapakah tarif yang Anda tetapkan untuk satu lembar artikel atau feature?” Sang peserta tadi agak ragu-ragu menjawab hingga kemudian dia menyebutkan angka tertentu.
Seseorang saya anggap mulai masuk kuadran bisnis profesional ketika ia mampu menyebut berapa dirinya harus dibayar atau berapa harga pekerjaannya. Artinya, harga itu pun sesuai dengan kualitas dan kecepatan yang dia tawarkan, termasuk yang paling mahal adalah gagasan. Anda mungkin dapat menebak-nebak berapa kira-kira Telkom membayar penggantian tagline dari commited to you menjadi the world in your hand. Berapa kira-kira penggagas tagline ini dibayar?
Ini omong berisi soal writerpreneur, bukan omong kosong. Ada orang yang menjadi penulis karena terpaksa, misalnya karena pekerjaan mengharuskannya menulis–seperti sebagian besar mahasiswa kita yang terpaksa menulis skripsi demi kelulusan. Kedua, ada orang yang menjadi penulis karena kesenangan (hobi). Lalu, ada orang pula yang menjadi penulis karena harapan bahwa menulis dapat menjadi loncatan karier ataupun sebagai karier itu sendiri yang akan membawa dirinya sukses.
Semuanya berpotensi menjadi writerpreneur. Writerpreneur adalah penulis berjiwa entrepreneur yang memiliki gagasan terobosan dalam bidang menulis, berani mengambil risiko terukur dalam menulis (risiko terendah dalam menulis ya ditolak!), dan memiliki daya saing dengan kualitas tulisan di atas rata-rata, bahkan cenderung juga generalis (bisa menulis apa pun). Writerpreneur memang punya kecenderungan melakoni kuadran kanan dalam versi Robert T. Kiyosaki yaitu business owner dan investor.
Berapa Harga Tulisan Anda?
Penulis itu memang benar-benar profesi, bahkan profesi yang menurut Tung Desem meniscayakan passive income seperti royalti. Dan penulisan itu adalah pekerjaan yang kemudian dapat dibisniskan. Sekarang, sama dengan pertanyaan saya kepada salah seorang peserta pelatihan: “Jika Anda direkrut seseorang untuk menuliskan biografi dirinya atau menuliskan kisah sukses perusahaannya, berapa Anda harus dibayar?”
Pertanyaan ini lebih jauh berhubungan dengan self-esteem–sejauh apa Anda mengenal diri dan menghargai diri sendiri. Artinya, sejauh mana Anda mengenali keterampilan menulis Anda. Maka saya akan menyodorkan sekian ragam tulisan: journalistic writing, business writing, academic writing, entertainment writing, book writing, literature writing, dan technical writing. Dari tujuh ranah penulisan ini, berapa ranah yang Anda kuasai. Ambil contoh journalistic writing, kita akan temukan ada jenis tulisan: artikel, feature, essai, tajuk rencana, surat pembaca, berita, resensi, konsultasi, kolom, dan lain-lain. Pertanyaan lagi dari sekian jenis tulisan journalistic writing, berapa yang Anda kuasai?
Lalu, kembali lagi pada pertanyaan: Berapa harga yang Anda tetapkan untuk setiap jenis tulisan itu jika Anda diminta untuk membuatkannya? Ambil basis halaman, misalnya Rp25 ribu per halaman atau Rp250 ribu per halaman. Lalu, apakah Anda sudah dapat mengukur waktu untuk setiap jenis usaha penulisan, misalnya berapa jam sebuah teks pidato dapat dikerjakan atau berapa hari sebuah makalah dapat diselesaikan?
Saya tidak ingin terus bertanya…. Pada galibnya setelah melampaui pekerjaan, penulisan sekaligus penerbitan dapat di-entrepreneur-kan manakala seseorang sudah memiliki standar dalam bidang yang dikuasainya tersebut–standar produksi, standar marketing, dan standar keuangan. Mengutip premis Bapak Ciputra: Indonesia butuh paling tidak 4 juta lebih entrepreneur untuk mengejar pendapat David McClelland bahwa sebuah negara akan makmur jika di dalamnya terdapat paling tidak 2% entrepreneur.
Lalu, dapatkah bidang penulisan-penerbitan melahirkan entrepreneur? Hanya satu pernyataan saya yang mengiyakan pertanyaan tersebut: DI DUNIA INI ATAU DI INDONESIA INI, BIDANG MANA YANG DAPAT LEPAS DARI TULIS-MENULIS? Dapatkah penulisan dibisniskan? Jawabnya: dapat karena dari sekian orang yang harus bekerja dengan tulisan, sesungguhnya mereka memang tidak memiliki keahlian dalam menulis. Hitung saja berapa perusahaan negara ataupun perusahaan swasta yang memiliki majalah atau penerbitan internal di Indonesia. Berapa orang intelektual Indonesia yang memerlukan bantuan penulis untuk mengalirkan gagasan mereka dalam bentuk makalah atau presentasi? Berapa orang guru dan dosen yang butuh penulis pendamping untuk menaikkan pangkat mereka? Berapa pengusaha yang butuh penulis untuk menyusun company profile, proposal bisnis, ataupun annual report mereka? Berapa banyak orangtua yang butuh keterampilan penulis untuk bisa menuliskan buku tentang riwayat keluarga besar mereka ataupun menuliskan secarik surat nasihat untuk anaknya?
Maka terobosan entrepreneurship yang dapat dihimpun dalam bidang penulisan-penerbitan adalah
1. mendirikan publishing service (jasa penerbitan);
2. mendirikan self-publishing (penerbitan swakelola) untuk memproduksi buku-buku karya sendiri;
3. menjadi editor profesional sekaligus konsultan (self-employee) untuk membantu perseorangan ataupun perusahan/institusi;
4. menjadi freelance writer (penulis lepas) untuk membantu perseorangan ataupun perusahaan/institusi;
5. mendirikan penerbit skala kecil (small publisher) ataupun menengah (medium publisher) sebagai usaha rintisan untuk masuk dalam pasar buku Indonesia;
6. mendirikan agen naskah (literary agent) untuk mencari bakat-bakat penulis, lalu menawarkan kerja sama dengan para panerbit.
Itulah beberapa usaha yang dapat dilakukan oleh seorang writerpreneur di bidang penulisan-penerbitan dengan modal utama adalah gagasan. Industri ini sulit dimasuki sembarang orang karena memiliki karakter sebagai industri kreatif sehingga pekerjaan utamanya adalan produk kreasi serta inovasi.
Boleh jadi industri ini dimasuki hanya oleh seorang investor yang tergiur dengan bisnis penerbitan, tetapi tetap saja ia harus merekrut para profesional di bidang penerbitan. Karena itu, industri kreatif penulisan-penerbitan yang mulai marak ini tidak pernah sepi dari kasus bajak-membajak para pekerja kreatif (penulis-editor-layouter-desainer-ilustrator). Asumsinya jika industri kreatif penulisan-penerbitan ini dipimpin manajemennya oleh orang yang tidak memahami ruh penulisan-penerbitan, saya berani bertaruh bisnis tersebut tidak akan berumur panjang–di luar masalah permodalan ataupun lainnya.
Kompetensi Writerpreneur
Kompetensi seorang writerpreneur tidak cukup dengan hanya mampu menulis, ternyata. Menulis adalah modal utamanya berupa keahlian diri sendiri. Modal lain yang bersifat alat kerja yang saat ini tergolong murah adalah komputer PC atau laptop. Dan teknologi memudahkan ia untuk tidak lagi menggunakan kertas dalam pengiriman materi, tetapi cukup soft-copy. Kembali lagi bahwa kemampuan menulis saja tidak cukup untuk membuat seseorang menjadi writerpreneur.
Ruh entrepreneurship harus dimiliki: melek diri, melek kreativitas, melek teknologi, dan melek bisnis. Dalam melek diri, unsur soft-skills menjadi penting, seperti kepercayaan diri, persisten, berani mengambil risiko terukur, siap gagal, punya daya saing, integritas, dan profesional. Dalam melek kreativitas terindikasi kemauan untuk belajar, melakukan benchmarking dan brainstorming, bereksperimen, serta berpikir out of the box. Dalam melek teknologi jelas harus menguasai teknologi electronic publishing ataupun desktop publishing paling update. Dan dalam melek bisnis utamanya memahami business plan, marketing plan, serta financial plan.
Rumit? Ya tidak begitu kalau hal ini mulai dseriusi dengan pendidikan dan pelatihan. Bukannya saya sinis, tetapi training-training penulisan yang hanya 1-2 hari saja tidak cukup untuk menjadikan Anda seorang writerpreneur–ini adalah proses. Training hanya mungkin mendorong Anda menjadi penulis, bukan penulis pengusaha (writerpreneur) dengan segenap pemahaman komprehensif di bidang penulisan-penerbitan.
Kita sedang membicarakan terobosan dan mencari blue ocean dalam bidang penulisan-penerbitan. Dan hal ini memang tidak mungkin kita pecahkan dalam 1-2 hari, apalagi untuk Anda yang baru mulai belajar menulis. Inilah buah dari ungkapan Dan Poynter: writing is not a job; it’s a business.
Bagaimana menjabarkannya? Ya, orang seperti Dan Poynter meskipun baru menulis buku pada usia paruh baya, sudah benar-benar menjadikan menulis dan menerbitkan sebagai darah daging. Ia memanfaatkan dalam istilah Tung Desem beberapa faktor kali: menjadi ahli di bidangnya, menjadi konsultan, dan menjadi trainer sekaligus. Dan ia tidak hanya hidup dari passive income beberapa buku best sellernya, tetapi juga hidup lebih besar lagi dari setiap konsultasi dan setiap training menulis-menerbitkan yang dibawakannya. Reputasi dan portofolio karyanya terus bertambah tak terbendung, kecuali beliau pikun atau meninggal.
Pendidikan dan pelatihan menulis-menerbitkan pun akhirnya dapat menjadi tumpuan penghasil entrepreneur di bidang penulisan-penerbitan atau writerpreneur. Boleh jadi bidang industri kreatif ini dapat menyumbang 100.000 atau 500.000 orang writerpreneur di berbagai bidang apakah itu publishing service, self-publisher, small publisher, literary agent, editorial consoultant, trainer penulisan-penerbitan, ataupun ghost writer dan co-writer.
Saya berharap sumbangan dari bidang ini memang signifikan sehingga menempatkan Indonesia menjadi Pusat Penerbitan ASEAN dengan mampu menyediakan jasa dan produk penerbitan kelas dunia kelak. Kita tahu bahwa hanya ada tiga lembaga pendidikan formal setingkat pendidikan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan penerbitan di Indonesia ini, yaitu Program Studi Editing Unpad, Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Penerbitan, dan Politeknik Media Kreatif Jurusan Penerbitan. Semuanya baru setingkat D3 meskipun di beberapa negara sudah ada penyelenggaraan setingkat S3.
***
Tulisan ini mengantarkan upaya saya menyusun modul perkuliahan wirausaha penerbitan untuk Politeknik Media Kreatif (dulu Pusgrafin) di Jakarta sekaligus juga upaya mengembangkan sistem standar kompetensi pekerja penerbitan yang dirancang oleh dosen Polimedia, Bapak Zalzulifa dan diedit saya sendiri. Standar kompetensi ini dikembangkan atas supervisi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan dukungan Oxford Brookes University.
Selain itu, di institusi tempat saya berkiprah kini: Grafindo-Salamadani, saya pun sedang mengembangkan sistem editorial terpadu dan sistem penilaian kinerja editorial dan peningkatan kompetensi penerbitan para personel penerbitan. Konsep intrapreneurship pun dapat dikembangkan dan perlu dikembangkan dalam industri kreatif seperti penerbitan buku.
Sebagai buah praktik yang bukan teori (omong berisi), saya pun sudah mengembangkan publishing service bernama Dixigraf yang telah mengerjakan berbagai proyek penerbitan, baik dari perseorangan, institusi penerbitan, maupun institusi non-penerbitan. Dixigraf mampu memberikan lapangan pekerjaan baru bagi para penulis, editor, layouter, desainer, dan ilustrator serta memungkinkan untuk dikembangkan menjadi bisnis franchise writing-editing-publishingdi seluruh Indonesia. Untuk hal ini saya tengah menggodoknya.
Kami sendiri mengambil benchmark perusahaan jasa penerbitan populer X-Libris di Amerika. Dixigraf kini mampu menghasilkan output 20-30 judul buku per bulan. Di dalam Dixigraf juga tengah digodok sistem monitoring pekerjaan, standar tarif, sistem penggagasan ide-ide penerbitan, dan juga konsep matriks outline serta brief for publisher. Sebuah pembuktian yang menunjukkan bahwa menulis memang bukan (sekadar) pekerjaan, tetapi bisnis.
Selamat datang di dunia writerpreneur. (Bersambung) :)
:catatan kreativitas
Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesia
(Dalam waktu dekat, Anda dapat mengakses situs saya www.bambang-trim.com dan menemukan berbagai artikel, feature, informasi, serta berbagai peluang sinergi pengembangan bisnis penulisan-penerbitan. Anda juga dapat mengakses situs www.dixigraf.com)
Selalu saja ada dorongan untuk menulis; dari awalnya sebuah hobi, lalu menjadi pekerjaan, dan seterusnya menjadi bisnis. Dalam sebuah training Professional Writing Skill, seorang peserta bertanya kepada saya, “Pak, apa bedanya menulis sebagai pekerjaan dan menulis sebagai bisnis?”
Saya jawab dan balik bertanya: “Menulis sebagai pekerjaan biasanya mengiringi profesi tertentu, seperti editor, staf humas, sekretaris, notulis, atau guru/dosen. Sekarang soal bisnis, saya tanya kepada Anda: berapakah tarif yang Anda tetapkan untuk satu lembar artikel atau feature?” Sang peserta tadi agak ragu-ragu menjawab hingga kemudian dia menyebutkan angka tertentu.
Seseorang saya anggap mulai masuk kuadran bisnis profesional ketika ia mampu menyebut berapa dirinya harus dibayar atau berapa harga pekerjaannya. Artinya, harga itu pun sesuai dengan kualitas dan kecepatan yang dia tawarkan, termasuk yang paling mahal adalah gagasan. Anda mungkin dapat menebak-nebak berapa kira-kira Telkom membayar penggantian tagline dari commited to you menjadi the world in your hand. Berapa kira-kira penggagas tagline ini dibayar?
Ini omong berisi soal writerpreneur, bukan omong kosong. Ada orang yang menjadi penulis karena terpaksa, misalnya karena pekerjaan mengharuskannya menulis–seperti sebagian besar mahasiswa kita yang terpaksa menulis skripsi demi kelulusan. Kedua, ada orang yang menjadi penulis karena kesenangan (hobi). Lalu, ada orang pula yang menjadi penulis karena harapan bahwa menulis dapat menjadi loncatan karier ataupun sebagai karier itu sendiri yang akan membawa dirinya sukses.
Semuanya berpotensi menjadi writerpreneur. Writerpreneur adalah penulis berjiwa entrepreneur yang memiliki gagasan terobosan dalam bidang menulis, berani mengambil risiko terukur dalam menulis (risiko terendah dalam menulis ya ditolak!), dan memiliki daya saing dengan kualitas tulisan di atas rata-rata, bahkan cenderung juga generalis (bisa menulis apa pun). Writerpreneur memang punya kecenderungan melakoni kuadran kanan dalam versi Robert T. Kiyosaki yaitu business owner dan investor.
Berapa Harga Tulisan Anda?
Penulis itu memang benar-benar profesi, bahkan profesi yang menurut Tung Desem meniscayakan passive income seperti royalti. Dan penulisan itu adalah pekerjaan yang kemudian dapat dibisniskan. Sekarang, sama dengan pertanyaan saya kepada salah seorang peserta pelatihan: “Jika Anda direkrut seseorang untuk menuliskan biografi dirinya atau menuliskan kisah sukses perusahaannya, berapa Anda harus dibayar?”
Pertanyaan ini lebih jauh berhubungan dengan self-esteem–sejauh apa Anda mengenal diri dan menghargai diri sendiri. Artinya, sejauh mana Anda mengenali keterampilan menulis Anda. Maka saya akan menyodorkan sekian ragam tulisan: journalistic writing, business writing, academic writing, entertainment writing, book writing, literature writing, dan technical writing. Dari tujuh ranah penulisan ini, berapa ranah yang Anda kuasai. Ambil contoh journalistic writing, kita akan temukan ada jenis tulisan: artikel, feature, essai, tajuk rencana, surat pembaca, berita, resensi, konsultasi, kolom, dan lain-lain. Pertanyaan lagi dari sekian jenis tulisan journalistic writing, berapa yang Anda kuasai?
Lalu, kembali lagi pada pertanyaan: Berapa harga yang Anda tetapkan untuk setiap jenis tulisan itu jika Anda diminta untuk membuatkannya? Ambil basis halaman, misalnya Rp25 ribu per halaman atau Rp250 ribu per halaman. Lalu, apakah Anda sudah dapat mengukur waktu untuk setiap jenis usaha penulisan, misalnya berapa jam sebuah teks pidato dapat dikerjakan atau berapa hari sebuah makalah dapat diselesaikan?
Saya tidak ingin terus bertanya…. Pada galibnya setelah melampaui pekerjaan, penulisan sekaligus penerbitan dapat di-entrepreneur-kan manakala seseorang sudah memiliki standar dalam bidang yang dikuasainya tersebut–standar produksi, standar marketing, dan standar keuangan. Mengutip premis Bapak Ciputra: Indonesia butuh paling tidak 4 juta lebih entrepreneur untuk mengejar pendapat David McClelland bahwa sebuah negara akan makmur jika di dalamnya terdapat paling tidak 2% entrepreneur.
Lalu, dapatkah bidang penulisan-penerbitan melahirkan entrepreneur? Hanya satu pernyataan saya yang mengiyakan pertanyaan tersebut: DI DUNIA INI ATAU DI INDONESIA INI, BIDANG MANA YANG DAPAT LEPAS DARI TULIS-MENULIS? Dapatkah penulisan dibisniskan? Jawabnya: dapat karena dari sekian orang yang harus bekerja dengan tulisan, sesungguhnya mereka memang tidak memiliki keahlian dalam menulis. Hitung saja berapa perusahaan negara ataupun perusahaan swasta yang memiliki majalah atau penerbitan internal di Indonesia. Berapa orang intelektual Indonesia yang memerlukan bantuan penulis untuk mengalirkan gagasan mereka dalam bentuk makalah atau presentasi? Berapa orang guru dan dosen yang butuh penulis pendamping untuk menaikkan pangkat mereka? Berapa pengusaha yang butuh penulis untuk menyusun company profile, proposal bisnis, ataupun annual report mereka? Berapa banyak orangtua yang butuh keterampilan penulis untuk bisa menuliskan buku tentang riwayat keluarga besar mereka ataupun menuliskan secarik surat nasihat untuk anaknya?
Maka terobosan entrepreneurship yang dapat dihimpun dalam bidang penulisan-penerbitan adalah
1. mendirikan publishing service (jasa penerbitan);
2. mendirikan self-publishing (penerbitan swakelola) untuk memproduksi buku-buku karya sendiri;
3. menjadi editor profesional sekaligus konsultan (self-employee) untuk membantu perseorangan ataupun perusahan/institusi;
4. menjadi freelance writer (penulis lepas) untuk membantu perseorangan ataupun perusahaan/institusi;
5. mendirikan penerbit skala kecil (small publisher) ataupun menengah (medium publisher) sebagai usaha rintisan untuk masuk dalam pasar buku Indonesia;
6. mendirikan agen naskah (literary agent) untuk mencari bakat-bakat penulis, lalu menawarkan kerja sama dengan para panerbit.
Itulah beberapa usaha yang dapat dilakukan oleh seorang writerpreneur di bidang penulisan-penerbitan dengan modal utama adalah gagasan. Industri ini sulit dimasuki sembarang orang karena memiliki karakter sebagai industri kreatif sehingga pekerjaan utamanya adalan produk kreasi serta inovasi.
Boleh jadi industri ini dimasuki hanya oleh seorang investor yang tergiur dengan bisnis penerbitan, tetapi tetap saja ia harus merekrut para profesional di bidang penerbitan. Karena itu, industri kreatif penulisan-penerbitan yang mulai marak ini tidak pernah sepi dari kasus bajak-membajak para pekerja kreatif (penulis-editor-layouter-desainer-ilustrator). Asumsinya jika industri kreatif penulisan-penerbitan ini dipimpin manajemennya oleh orang yang tidak memahami ruh penulisan-penerbitan, saya berani bertaruh bisnis tersebut tidak akan berumur panjang–di luar masalah permodalan ataupun lainnya.
Kompetensi Writerpreneur
Kompetensi seorang writerpreneur tidak cukup dengan hanya mampu menulis, ternyata. Menulis adalah modal utamanya berupa keahlian diri sendiri. Modal lain yang bersifat alat kerja yang saat ini tergolong murah adalah komputer PC atau laptop. Dan teknologi memudahkan ia untuk tidak lagi menggunakan kertas dalam pengiriman materi, tetapi cukup soft-copy. Kembali lagi bahwa kemampuan menulis saja tidak cukup untuk membuat seseorang menjadi writerpreneur.
Ruh entrepreneurship harus dimiliki: melek diri, melek kreativitas, melek teknologi, dan melek bisnis. Dalam melek diri, unsur soft-skills menjadi penting, seperti kepercayaan diri, persisten, berani mengambil risiko terukur, siap gagal, punya daya saing, integritas, dan profesional. Dalam melek kreativitas terindikasi kemauan untuk belajar, melakukan benchmarking dan brainstorming, bereksperimen, serta berpikir out of the box. Dalam melek teknologi jelas harus menguasai teknologi electronic publishing ataupun desktop publishing paling update. Dan dalam melek bisnis utamanya memahami business plan, marketing plan, serta financial plan.
Rumit? Ya tidak begitu kalau hal ini mulai dseriusi dengan pendidikan dan pelatihan. Bukannya saya sinis, tetapi training-training penulisan yang hanya 1-2 hari saja tidak cukup untuk menjadikan Anda seorang writerpreneur–ini adalah proses. Training hanya mungkin mendorong Anda menjadi penulis, bukan penulis pengusaha (writerpreneur) dengan segenap pemahaman komprehensif di bidang penulisan-penerbitan.
Kita sedang membicarakan terobosan dan mencari blue ocean dalam bidang penulisan-penerbitan. Dan hal ini memang tidak mungkin kita pecahkan dalam 1-2 hari, apalagi untuk Anda yang baru mulai belajar menulis. Inilah buah dari ungkapan Dan Poynter: writing is not a job; it’s a business.
Bagaimana menjabarkannya? Ya, orang seperti Dan Poynter meskipun baru menulis buku pada usia paruh baya, sudah benar-benar menjadikan menulis dan menerbitkan sebagai darah daging. Ia memanfaatkan dalam istilah Tung Desem beberapa faktor kali: menjadi ahli di bidangnya, menjadi konsultan, dan menjadi trainer sekaligus. Dan ia tidak hanya hidup dari passive income beberapa buku best sellernya, tetapi juga hidup lebih besar lagi dari setiap konsultasi dan setiap training menulis-menerbitkan yang dibawakannya. Reputasi dan portofolio karyanya terus bertambah tak terbendung, kecuali beliau pikun atau meninggal.
Pendidikan dan pelatihan menulis-menerbitkan pun akhirnya dapat menjadi tumpuan penghasil entrepreneur di bidang penulisan-penerbitan atau writerpreneur. Boleh jadi bidang industri kreatif ini dapat menyumbang 100.000 atau 500.000 orang writerpreneur di berbagai bidang apakah itu publishing service, self-publisher, small publisher, literary agent, editorial consoultant, trainer penulisan-penerbitan, ataupun ghost writer dan co-writer.
Saya berharap sumbangan dari bidang ini memang signifikan sehingga menempatkan Indonesia menjadi Pusat Penerbitan ASEAN dengan mampu menyediakan jasa dan produk penerbitan kelas dunia kelak. Kita tahu bahwa hanya ada tiga lembaga pendidikan formal setingkat pendidikan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan penerbitan di Indonesia ini, yaitu Program Studi Editing Unpad, Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Penerbitan, dan Politeknik Media Kreatif Jurusan Penerbitan. Semuanya baru setingkat D3 meskipun di beberapa negara sudah ada penyelenggaraan setingkat S3.
***
Tulisan ini mengantarkan upaya saya menyusun modul perkuliahan wirausaha penerbitan untuk Politeknik Media Kreatif (dulu Pusgrafin) di Jakarta sekaligus juga upaya mengembangkan sistem standar kompetensi pekerja penerbitan yang dirancang oleh dosen Polimedia, Bapak Zalzulifa dan diedit saya sendiri. Standar kompetensi ini dikembangkan atas supervisi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan dukungan Oxford Brookes University.
Selain itu, di institusi tempat saya berkiprah kini: Grafindo-Salamadani, saya pun sedang mengembangkan sistem editorial terpadu dan sistem penilaian kinerja editorial dan peningkatan kompetensi penerbitan para personel penerbitan. Konsep intrapreneurship pun dapat dikembangkan dan perlu dikembangkan dalam industri kreatif seperti penerbitan buku.
Sebagai buah praktik yang bukan teori (omong berisi), saya pun sudah mengembangkan publishing service bernama Dixigraf yang telah mengerjakan berbagai proyek penerbitan, baik dari perseorangan, institusi penerbitan, maupun institusi non-penerbitan. Dixigraf mampu memberikan lapangan pekerjaan baru bagi para penulis, editor, layouter, desainer, dan ilustrator serta memungkinkan untuk dikembangkan menjadi bisnis franchise writing-editing-publishingdi seluruh Indonesia. Untuk hal ini saya tengah menggodoknya.
Kami sendiri mengambil benchmark perusahaan jasa penerbitan populer X-Libris di Amerika. Dixigraf kini mampu menghasilkan output 20-30 judul buku per bulan. Di dalam Dixigraf juga tengah digodok sistem monitoring pekerjaan, standar tarif, sistem penggagasan ide-ide penerbitan, dan juga konsep matriks outline serta brief for publisher. Sebuah pembuktian yang menunjukkan bahwa menulis memang bukan (sekadar) pekerjaan, tetapi bisnis.
Selamat datang di dunia writerpreneur. (Bersambung) :)
:catatan kreativitas
Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesia
(Dalam waktu dekat, Anda dapat mengakses situs saya www.bambang-trim.com dan menemukan berbagai artikel, feature, informasi, serta berbagai peluang sinergi pengembangan bisnis penulisan-penerbitan. Anda juga dapat mengakses situs www.dixigraf.com)
No comments:
Write komentar