Tuesday, August 27, 2019

Berguru pada Setan?

• Berguru pada Setan? •

من كان شيخه كتابه ، فخطؤه أكثر من صوابه
"Siapa yang gurunya hanyalah kitab,
Maka dia lebih banyak salahnya daripada benarnya."

Maqolah ini disampaikan Syekh Abu Bakar Syatho ad-Dimyathi, dalam menjelaskan salah satu bait yang dimuat dalam Kifayatul Atqiya' wa Minhajul Ashfiya'.

Dalam maqolah lain, yang sering kita dengar, disebutkan dengan bahasa lebih keras:
"Siapa yang belajar tanpa berguru, maka gurunya adalah SETAN."

Dalil ini kerapkali digunakan sebagai pembenar; betapa pentingnya sanad. Betapa pentingnya berguru pada seorang guru yang JELAS kapasitas keilmuannya--dan jelas latar belakang guru-gurunya.


Sebaliknya,
Betapa bahayanya seseorang ketika mengkaji sendiri sebuah kitab (teks keagamaan), tanpa mendapatkan pembanding pemikiran dan pemahaman dari seorang guru/syaikh.

Kenapa berbahaya?
Karena ketika seseorang membaca teks keagamaan sendiri (tanpa pembanding guru), maka dia akan menemukan kesimpulan hanya berdasarkan interpretasi sendiri. Padahal, dirinya belum tentu menempati kategori layak melakukan interpretasi sendiri atas sebuah teks keagamaan.

Akibatnya, muncul oknum orang yang mencoba menginterpretasi sendiri ayat-ayat Alquran (lewat terjemahan, misalnya), yang kemudian amat longgar dalam urusan halal haram. Seperti misalnya dengan menghalalkan daging anjing.
Atau ada yang mencoba menggunakan doa Nabi saw dalam Perang Badar, kemudian diqiyaskan dalam sebuah kontes perebutan kekuasaan--macam pemilihan kepala desa atau ketua RT.

Itu akibat pembacaan sendiri atas teks-teks agama.
Tanpa pembanding pemahaman dari guru yang mumpuni.

Kalau dalam Kitab Kifayatul Atqiya', seorang murid ketika membaca sebuah kitab, dia malah diperintahkan untuk membandingkan dengan kitab-kitab lain yang sudah diakui kesahihannya. Lagi-lagi supaya tidak gagal paham. Supaya tidak mendapatkan kesimpulan yang salah, lalu dengan heroik memperjuangkan kesimpulan pribadi itu sebagai sebuah jihad fi sabilillah.

Saya ingat, dulu ketika ngaji Tasfir Jalalain, Almaghfurlah KH Baqir Adelan hampir selalu menempatkan kitab Tafsir As-Showi di meja beliau. Tafsir Showi merupakan syarah dari Tafsir Jalalain. Sesekali saya lihat beliau membuka-buka halaman di kitab Showi itu.

Hari itu, saya mencoba menyebut sebuah hadits kepada murid-murid kelas XII J MA TABAH.
ما أسفل من الكعبين ففي النار
"Anggota tubuh yang di bawah kedua mata kaki, maka masuk di neraka."

Saya minta mereke menginterpretasikan hadits tersebut sendiri, lewat terjemahan "bebas" begitu.

Muncul dua pemahaman dari mereka.

Pemahaman #1.
Bahwa kaki yang mereka siram saat wudhu, tapi tidak mencapai mata kaki, maka kakinya akan dihukum di neraka.

Pemahaman #2.
(sepertinya mereka sudah pernah mendengar hadits ini meski lamat-lamat).
Bahwa orang yang memakai baju, sarung, atau celana, melebihi mata kakinya, maka anggota tubuh yang di bawah mata kaki itu akan disiksa di neraka?

Lalu sebagai pembanding, saya tanya,
"Kalau memang yang disiksa hanya anggota tubuh di bawah mata kaki, bagaimana bentuk siksaannya?
Apakah tubuhnya menggantung?
Bagian atas tubuh (di atas mata kaki) berada di surga, sementara anggota di bawah mata kaki berada di neraka?

Mulailah kami semua berpikir.
Ya, setidaknya mulai memikirkan perbandingan pemahaman lain tentang hadits ini.

Lalu,
Saya coba sebutkan beberapa teks hadits yang berkaitan dalam masalah ini.
Dan, muncullah kesimpulan-kesimpulan baru selain 2 di atas.
Inilah yang disebut dengan pembanding pemikiran/pemahaman.

Drajat, 27 Agustus 2019
@mskholid
.
#NgajiKifayah

No comments:
Write komentar

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)