• Ngajar TPQ •
Dulu, saat awal pulang kampung dari Jakarta, saya tak punya "kerjaan". Yang bisa saya lakukan saat itu (di depan mata), ya ngajarin baca Quran keponakan, sepupu, adik ipar, dan tetangga.
Saat itu status saya lulusan S2 kampus swasta ternama di Jakarta Pascasarjana Iiq Jakarta. Ngajar TPQ ya saya anggap biasa saja. Tidak merasa beban, atau merasa anjlok "derajat".
Biasa saja.
Yaaaa... karena guru ngaji waktu kecil saya juga begitu. Beliau hafidz, lulusan pesantren tahfidz terkenal di Kudus. Ngajarnya ya kami-kami anak kecil usia MI. ا ب ت ث ج ح ح
Tanpa bayaran, tanpa SPP, tanpa pernah berpikir mendirikan TPQ secara resmi.
Pokoknya ngajar saja. Teladan guru saya itulah yang membekas di hati saya.
Ngajar ngaji (sekelas) TPQ ya biasa saja. Yang penting tetap bisa (mengajarkan ilmu) bermanfaat untuk sesama.
Saya baru sadar bahwa itu aneh; ketika ke Jakarta.
Setelah sekitar 2 tahun mengajar TPQ di kampung, saya ke Jakarta. Silaturrahim ke mantan bos perusahaan saya. Beliau bertanya.
"Kamu di kampung sibuk ngapain, Lid?"
"Ngajar TPQ, Pak Haji," jawab saya sambil senyum.
"Ah, masak sih. Kamu lulusan S2 kok ngajar TPQ?" tanya beliau lagi, seakan gak percaya.
"Nggeh, wonten é niku, kok," saya menjawab ringan. 😁
"Nggak, ndosen?"
"Mboten..."
Beliau terkekeh, sambil tersenyum simpul.
Beliau lantas meninggalkan saya, karena ada jadwal rapat dengan direksi kantor.
Usai sholat, saya pamitan ke Mbak sekretaris perusahaan. Mau pulang. Eh, kata mbak sekretaris disuruh nunggu dulu sebentar.
Lha, kok saya disangoni amplop.
"Kata Bapak; ini buat beli tiket," ujar Mbak Sekretaris.
"Makasih, mbak..." jawab saya.
Ketika di luar kantor, saya buka amplopnya.
Isinya di luar dugaan.
Cukup buat tiket pesawat PP Jakarta - Surabaya. Masih sisa pula. 😍
Drajat, 11 Juli 2024
@Shorih Kholid
~ masih sebagai pengajar ngaji Quran santri PP Cahaya Quran Babat.