Tuesday, December 30, 2008

Ikan Manyung; Perpaduan Rasa Daging Ayam, Sapi, dan Kambing

Di sebelah timur pintu parkir masuk ke Makan Sunan Drajat (desa saya), terdapat sebuah warung. Warung itu menjual aneka masakan khas desa. Mulai dari ikan rajungan, ikan asin, aneka gimbal (jagung, udang, dll), tongkol, dan lain sebagainya. Sayurnya pun bermacam-macam. Yang menjadi menu andalan di warung itu adalah kepala ikan manyung (ada yang menyebutnya ikan tonang).

Bersama dua orang karib saya (Awuit & Sist), aku berangkat ke sana. Satu motor bertiga. Orang mengistilahkan mbandrek bagi orang yang baik motor bertiga. mBandrek seperti itu, sering diolok-olok dengan ndeso. Ah, saya tidak peduli. Persetan dengan omongan orang, yang penting motornya kuat saja. Jaraknya juga cukup dekat. Keadaan memang sedang memaksa seperti itu. Motor Cuma ada satu (milik Awuit). Aku tak bawa motor yang sedang dibawa bapak. Sedangkan motor Sist, ditinggal di Jogja. Dia pulang naik bis.

Sampai di warung yang dituju, Awuit langsung pesan seporsi kepala ikan manyung. Itu adalah pertama kalinya aku dengar nama ikan ini. Aku lihat pelayan meletakkan sepotong besar ikan yang memenuhi satu piring. Ikannya pasti gede banget, pikirku. Bagaimana tidak, separuh bagian kepalanya saja sudah memenuhi sepiring. Aku pun tak yakin akan bisa menghabiskannya sendirian. Akhirnya, aku pesan sepiring nasi saja dengan 2 potong gimbal jagung. Lauknya (ikan manyung) ikut gabung Awuit saja. Dia juga pasti takkan sanggup menghabiskannya sendirian. Sedangkan Sist yang tak suka dengan bau amis ikan, lebih memilih sayur dan ikan asin.

Saya mencicipi kuahnya dengan sendok. Gurih dan lezat. Lalu mulai mencuil potongan dagingnya. Lembut dan enak terasa di lidah. Dalam hati saya berpikir, kenapa sedari dulu baru sekarang saya mengetahui ada ikan selezat ini di daerah saya. Saya makin bersemangat memakan ikan tersebut dengan selingan sendokan nasi. Bahkan, nasi saya sudah ludes, separuh kepala ikan manyung itu masih tergeletak menggoda. Menyelipkan daging-daging di rongga-rongganya.

Saya bisa katakan; rasa daging ikan itu adalah perpaduan daging ayam, kambing, dan sapi. Kulit bagian luarnya—yang sebelumnya dipanggang—juga terasa seperti sedang memakan teklek (kaki) sapi. Ada serat-serat pada daging dalamnya. Tidak jauh beda dengan daging sapi. Rasanya gurih dan mendekati tiga jenis daging yang sering jadi makanan favorit banyak orang.

Berdasarkan penuturan Awuit, ikan itu memang terkenal sangat lezat. Hanya saja, jarang orang yang membeli atau mengolahnya secara personal. Baunya terlalu amis jika masih mentah. Selain itu, kulitnya juga licin, sehingga agak susah mengolahnya. Sebelum direbus dengan kuah dan bumbu-bumbu, ikan itu harus dipanggang terlebih dahulu, diberi jeruk nipis, dan sebagainya (Awuit kurang tahu detailnya). Itu katanya untuk menghilangkan bau amis. Saya sendiri tidak dapat membayangkan betapa amisnya kala ikan itu masih mentah. Lha setelah makan saja, bau itu masih menyisa di mulut dan tangan.

Awuit (ibunya punya warung pecel yang lezat) juga bercerita bahwa ibunya pernah mencoba berjualan menu kepala ikan manyung ini. Namun, hanya sanggup bertahan selama 10 hari, karena tidak tahan dengan bau amisnya. Katanya, sang ibu selalu merasa tubuhnya ikut bau amis terus-terusan. Padahal, secara penjualan, menu itu larisnya bukan main. Selama berjualan itu, selalu habis tak tersisa. Malah kerapkali orang menanyakan padahal sudah tidak tersisa.

Mesih menurut Awuit, ikan itu biasanya dijual di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) sepaket dengan dagingnya. Harga mentahnya mencapai Rp. 3000/kg. Para pembeli itu kemudian memotong kepalanya, menyisakan dagingnya yang kemudian dijual kembali dengan harga yang sangat jauh lebih murah; Rp. 700/kg. Daging itu diolah di pabrik. Entah dijadikan apa.

Foto Pre Wedding; Perlukah?

Pada malam pertama di rumah, datang seorang kawan sedesa. Ia membawa seruas bambu yang diplitur warna coklat. Di bagian luarnya terdapat kertas bertuliskan: kepada yth. Kholid di tempat. Di sebelah tulisan itu, terdapat tempelan kertas putih dengan tulisan: Menikah **** & *** (nama pengantin) 24 Desember 2008. Di salah satu ujung ruas bambu dipotong, sehingga tampak bolong. Di bagian itu, diikatkan sebuah tali yang menjulur ke dalam bambu. Saya menerima bambu itu. Itu adalah sebuah undangan pernikahan.

Setelah mengucapkan terima kasih dan berbasa-basi tentang kabar yang membawa surat undangan, saya membawa masuk rumah potongan bambu itu. Tali yang menjulur masuk ke dalam bambu saya tarik, di dalamnya terdapat kertas undangan warna coklat (nuansa zaman dahulu). Sepadan dengan bambu dan konsep undangannya. Ketika saya bolak-balik undangan itu, saya terkejut. Di dalam undangan terdapat foto-foto kedua calon mempelai. Istilah orang kotanya; Pre Wedding. Hal yang masih sangat tabu di kalangan desa. Dengan berlatarkan pedesaan dan berpakaian ala orang desa, keduanya tampak akrab dan bergembira.

Foto pertama; Calon pengantin pria membawa cangkul. Ia berjalan di belakang calon mempelai perempuan. Foto kedua; calon pengantin pria menaiki sepeda onthel, sedangkan calon perempuan membonceng di belakang. Foto ketiga; calon perempuan sedang membawa bungkusan (mungkin dianggap sebagai kiriman makanan), calon lelaki mengikuti di belakangnya. Sedang foto terakhir, terlihat keduanya duduk bersandingan akrab.

Sebenarnya, secara sosial saya bisa memahami ’kebiasaan’ yang mulai menjalar ke daerah sini, meskipun secara pribadi saya tidak menyetujui. Bapak yang melihatnya langsung berkomentar. Tidak boleh. Mereka kan belum akad. Belum halal. Aturan Islam harus tetap ditegakkan.

Ah, memikirkan hal seperti itu di zaman sekarang ini, sungguh sulit. Di balik yang ditampakkan itu, para pasangan muda itu biasanya melakukan hal yang lebih jauh. Hanya saja, itu kan menyangkut malu dan tidak malu menampakkan hal yang ’dilarang’ di tengah masyarakat.

Kenapa saya memberikan tanda petik pada kata dilarang di paragraf sebelumnya? Karena hal itu sebenarnya adalah sebuah larangan dalam agama, namun sudah dianggap biasa, bahkan suatu keharusan bagi sebagian anggota masyarakat. Jadi, bukan berarti saya juga ikut-ikutan menggeruskan larangan itu lewat kelakuan saya menyematkan tanpa petik.

Undangan itu juga beredar di kalangan guru sekolah dan pengasuh pondok almamater mereka. Kebetulan, yang perempuan adalah guru BK di madrasah. Sedangkan yang laki-laki adalah alumni sekolah tersebut. Saya dengar para guru ramai membahas foto pre-wedding tersebut. Hal yang sangat tabu di kalangan guru-guru, apalagi yang senior. Saya sudah memperkirakannya.

Besoknya, ada lagi undangan dari tetangga saya. Calon lelaki dan perempuan, kelasnya setingkat di bawah saya. Kulihat lagi-lagi ada foto calon pengantin berdua. Lebih berhak menimbulkan ’keramaian’ daripada undangan sebelumnya. Karena foto keduanya jelas sangat dekat. Mungkin bersentuhan. Sedang pada undangan pertama yang tidak bersentuhan saja sudah menimbulkan ’keramaian’. [KHO]

Mengagumkan; 7 Hari Penuh Kerja

Sahabat karib saya, menikah Agustus lalu. Istrinya teman kuliahnya dulu dan menetap di Jogja karena memperoleh beasiswa S2 di UIN Jogja. Sementara teman saya itu sendiri menetap di Lamongan. Pekerjaannya di kota kelahirannya itu sendiri. Di sekolahan. Senin sampai Jumat, sebagai kepala TU di sebuah sekolah favorit di Lamongan kota (bagian selatan). Sementara sabtu dan Ahad, dia mengajar komputer di MTs yang juga unggulan di Lamongan bagian utara. Tepatnya di pesisir laut.

Setiap Jumat sore dia berangkat naik sepeda motor menempuh perjalanan sekitar 20 km ke arah utara. Dan ahad sore atau senin pagi-pagi dia berangkat ke sekolah yang berbeda. Kerja yang senin sampai jumat, dimulai dari jam 7 pagi jam 4 sore. Sementara yang di MTs, sampai jam 2 siang. Tidak ada hari libur baginya.

Itu saja tidak cukup. Dia kerapkali menerima permintaan orang untuk membelikan seperangkat komputer, monitor, printer, atau asesoris lainnya. Dan itu harus dibelinya di Surabaya (dengan bersepeda motor) yang tentu saja jaraknya lebih jauh. Terkadang, kalo ada masalah pada barang yang dibelikan, dia terpaksa berangkat kembali ke Surabaya. Termasuk juga komputer yang bermasalah bukan karena barangnya, tapi karena virus misalnya. Dialah yang merasa bertanggung jawab untuk memperbaikinya.

Saya membayangkannya saja, sudah tak sanggup. Tapi, dia bisa.
Lha kapan ketemu istrinya? Padahal, mereka kan suami istri.
Ah...! Semoga Allah menyiapkan rencana yang lebih baik.

Kapal yang Menyeberangi Gunung

Sore itu, saya duduk termenung sendirian di pelataran musholla di desa Tunggul, Paciran (tetangga desa saya). Letaknya tepat di pinggir laut. Suara ombak-ombak kecil terdengar bergantian. Angin sepoi-sepoi menerpa muka saya. Langit cerah dengan semburat merah terlihat di ufuk barat. Ada beberapa perahu kecil di pinggiran pantai bergoyang-goyang terkena ombak. Sementara di daratannya yang berpasir, kulihat ada 3 perahu kecil terparkir tenang. Di salah satu perahu tampak ada kesibukan. Beberapa orang seperti sedang mengerjakan sesuatu. Entah apa.

Lama sekali saya termenung. Memandang hamparan laut. Melihat jejeran perahu-perahu kecil. Memperhatikan orang-orang yang sedang sibuk dengan perahunya. Sesekali memalingkan muka ke sebelah selatan musholla. Di sana ada lapangan sepak bola. Anak-anak remaja di desa tersebut sedang asyik bermain bola. Teriakan mereka sesekali terdengar.

Tiba-tiba kesibukan di salah satu perahu di bibir pantai semakin besar. Orang-orang yang tadinya di dalam perahu itu memanggil beberapa orang kawannya yang sedang berada di pantai. Beberapa orang yang bermain bola pun mulai berkumpul mengitari perahu. Mereka mengambil posisi melingkar. Mengelilingi perahu. Dua orang di antaranya menjejer batang kayu di depan perahu. Saya langsung paham. Mereka pasti akan menghanyutkan perahu itu ke laut.

Jarak perahu dengan air ada sekitar 8 meter. Cukup dekat sebenarnya. Apalagi tanah di bawahnya adalah pasir. Sejenak kemudian terdengar teriakan mereka. Arajot Holok...! Arajot Holok...! Arajot Holok..!. Itulah aba-aba yang biasa kami teriakkan bersama saat melakukan suatu hal yang berat secara bersama-sama. Arajot Holok...! Arajot Holok...! Arajot Holok..! Ternyata, proses penghanyutan itu tak semudah yang saya bayangkan. Perahu kecil dengan para pendorong cukup banyak, kupikir urusan perahu itu akan bisa cepat teratasi. Sekitar 20 menit mereka baru berhasil membawa perahu ke laut.

Saat itulah pikiran saya langsung terbawa pada zaman Muhammad Al Fatih. Panglima penakluk Konstantinopel, negeri adidaya zaman itu. Amerika-nyalah kalau sekarang. Betapa heroiknya ketika ia menginstruksikan pasukannya untuk menyeberangkan kapal-kapal perangnya melintasi gunung. Bayangkan! Kapal perang, seberapa besarnya?!
Ketika itu pasukan musuh bertahan di daerahnya. Mereka memasang rantai besi berukuran besar secara berderet di lautan untuk menghadang kapal-kapal pasukan muslimin. Sehingga tiap kali hendak menyerang, kapal pasukan muslimin terjebak di rantai tersebut, dan musuh pun dengan mudah menghancurkannya. Satu-satunya jalan untuk bisa menembus pertahan musuh adalah dengan menyeberangi gunung yang ada di sebelah lautan. Daerah sana tidak dijaga oleh musuh. Musuh menganggapnya sebagai daerah aman. Apalagi gunungnya ditumbuhi pepohonan besar.

Maka, malam itu juga seluruh pasukan bahu membahu menebangi pepohonan di gunung. Babat alas. Mereka membuat jalan baru di atas gunung untuk menyeberangkan kapal-kapal mereka. Dalam bayangan saya, mereka pasti bekerja tanpa teriak-teriakan semangat. Agar tidak terdengar oleh musuh. Batang-batang pohon yang telah dipotong pun diletakkan di atas jalan yang baru mereka buat. Di bagian atasnya, mereka beri semacam pelumas. Itu akan menjadi roda bagi kapal-kapal mereka (ingat kapal! Bukan perahu).

Menjelang subuh, puluhan kapal perang—yang tentu saja bermuatan persenjataan perang—pun bisa diseberangkan ke daerah pertahanan musuh. Dan pagi-pagi, pasukan muslimin pun menyerang. Pasukan musuh yang tidak pernah mengira hanya terpana tak bergerak. Masih belum percaya dengan apa yang mereka lihat. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Begitulah kira-kira gumam mereka. Menggeleng-gelengkan kepala. Lagi-lagi masih belum percaya.

Akhirnya, dengan kondisi musuh yang belum siap ditambah ketidakpercayaan atas apa yang mereka lihat, musuh pun bisa dikalahkan. Meski tentu saja dengan peperangan yang tidak mudah. Itulah sejarah emas Muhammad Al Fatih. Yang membuatnya mendapatkan julukan ’Al Fatih’. [KHO]

Dia Ngajar Elektro

Mendengar ini, teman-teman sekelas waktu di MAK dulu pasti akan tertawa. Bahkan orang-orang yang mengenalnya juga akan tertawa.

Teman sekelas saya waktu di Madrasah Aliyah Keagamaan (ingat Keagamaan) ini sekarang mengajar bidang studi Teknik Elektro di sebuah SMK di desa tetangga. Padahal, sekolahnya agama. Kuliahnya juga ngambil tarbiyah. Pendidikan Agama Islam lagi. Dulu, di pondok juga rajin mengaji kitab kuning. Cukup pandai maknani kitab gundul. Lha sekarang, lulus dari pondok ngajarnya Elektro! Hehehe....

Sungguh, kita memang tidak pernah tahu masa depan kita. Termasuk dengan ilmu kita. Kita punya beberapa ilmu. Namun, kita tidak pernah tahu ilmu yang mana yang dibutuhkan masyarakat! Seringnya seperti itu. Dan salah satu kasusnya, ya teman saya ini.

Semenjak kecil, dia memang senang otak-atik barang-barang elektro. Baik di Aliyah ataupun di pondok, tiap kali ada perlengkapan pengeras suara atau sound yang rusak, dialah yang selalu tampil memperbaikinya. Waktu itu saja, dia sudah jago membenahi radio yang sama sekali tidak berbunyi. Sering pula dia diajak oleh Gus Rul (waktu itu Kiai Baqir masih ada) untuk memperbaiki listrik, kabel, atau penerangan yang tidak bermasalah. Bisa dibilang dialah asisten Gus Rul waktu di pondok kala itu.

Saya bertemu dengannya tak sengaja di kantin pondok. Seperti biasa, senyumnya selalu lebar menyambut. Menampakkan gigi-giginya yang putih besar, kontras dengan warna kulitnya. Kami berjabatan erat. Dan seperti biasa, dengan lagaknya yang suka membanggakan diri, dia langsung bercerita banyak—termasuk tentang profesi barunya tersebut. Dia masih tetap ramah seperti dulu, meski santri-santri sepondok menjuluki ”jin-nya pondok” karena dia terkenal tidak kompromi dengan anak yang melanggar. Dulu, dia adalah ketua Bidang Keamanan pondok. [KHO]

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)