Saya mendengar banyak keluhan guru. Banyak situasi di sekolah yang memaksa
guru berkeluh kesah. Mulai gaji yang rendah, potongan insentif sertifikasi,
potongan insentif guru, potongan jam mengajar, hingga soal kebijakan manajemen yang
sering berbeda dengan idealisme. Tiap sekolah punya karakter masalah yang berbeda—bergantung
pada karakter pemimpinnya.
Pendidikan seharusnya menyenangkan. Baik untuk murid-muridnya, maupun untuk
guru-gurunya. Pergi ke sekolah bukan lagi sebuah “ancaman”, tapi aktivitas yang
paling dinanti. Kita merindukan murid-murid yang selalu semangat berangkat sekolah
setiap pagi. Kita menantikan guru-guru yang mengayuh sepedanya (sepertinya tak
ada lagi guru bersepeda) dengan antusias. Yang berdiri di depan kelas dengan
senyum mengembang.
BIRMINGHAM, KOMPAS.COM — Malala Yousafzai, gadis sekolah Pakistan yang ditembak tepat di kepalanya oleh militan Taliban karena mengampanyekan hak perempuan atas pendidikan, mengatakan, buku merupakan ”senjata untuk mengalahkan terorisme”. Dia mengemukakan hal itu, Selasa (3/9/2013), saat membuka sebuah perpustakaan baru di kota yang kini mengadopsinya di Inggris.
Gadis 16 tahun itu memberikan pidato sebelum meluncurkan sebuah plakat stainless steel untuk menandai pembukaan perpustakaan umum terbesar di Eropa, Library of Birmingham.
Yousafzai, yang diterbangkan ke kota di Inggris tengah itu guna menjalani operasi pada Oktober lalu setelah menjadi sasaran seorang pria bersenjata ketika dia berangkat ke sekolah di Pakistan, mengatakan, dia menantang dirinya sendiri, yaitu ”bahwa saya akan membaca ribuan buku dan saya akan membekali diri dengan pengetahuan. Pena dan buku adalah senjata yang mengalahkan terorisme”.
Barusan istri saya "laporan", di rumah dia mengadakan lomba-lomba
khas Agustusan. Khusus untuk santri-santri TPQ yang kami rintis sekitar
dua minggu yang lalu. Hari ini lomba kepruk kendil. Kemarin, katanya,
lari kelerang. Besok masih ada jadwal lomba-lomba yang lain lagi. Mereka
tampak senang dan menikmati momen-momen istimewa tersebut.
Ini mengingatkan saat saya masih tinggal di kampung. Saya—bersama
adik-adik—suka mengadakan lomba-lomba Agustusan sendiri. Pesertanya,
anak-anak tetagga. Ada lomba makan kerupuk, kepruk kendil, lari dan
kelereng. Hadiahnya sederhana saja. Cukup dengan permen dan makanan
ringan yang kami beli di warung sebelah rumah. Anak-anak tetangga selalu
berkumpul ramai di halaman belakang rumah kakek.