Thursday, January 24, 2008

Bulan Burnama

Dulu, ketika masih di pondok, pada waktu bulan purnama, saya biasa naik ke atap asrama bersama 2 orang karib saya. Kami ngobrol apa saja; tentang suasana kelas, persahabatan kita, situasi sekolah, pondok, OSIS, teman-teman di asrama, juga teman-teman perempuan yang seringkali melihat hanya sekelebat (ruang kelas laki-perempuan kami dipisah dengan gerbang keluar-masuk juga disendirikan). Hingga dini hari, barulah kami kembali ke kamar.

Setelah lulus sekolah, kami bertiga dipisahkan Allah dengan jarak yang berjauhan. Saya di Jakarta, teman saya yang satu di Jogja dan satunya di Surabaya. Ketika liburan, dan ada waktu senggang kami biasa mengulangi lagi kebiasaan padhang bulanan di rumah salah seorang teman.

Pindah ke Jakarta dan kuliah di LIPIA, saya menemukan tempat yang lebih nyaman untuk bersua rembulan. Ya, tetap di atap asrama. Asrama LIPIA lebih tinggi dan lebih luas. Selain itu juga ada bonus menikmati suasana malam dan kerlipan lampu-lampu Jakarta dari gedung-gedung yang menjulang. Namun tentu saja ada yang kurang karena tidak ada teman berbincang. Terkadang saja, saya berjumpa dengan teman yang kebetulan mempunyai 'hobi' yang sama. Atau mendapati beberapa ikhwah yang sedang murajaah hafalan Quran-nya.

Setelah tidak lagi tinggal di asrama (ngekos), saya kerepotan menemukan atap rumah orang yang boleh dinaiki. Kebiasaan itu pun perlahan mulai jarang kulakukan. Hingga tadi malam, saya menemukan tempat yang cukup asyik. Yakni di atap rumah salah seorang kakak kelas saya (tinggal di Jakarta) yang lebih dulu kaya dan mapan...

Bercerita tentang kebiasaan melihat bulan, saya jadi teringat pada tokoh Ray yang diceritakan Tere Liye dalam novelnya, "Rembulan Tenggelam di Wajah-Mu".

No comments:
Write komentar

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)