Termasuk pula ketika seseorang ingin menapak jalan menuju kesuksesan sebagai seorang penulis buku, maka tak pelak ia terlebih dahulu harus membangun tradisi membaca yang kuat dalam hidupnya. Tanpa ini, maka hampir dipastikan jalan untuk menjadi penulis buku yang sukses akan sia-sia.
Logikanya sederhana, menulis buku tentu berhubungan dengan banyak hal yang berbasis pada ilmu, informasi, dan pengetahuan. Dan kesemua hal itu hanya bisa diperoleh dari hasil kerja membaca, baik membaca dalam arti tekstual seperti membaca buku, atau pun membaca dalam arti kontekstual seperti membaca alam atau peristiwa kehidupan.
1. Teori Kendi
Ada sebuah teori sederhana yang bisa menjadi bahan untuk menjelaskan pentingnya “membaca” (sebagai proses menyerap ilmu dan informasi) sebagai kunci bagi seseorang yang ingin menjadi penulis buku. Teori itu adalah “teori kendi”.
Pernah Anda melihat kendi ? Benda yang sederhana dan terbuat dari tanah liat yang dibakar itu ternyata menyimpan sebuah teori yang sangat penting, khususnya mengenai menulis buku.
Sebuah kendi, ada kalanya diisi air. Namun, kadang juga airnya ditumpahkan untuk diminum. Kendi itu akan tumpah airnya seandainya dimasuki air terus-menerus. Lalu apa hubungannya antara kendi dengan menulis buku?
Menulis buku pun tidak jauh berbeda dengan kendi. Diibaratkan kendi itu adalah tubuh manusia. Seseorang yang jenius sekalipun tidak akan bisa menulis buku kalau tak pernah memberi “air” dalam “kendinya”. Air itu adalah ilmu, pengetahuan, data, informasi, pengalaman, pengamatan, dan lain-lain. Tentu kita tidak akan bisa menulis buku tentang “pendidikan seks Islami”, misalnya, apabila kita tak pernah menyerap ilmu, pengetahuan, informasi, tentang hal itu.
Serupa dengan teori kendi adalah “teori ember” yang dikemukakan oleh YB. Mangunwijaya. Dalam wawancara dengan majalah sastra Horison (XXI/365-367) YB. Mangunwijaya mengatakan yang intinya adalah, bahwa penulis itu ibarat ember yang penuh berisi air. Jika ember ini diisi air lagi, pasti ada air yang akan luber. Penulis diandaikan penuh (secara relatif) oleh pengetahuan, apa pun itu. Kalau ia “diisi” (dalam arti membaca) pasti lama-lama akan ada “luber”, maksudnya dibagikan kepada khalayak ramai melalui karya tulisan.
2. Penulis (Buku) yang Baik adalah Pembaca (Buku) yang Baik Pula
Untuk itu, tradisi membaca memang merupakan tradisi yang tak bisa ditawar-tawar lagi bagi seorang calon penulis buku. Seorang penulis (buku) yang baik tentu adalah juga seorang pembaca (buku) yang baik pula. Karena seorang penulis buku haruslah seorang yang kaya wawasan. Menulis buku berarti memberi informasi atau wawasan kepada masyarakat. Sehingga seorang penulis buku haruslah “lebih pandai” dari pembacanya.
Dengan tradisi membaca pula, banyak pengetahuan yang akan didapat dan wawasan pun akan kian luas membentang. Pengetahuan yang banyak dan wawasan yang luas adalah “bahan baku utama” yang siap “dimasak” menjadi aneka buku yang akan dinikmati masyarakat. Dengan banyak membaca pula seorang penulis akan selalu produktif menghasilkan karya dan tidak akan kehabisan ide.
by Badiatul Muchlisin Asti
Logikanya sederhana, menulis buku tentu berhubungan dengan banyak hal yang berbasis pada ilmu, informasi, dan pengetahuan. Dan kesemua hal itu hanya bisa diperoleh dari hasil kerja membaca, baik membaca dalam arti tekstual seperti membaca buku, atau pun membaca dalam arti kontekstual seperti membaca alam atau peristiwa kehidupan.
1. Teori Kendi
Ada sebuah teori sederhana yang bisa menjadi bahan untuk menjelaskan pentingnya “membaca” (sebagai proses menyerap ilmu dan informasi) sebagai kunci bagi seseorang yang ingin menjadi penulis buku. Teori itu adalah “teori kendi”.
Pernah Anda melihat kendi ? Benda yang sederhana dan terbuat dari tanah liat yang dibakar itu ternyata menyimpan sebuah teori yang sangat penting, khususnya mengenai menulis buku.
Sebuah kendi, ada kalanya diisi air. Namun, kadang juga airnya ditumpahkan untuk diminum. Kendi itu akan tumpah airnya seandainya dimasuki air terus-menerus. Lalu apa hubungannya antara kendi dengan menulis buku?
Menulis buku pun tidak jauh berbeda dengan kendi. Diibaratkan kendi itu adalah tubuh manusia. Seseorang yang jenius sekalipun tidak akan bisa menulis buku kalau tak pernah memberi “air” dalam “kendinya”. Air itu adalah ilmu, pengetahuan, data, informasi, pengalaman, pengamatan, dan lain-lain. Tentu kita tidak akan bisa menulis buku tentang “pendidikan seks Islami”, misalnya, apabila kita tak pernah menyerap ilmu, pengetahuan, informasi, tentang hal itu.
Serupa dengan teori kendi adalah “teori ember” yang dikemukakan oleh YB. Mangunwijaya. Dalam wawancara dengan majalah sastra Horison (XXI/365-367) YB. Mangunwijaya mengatakan yang intinya adalah, bahwa penulis itu ibarat ember yang penuh berisi air. Jika ember ini diisi air lagi, pasti ada air yang akan luber. Penulis diandaikan penuh (secara relatif) oleh pengetahuan, apa pun itu. Kalau ia “diisi” (dalam arti membaca) pasti lama-lama akan ada “luber”, maksudnya dibagikan kepada khalayak ramai melalui karya tulisan.
2. Penulis (Buku) yang Baik adalah Pembaca (Buku) yang Baik Pula
Untuk itu, tradisi membaca memang merupakan tradisi yang tak bisa ditawar-tawar lagi bagi seorang calon penulis buku. Seorang penulis (buku) yang baik tentu adalah juga seorang pembaca (buku) yang baik pula. Karena seorang penulis buku haruslah seorang yang kaya wawasan. Menulis buku berarti memberi informasi atau wawasan kepada masyarakat. Sehingga seorang penulis buku haruslah “lebih pandai” dari pembacanya.
Dengan tradisi membaca pula, banyak pengetahuan yang akan didapat dan wawasan pun akan kian luas membentang. Pengetahuan yang banyak dan wawasan yang luas adalah “bahan baku utama” yang siap “dimasak” menjadi aneka buku yang akan dinikmati masyarakat. Dengan banyak membaca pula seorang penulis akan selalu produktif menghasilkan karya dan tidak akan kehabisan ide.
by Badiatul Muchlisin Asti
No comments:
Write komentar