Siapa Anda Wahai Kiai?
Belakangan, pertanyaan ini menjadi trending topic medsos gara2 rekaman seorang ngustadz di youtube yang mempertanyakan status sang kiai.
Lebih spesifiknya, mempertanyakan keabsahan dalil santri mencium kiainya atau gurunya.
Jawaban soal keabsahan itu, dalilnya sudah diungkap dengna sedemikian bagus oleh saudara se almamater Hanif Luthfi lewat catatan facebooknya.
Dimana adat menghormati guru/kiai/orang shalih, itu sudah dilakukan oleh para ulama salaf dan tabiin.
Saya di sini tergerak untuk menulis tema ini, sebenarnya, karena membaca status2 saudaraku Masyhari yang terus2an mendorong siapa pun untuk menulis apapun.
Saya hendak mengungkap sisi yang berbeda tentang bagaimana kami memberikan gelar kiai, ustadz, guru, atau sekadar mengangkat seseorang menjadi imam shalat kami.
Bukan perkara yang mudah.
Di lingkungan kami, para pencium tangan kiai, tidak serta merta seseorang yang baru wisuda sarjana S1 Agama Islam akan diangkat menjadi imam shalat kami.
Tak serta merta seorang lulusan kampus ternama luar negeri (Saudi Arabia) sekalipun, akan langsung ditunjuk menjadi khatib di masjid kami.
Tak langsung pula, lulusan S2 jurusan agama di kampus jakarta, bisa langsung menjadi pengisi pengajian rutin di masjid kami.
Tidak semudah itu.
Bagi kami, ada seleksi alam yang harus dilewati.
Kalau bahasa guru kami, Kiai Ahsin Sakho Muhammad, setiap lulusan sarjana atau santri harus siap menabur lebih dulu. Tak boleh langsung berharap memanen.
Artinya, ketika kembali ke masyarakat, ia harus membuktikan diri di tengah masyarakat lewat istiqomahnya shalat berjamaah di masjid.
Ia harus rajin berperan dalam tiap kegiatan keagamaan di kampung atau masjid.
Harus rela menjadi panitia bagian riwa-riwi dan usung2 barang. Dan, itu tak cukup 2 - 3 bulan. Bisa berbulan2 utk buktikan. Bahkan tahunan.
Apakah cukup?
Tidak.
Kerapkali masyarakat akan melihat dulu siapa bapak kita, siapa kakek kita, dan apa peran yang beliau2 lakukan untuk masyarakatnya.
Bila kita anak orang biasa, bisa jadi malah lebih lama lagi perjuangan kita untuk menjadi seorang guru yang mengisi sebuah kajian dan pengajian.
Apalagi mendapatkan gelar kiai...!!!???
Jadi, gelar kiai adalah sebuah perjuangan panjang kehidupan seseorang di masyarakat.
Gelar ini tak bisa dibeli, atau diperoleh lewat serangkaian ujian tulis atau semacam skripsi dan tesis.
Pesantren Kranji, 24 Oktober 2015
MS Khaled
No comments:
Write komentar