Friday, October 17, 2025

Kiai Kok Nerima Amplop? ‼️

 • Kiai Kok Nerima Amplop? ‼️

Dalam sebuah rekaman ngaji Mbah Moen Zubeir (Sarang) beliau bercerita bahwa beliau menyiapkan beberapa laci untuk menyimpan uang. 

#1

Ada laci khusus untuk menyimpan uang hasil panen sawah. Uang dari laci inilah yang beliau gunakan untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga. Mulai makan, sekolah, mondok, hingga kuliah, atau kebutuhan pribadi lainnya. 

Uang di laci ini tidak boleh tercampur dengan uang yang bersumber dari hal lainnya. 

#2

Laci khusus menyimpan uang hasil kantin keluarga yang ada di pondok. Biasanya digunakan untuk memberi beasiswa, nyangoni santri ndalem, atau sewaktu-waktu digunakan membantu kebutuhan pondok dan santri. 

#3

Ada pula laci khusus untuk menyimpan amplop pemberian tamu, wali santri, atau alumni.

Laci ini tidak sekalipun diambil untuk kebutuhan pribadi kiai maupun keluarganya. Bahkan, memberi beasiswa santri ndalem pun tidak diambilkan dari laci amplop ini.

Biasanya uang dari laci ini digunakan untuk membantu beli kebutuhan material pondok; semen, batu, pasir, besi, dan kebutuhan lainnya di pondok. 

Terkadang, digunakan pula untuk ngasih amplop ke wali santri yang datang dengan keluhan tertentu atau membantu alumni lainnya. 

Begitulah, cara kiai mengatur amplop pemberian orang lain.

Thursday, October 16, 2025

Kiai Kok Sarungnya BHS? ‼️

 • Kiai Kok Sarungnya BHS? ‼️

Sarung merk BHS adalah simbol kemewahan untuk kalangan bersarung. Harganya memang rata-rata jutaan. Tapi, itu dulu--zaman sebelum negara api menyerang. 

Hari ini sudah tidak lagi. 

Sejak negara api runtuh, BHS mengubah strategi bisnisnya. Dia mulai bikin produk sarung bermerk BHS dengan harga-harga terjangkau. Ada yang kisaran 300 ribu, 500 ribu, dan 700 ribu. Yang jutaan masih tetap ada. Diversifikasi pasar.

Tentu saja kualitasnya berbeda jauh dengan yang di atas 1 juta. Bahkan, bisa dibilang BHS yang harganya 500 ribuan itu kualitasnya di bawah Sarung merk lainnya dengan harga lebih rendah. Tapi, dia kan jual merk, jual gengsi. Apalagi desain sarungnya disesuaikan untuk mendukung gengsi itu.

Misalnya, dengan memasang merk tulisan BHS di bagian depan Sarung. Tujuannya, supaya merk sarung itu langsung kelihatan (terbaca jelas) dari depan tulisan BHS-nya. Saat bertemu orang, maupun saat berpoto bersama. 😅

Kiai Bisa Pakai BHS?

Sependek pengamatan saya, yang biasanya pakai sarung merk BHS mahal itu santri (alumni pesantren) yang sudah sukses jadi pengusaha. Dia kaya, punya duit banyak. Jadinya, beli sarung juga yang nyaman dan awet dipakai. 

Sebagai santri,

Biasanya merasa berhutang budi pada gurunya, pada kiainya. Karena sudah dididik, ditempa bertahun-tahun sehingga menjadi sosok tangguh seperti sekarang. Dia merasa harus sedikit membalas budi gurunya (kiainya). 

"Mosok aku sarungan BHS, kiai-ku cuma sarungan W*****r. Kan gak layak," begitu biasanya yang ada di pikiran santri sukses itu.

Maka, belilah dia sarung BHS sejenis yang dia pakai. Yang harganya mahal-mahal itu. Atau bahkan, dibelikannya yang lebih baik dan mahal. Sebab, dia merasa kesuksesannya hari ini tidak lepas dari jasa didikan dan doa dari gurunya/kiainya.

Dari situlah, timbul rasa bangga dan bahagia bagi santri--sekadar sedikit mampu memberikan kenangan untuk gurunya (kiainya). 

Kalau disuruh milih, pakai uang pribadi, antara;

• Beli BHS yang harganya jutaan, atau 

• Beli sarung ratusan ribu dengan kenyamanan yang sama, 

Saya kira semua kiai akan memilih yang kedua. Karena seorang kiai sudah selesai dengan dirinya; tidak butuh penghormatan, tidak gila gengsi dan pengakuan dari orang lain. Sarung apapun yang dipakai, sama sekali tidak mengurangi derajatnya.

Kranji, 16 Oktober 2025

@mskholid

Wednesday, October 15, 2025

Kiai Kok Naiknya Mobil?

 Kiai Kok Naiknya Mobil?

Suatu ketika, saya tanya ke senior kepala sekolah swasta di Lamongan. (Maklum, kami sekolah baru).

"Pak Ji, kalau ada pengawas datang ke sekolah, apa kita ngasih amplop?"

"Yo pantes-é gitu lah..." jawab beliau. 

"Berapa kisarannya, Pak Haji?" tanya saya.

"Lihat-lihat. Kalau bawa mobil, ya sekitar xxx.... ribulah. Tapi, kalau bawa motor, ya Jenengan sesuaikan," jawab beliau. 😊

=== 

Begitu pula sudut pandang kita--saat mengundang pengajian kiai dan menimbang nominal isi amplop. Karena, hampir tidak ditemukan kiai yang memasang tarif amplop berapa.

Parameter kita, sebagai pengundang adalah jarak domisili beliau dan kendaraan yang digunakan. Jika mobilnya biasa, mungkin amplopnya juga standard. Jika mobilnya Alphard, Velvire, atau Pajero, mungkin standard amplopnya juga lebih tinggi. Karena pengundang menyesuaikan kebutuhan bensin yang diperlukan. 

Sebaliknya,

Jika penceramah berkendara motor saja, atau bahkan naik ojek, bisa-bisa standard isinya juga merosot. Amplop yang sebelumnya sudah dikretek lemnya, akan disobek lagi dan dikurangi nominal isinya. 😅


Begitulah kita. 

Kiai Kaya & Kiai Melarat

 Kiai Kaya & Kiai Melarat ‼️


Jadi kiai melarat, dirasani wong.


"Kiai kok melarat? Berarti gak dekat sama Allah." 

Mestinya, kalau kiai sungguhan, kan dekat sama Allah. Tinggal minta Allah dijadikan kaya. Dijadikan punya banyak harta. Biar bisa bangun pondok tanpa sumbangan masyarakat. Biar bisa menggratiskan santri yang mondok.


》Begitu kira-kira pandangan orang lain.


Jadi kiai kaya juga dirasani orang.

Katanya kiai kok hidupnya mewah. Gak bisa dijadikan teladan masyarakat. Mestinya, kiai itu zuhud, hidupnya sederhana. Harusnya pakaiannya juga seadanya. Kendaraannya juga biasa aja. Bila perlu gak usah punya mobil. Gak boleh pegang HP. Kalaupun pegang HP, cukup yang jadul saja. Gak usah ada aplikasi macam-macam. 


》Begitu pula kira-kira pandangan sebagian yang lain.


Padahal,

Kiai juga manusia. Nabi juga manusia. 

Macam-macam kehidupannya. 

Kekayaan yang dimiliki bukan tanda Keistimewaan di sisi Allah 

Kelimpahan harta beliau, bukan tanda beliau lebih dekat kepada Allah.


Sebaliknya,

Hidup melarat pun bukan tanda bahwa beliau jauh dari Allah.

Keterbatasan harta juga bukan tanda beliau tidak disayang Allah.


Sebab, Nabi saw bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَجْسَادِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.

(رواه مسلم)

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan tidak pula kepada tubuh kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian dan amal perbuatan kalian.”

(HR. Muslim)

Tuesday, October 14, 2025

Penyakit Santri Habis Sambangan

 • "Penyakit" Santri Habis Sambangan 


1. Nyimpen Makanan di Lemari 


Kiriman ortunya banyak. Disimpan mulu di lemarinya. Sampai berhari-hari. Karena dia punya misi mau menghabiskan sendiri. Eh, ndilalah, ada makanan basah--yang tak kuat tahan lama. Jadilah, makanan itu basi. Tak bisa dimakan. Mubazir dong, jadinya. 


Solusinya: ada yang dibagi, ada yang disimpan.

Khusus makanan basah, lansgung dihabiskan bersama-sama. 


2. Pelit dan Tidak Mau Berbagi 


Merasa itu jajannya sendiri. Punya hak dia. Jadi, kalau gak berbagi ya, terserah dia. Betul sih. Gak masalah. Itu hak dia. Tapi, penyakit ini bisa menumbuhkan benih-benih rasa iri di kalangan temannya. Apalagi, temannya yang tak disambang. Tak punya stok jajan. Uang sakunya habis pula. 


Muncullah, labelisasi kalau santri A medit. Pelit. 


3. Makan di Kamar 


Bolak-balik, harus diingatkan soal ini. Karena, memang enak sekali makan di kamar itu. Tinggal keluarin jajan dari lemari, buka bungkusnya langsung makan bareng.


Tapi, itu adalah pelanggaran lingkungan.

Bikin kamar bau, kotor, dan mengundang semut.

Bikin gak nyaman untuk dijadikan tidur.


Biasanya,

Lalu banyak yang mengungsi tidur di kamar lain.

Ketika ditanya alasannya; jawabnya kamarnya kotor.

Lah, itu hasil usaha mereka sendiri.

Thursday, October 2, 2025

Jangan Salah Pilih Jenis Satuan Pendidikan


• Jangan Salah Pilih Jenis Satuan Pendidikan •

Ada beberapa lembaga, memfokuskan pada tahfidz Quran santri. Bahkan, materi keseharian juga isinya tahfidz. Namun, ketika bikin lembaga formalnya; ambil SMP atau MTs. Atau SMA dan MA. Padahal, kurikulumnya jauh dari standard SMP, MTs, SMA, atau MA. Lebih banyak diisi dengan tahfidz Quran. 

Ada juga yang fokusnya baca kitab, tapi bikin lembaganya SMP. Sementara mata pelajaran kurikulum standard SMP tidak terpenuhi. 

Mestinya, pilihan terbaik dan pas untuk mendukung program tahfidz ialah ambil SPM Muallimin atau SPM Salafiyah. 

Kenapa Begitu?


1. Kurikulum

Secara kurikulum, pasti tidak bertentangan dengan standar mutu yang ditetapkan pemerintah--lewat Kemenag. Sebab, materi-materi keislaman mendominasi dalam kurikulumnya. Termasuk tahfidz yang menjadi fokus utama (baca: diferensiasi, atau hidden curriculum-nya). 

Materi umum, diwajibkan hanya IPA, Matematika, PKn, Bahasa Indonesia, dan Seni Budaya. Itu pun, jumlah JPL-nya tidak sebanyak MTs atau SMP. 

2. Fokus 

Jika fokusnya tahfidz Quran, maka santri akan mendapatkan tambahan mapel lain yang mendukung upaya memahami dan mengaplikasikan Alquran dalam kehidupan sehari-hari. 

Contoh, Bahasa Arab; sebagai bahasa Alquran akan berperan penting memahami Alquran.

Nahwu-Shorof, pun demikian. Akan urgen dikuasai karena sudah kadung menjadi hafidz-hafidzah. Biar klop. Hafal sekaligus paham dengan benar.

3. Tetap Dapat Mapel Umum 

SPM Salafiyah dan SPM Muallimin, tetap wajib memberikan mapel umum tertentu pada santrinya. Tentu saja dengan porsi yang lebih sedikit daripada jenjang pendidikan formal lainnya. Istilahnya, memberikan bekal dasar urusan duniawi-nya. 

4. Tetap Dapat BOSP

Karena SPM ini sudah resmi masuk Sisdiknas, maka santri yang terdaftar resmi juga dapat BOSP lewat satuan pendidikannya. Dan, tidak bisa terdaftar dobel di lebih dari satuan pendidikan. Misalnya, NISN yang sama, tidak akan bisa ditarik masuk EMIS MTs dan SPM sekaligus. Harus milih salah satu. Karena ada kaitannya dengan penerimaan dana BOSP. 

Mudahnya begini,

• Jika pengen dapat kurikulum yang lebih banyak materi umumnya: SMP - SMA 

• Jika ingin kurikulum yang seimbang antara umum dan agama : MTs - MA 

• Jika ingin standard kurikulum yang lebih banyam agama (tafaqquh fiddin) : SPM 

Jadi,

Buat para pengelola pesantren yang mau bikin lembaga baru, sesuaikan dengan diferensiasi Anda. Tidak harus ngotot ingin mendirikan SMP, MTs, SMA, atau SMA. Padahal, visi misinya lebih dekat pada SPM (Satuan Pendidikan Muadalah). 

Drajat, 2 Oktober 2025

@mskholid 

Asesor Penjaminan Mutu Eksternal Jenjang Dikdasmen 

Majelis Masyayikh Kemenag RI.

SatuanPendidikan Muadalah


Sejak sekolah dulu, saya sering dengar beberapa pesantren modern yang namanya menggema. Bahasa arabnya jago, penguasaan kitab-kitab kontemporer juga mumpuni. Tiap kali ada seleksi masuk Al-Azhar Mesir, Sudan, atau Madinah, pondok-pondok tersebut jadi langganan. 

Bahkan, terkadang seleksinya digelar di pondok tersebut. 

Nah, apa sistem pendidikan formal yang ada di pesantren tersebut? 

Ternyata, mereka menggunakan pendidikan Muadalah Muallimin atau Pendidikan Diniyah Formal. Model ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu, tapi baru diresmikan masuk UU Sisdiknas tahun 2019.

Dengan adanya UU Nomor 18 tentang Pondok Pesantren itulah, model-model pendidikan di pesantren jadi DIAKUI dan dianggap FORMAL. Ijazahnya tidak perlu lagi melakukan penyetaraan. Atau mengikuti paket A, B, C. Ijazah yang dikeluarkan pendidikan formal khas pesantren bisa digunakan melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.

Model-model pendidikan formal itu antara lain:

• Satuan Pendidikan Muadalah Muallimin 

• Satuan Pendidikan Muadalah Salafiyah

• Pendidikan Diniyah Formal 


Dengan model pendidikan seperti di atas, pesantren lebih leluasa mengatur kurikulum yang lebih fokus pada penguasaan literatur keislaman, bahasa, maupun pembentukan karakter santri. Tidak lagi terkendala ijazah "tidak laku" atau "tidak setara" dengan jenjang lainnya semisal MTs, SMP, MA, dan SMA.

Santri yang terdaftar di EMIS lewat pendidikan formal di atas, juga akan mendapatkan BOS lewat satuan pendidikannya. Asatidz/tenaga pendidik pun begitu, akan ada mekanisme PPG dan mendapatkan sertifikasi. 

Beberapa pondok yang menggunakan model seperti ini adalah: Gontor, Al-Amien Prenduan, Darunnajah, Karangasem (Paciran). 

Jadi, buat pesantren yang ingin lebih fokus tafaqquh fiddin bagi santri-santrinya pilihan terbaik model pendidikan formalnya, ya yang seperti ini. 


Babat, 2 Oktober 2025

@mskholid


Asesor Penjaminan Mutu Eksternal Dikdasmen 

Majelis Masyayikh Kemenag RI


📷 menerima bingkisan dari anggota Majelis Masyayikh; KH Abdul A'la Basyir (Madura)

Sunday, August 3, 2025

Kopi Buat Guru Ngaji

Kopi Buat Guru Ngaji

Subuh belum tiba ketika saya melipir ke Jatirogo. Jalanan masih sepi, embun belum sempat menguap. Saya mampir di sebuah masjid di pinggir jalan—sunyi, teduh, sederhana. Di situlah saya menemukan pemandangan yang membuat hati bergetar pelan.

Di emperan masjid itu, seorang bapak setengah baya duduk bersila. Di hadapannya, satu per satu anak kecil datang mengaji. Tidak dengan mushaf, tidak pula dengan buku. Mereka duduk bersahaja, membaca atau menghafal surah-surah pendek dari Juz Amma. Sang guru menuntun perlahan, sepenggal demi sepenggal ayat.

Saya hanya memperhatikan dari kejauhan. Tidak ada formalitas. Tidak ada pengeras suara. Tidak ada plang “TPQ Modern” atau “Madrasah Digital”. Hanya ada seorang guru dan anak-anak desa yang datang silih berganti membawa semangat mengaji.

Dan saya terdiam…

Masya Allah, masih ada yang seperti ini di zaman sekarang. Di tengah modernisasi pembelajaran Al-Qur’an—dengan metode cepat, aplikasi digital, kelas eksklusif ber-AC—ternyata masih ada guru ngaji yang bertahan dengan cara lama: mengajar dengan sabar, tanpa pamrih, di pojok masjid yang sederhana.

Namun, di balik kekaguman itu, saya juga merenung. Ada dua hal yang perlu kita pikirkan bersama.

Pertama, soal efektivitas.

Cara mengajar seperti ini, meski tampak tulus dan menyentuh, bisa jadi kurang maksimal dalam hal hasil. Tanpa metode yang jelas, tanpa mushaf sebagai pegangan, dan tanpa bimbingan tajwid yang sistematis, hafalan anak-anak rawan keliru. Mungkin, guru tersebut terpaksa mengajar seperti itu karena keterbatasan—bisa jadi belum pernah mendapat pelatihan, atau hanya mengikuti tradisi yang diwariskan sejak dulu.

Kedua, soal keikhlasan yang sering disalahpahami.

Guru seperti ini mungkin sudah puluhan tahun mengabdi. Tapi apakah beliau diberi bisyaroh yang pantas? Apakah tiap pagi beliau bisa sarapan dengan layak? Atau sekadar ngopi dan makan pisang goreng setelah mengajar?

Sayangnya, banyak lembaga yang merasa cukup dengan satu kata: ikhlas.

Asal guru rajin datang dan ngajar, sudah dianggap cukup. Tak perlu pelatihan. Tak perlu dukungan. Apalagi insentif tambahan. Padahal, keikhlasan itu bukan alasan untuk menutup mata terhadap kebutuhan manusiawi para guru ngaji.

Yang lebih miris, kadang guru seperti ini bahkan tak berani masuk warung kopi karena tak membawa cukup uang untuk sekadar membeli kopi dan rokok eceran. Padahal, mereka mengajarkan firman Tuhan setiap hari. Ironi, bukan?

---

Tulisan ini bukan keluhan, tapi ajakan untuk peduli.

Kalau kita mencintai Al-Qur’an, maka cintailah juga orang-orang yang mengajarkannya. Kalau kita ingin anak-anak kita pandai mengaji, maka berikanlah perhatian pada guru-guru mereka—baik secara ilmu, maupun secara kehidupan.

Minimal, mari kita mulai dari hal kecil: pastikan guru ngaji kita bisa ngopi dengan tenang setiap pagi.

Semoga secangkir kopi yang kita niatkan untuk guru ngaji, menjadi jembatan keberkahan yang mengalir tak henti.

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)