Inilah pemenang penghargaan sastra KLA (Khatulistiwa Literary Award) 2011: Lampuki, karya Arafat Nur (penerbit: Serambi). Dewan juri KLA menganggap ini karya sastra berbahasa Indonesia terbaik yang terbit setahun belakangan. Sebelumnya dewan juri lomba novel DKJ menobatkannya sebagai pemenang unggulan karena tidak ada naskah yang memenuhi syarat sebagai pemenang pertama.
Lampuki bercerita tentang Aceh di era Daerah Operasi Militer. (Sekadar info buat agan-agan yang masih ABG dan barangkali ga tahu: sebelum jadi provinsi dengan syariat Islam seperti sekarang, Aceh pernah jadi wilayah operasi militer. Tentara dikirim untuk menumpas apa yang dianggap pemberontak Gerakan Aceh Merdeka, menyebabkan banyak pelanggaran hak asasi manusia. Ini terjadi di zaman Presiden Suharto. Baru di masa Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Aceh diberikan status yang seperti sekarang.) Jadi, buku ini pantas dibaca untuk yang ingin mengenal persoalan manusia dan negeri ini.
Ada dua tokoh utama dalam novel ini: si pencerita dan yang diceritakan. Si pencerita tidak punya perubahan plot, yang diceritakanlah yang berjalan bersama plot cerita. Si pencerita adalah seorang Teungku yang pada malam hari menjadi guru ngaji dan siang hari mencari uang sebagai tukang bangunan. Sedangkan, yang diceritakan adalah seorang pemberontak yang gagah dan berkumis tebal bernama Ahmadi.
Soal si pencerita: Yang paling menarik adalah sudut pandang sang Teungku pembawa kisah itu. Sebagai guru ngaji ia punya standar moral yang tinggi. Bawaannya adalah mengecam semua orang. Ia mengecam tentara Jawa, ia juga mengecam para pemberontak, yang baginya membikin rakyat jelata jadi semakin sengsara. Tapi ia juga mengecam warga kampungnya sebagai pesong (serong, bengkok). Pokoknya, ga ada yang bener lah orang-orang di mata dia.
Bahkan, novel ini diantar dengan kutipan protes malaikat: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu manusia yang bakal membuat kerusakan dan menumpahkan darah sesamanya...?" (Albaqarah: 30). Si pencerita pun melihat semua orang berkelakuan miring. Murid ngajinya yang bebal meninggalkan pelajaran dan ikut jadi pemberontak. Muridnya yang rupawan berselingkuh dengan dua istri pemberontak. Salah satu pemberontak suka bermasturbasi. Yang lain selalu saja sedang buang air ketika ada suasana darurat.
Tak ada idealisasi manusia di sini. Semua manusia adalah lucu sekaligus menyedihkan. Si guru ngaji sendiri juga tak lepas dari kekonyolan dan kelemahan. Karakter sang pencerita ini digarap cermat sehingga kita tak perlu diberitahu, tetapi kita bisa melihat sendiri kecemburuan di balik pandangannya terhadap orang lain. Ini adalah sebuah satire sesungguhnya.
Soal yang diceritakan: Tokoh utama yang dikisahkan adalah Ahmadi, seorang pemberontak gagah yang dapat dikenali lewat kumis ekstra tebalnya. Ia datang untuk "merebut" murid-murid pengajian yang apolitis menjadi pasukannya. Di titik ini saja, ia sudah bertentangan kepentingan dengan sang Teungku.
Sebagai pemberontak, Ahmadi tidak diceritakan sebagai heroik. Sebaliknya, perjuangannya penuh kekonyolan dan impiannya kosong. Pada akhirnya ia dan sisa-sisa laskarnya muncul kembali sebagai pejuang yang letih dan kalah.
Bagaimana membaca novel ini?Seorang pemakan sastra tidak akan kesulitan membaca novel ini. Tapi, pembaca umum bisa mendekatinya dengan suatu cara. Pembaca awam biasanya mencari momen-momen dramatis, haru-biru, action, kisah cinta, pengorbanan, yang tidak menjadi perhatian novel ini. Sebaliknya, si pencerita bersikap sangat dingin sehingga segala peristiwa jadi "kering". Tapi di situlah kelebihannya. Pengarangnya sukses menghadirkan seorang tokoh yang, seperti banyak orang yang menjadi tua, menjelma skeptis dan sinis. Karakter yang skeptis dan sinis ini mendongengkan gosip-gosip di kampung itu. Kita bisa membayangkan Lampuki adalah judul sebuah serial televisi. Setiap babnya adalah episode. Masing-masing episode harus dinikmati sebagai cerita tentang manusia yang berdiri sendiri, sekalipun memiliki kaitan dengan episode lain. Kita pun akan menemukan serial tentang sebuah kampung. Sebuah serial yang berani mengakui kekurangan-kekurangan serta kemunafikan manusia.
Novel ini merupakan catatan yang berharga untuk melihat Aceh yang kini telah menjadi provinsi dengan hukum syariah.
*Tulisan di atas dicopy dari postingan Ayu Utami di forum Serapium Kaskus.
Ada postingan lain:
Inilah novel menyentuh dan mencerahkan berlatar Aceh pada masa penuh gejolak setelah kejatuhan Soeharto. Lampuki adalah sebuah satir cerdas tentang gebalau konflik antara tentara pemerintah dan kaum gerilyawan yang pada ujungnya menyengsarakan orang-orang kecil tak berdosa.
Di pusat cerita adalah seorang lelaki kampungan berkumis tebal bernama Ahmadi. Dialah mantan berandal yang kemudian tampil menjadi pemimpin laskar gerilyawan yang berlindung di desa Lampuki. Si kumis yang banyak lagak ini menghasut para penduduk untuk mengangkat senjata melawan tentara yang datang dari pulau seberang. Namun, walau dia selalu lolos dari kejaran orang-orang berseragam, para penduduk desalah yang kena batunya. Orang-orang tak berdaya itu kerap menjadi sasaran kemarahan tentara.
Kisah kian menarik dengan bumbu cinta terlarang antara Halimah, istri Ahmadi yang bertugas mengutip pajak perjuangan ke rumah-rumah penduduk, dan Jibral si Rupawan, pemuda tanggung penakut yang menjadi pujaan hati gadis-gadis sekampung.
Novel ini ditulis penuh perasaan dan dengan rasa humor yang cerdas. Tak tampak penggambaran hitam-putih sehingga pesan melesap ke dalam cerita dengan bahasa yang lincah walaupun kental terasa pemihakan terhadap si lemah.
Komentar Pembaca:
"Strategi pengarang untuk mengambil jarak emosional dengan masalah politik dan sosial penting yang diungkapkannya berhasil menyadarkan kita bahwa protes atau komentar sosial dan politik tidak harus disampaikan dengan bahasa kepalan tangan. Pengarang telah memanfaatkan penghayatan dan pengetahuannya tentang masalah itu untuk menyusun sebuah kisah yang mampu menumbuhkan simpati terhadap tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya."
—Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru besar sastra UI, juri Sayembara Menulis Novel DKJ 2010
"Di dalam Lampuki, Arafat bergerak, membawa kita pada sehimpun kisah yang mengejutkan, penuh satir, dan hanya mungkin lahir oleh kekacauan politik ... Dia telah mengganggu apa yang paling tidak diinginkan otoritas moral di mana pun: khayalan untuk melindungi sifat buruk manusia!"
—Azhari Aiyub, penulis Aceh, penerima anugerah internasional Free Word Award 2005
"Lampuki adalah novel satir yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa. Ia membikin kita penasaran sampai khatam."
—Abidah el Khalieqy, novelis, penulis cerita film Perempuan Berkalung Sorban, tinggal di Yogyakarta
"Sebuah novel yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai."
—Helvy Tiana Rosa, sastrawan, motivator menulis, dan dosen Universitas Negeri Jakarta
"Lagi-lagi Aceh membikin kejutan! Sebelumnya soal perang, lalu tsunami, dan kali ini Lampuki. Kisahnya amat menyentak dan sangat berani."
—Gol A Gong, penulis, Ketua Forum Taman Baca Masyarakat Indonesia, dan pendiri komunitas Rumah Dunia, Serang
"Arafat Nur sangat cerdas merebut realitas sosial yang beranak duri dalam daging dari peristiwa Aceh. Dia intip, dengar, lihat, dan rasakan kecamuk berpuluh tahun yang mengeram di bumi Aceh, diolah melalui kemampuan berpikir, melahirkan pengalaman jiwa, maka jadilah realitas sastra bernama Lampuki. Novel ini mengungkit kegetiran kondisi sosial Aceh dengan cara bergelak tawa yang sesungguhnya pahit mengiris jiwa. Memang, sesungguhnya kekuasaan sangat dekat dengan kejahatan. Lampuki sangat luar biasa. Bravo, Arafat!"
—Sulaiman Juned, penyair, kolumnis, dramawan, sutradara teater, pendiri Komunitas Seni Kuflet, dan dosen teater Institut Seni Indonesia Padangpanjang
"Meskipun Arafat menceritakan tokoh-tokoh pesong dari kampung Lampuki, sesungguhnya dia sedang membahasakan perangai anak manusia yang bisa kita temukan di belahan bumi mana pun dan pada zaman kapan pun ... Dalam Lampuki kita menemukan kisah universal yang ditulis begitu sederhana, lugas, dan mudah dipahami setiap orang. Penulisnya saya yakin suatu hari nanti akan mendunia."
—D. Kemalawati, sastrawan dan guru, tinggal di Banda Aceh
“Sejarah lebih sering mencatat hal-hal besar, sastrawan perlu mengambil peran mencatat hal-hal yang tidak ditangkap oleh mata formal sejarah. Arafat telah berusaha mencatat fragmen-fragmen kecil dari sebuah ritus sejarah di Aceh.”
—Dianing Widya Yudhistira, novelis, tinggal di Jakarta
“Saya yakin Lampuki menjadi novel paling menonjol tahun ini dan bakal bertahan lama sebab ceritanya mirip gaya penulis dunia. Benar-benar novel yang cerdas, sanggup memukau dari awal sampai akhir.”
—Fikar W. Eda, penyair dan wartawan, tinggal di Jakarta
“Lampuki memiliki keteraturan diksi dan kehati-hatian pemilihan kalimat. Ada kesadaran pascakolonial dalam bernarasi yang tidak tunduk pada bahasa pop pasaran. Ceritanya kadangkala kelu dan muram, tetapi memang begitulah warna dalam kehidupan nyata ...”
—Teuku Kemal Fasya, esais, dosen antropologi Universitas Malikussaleh, Banda Aceh
"Lampuki disajikan dengan cara berbeda dari kebanyakan karya sastra di Indonesia. Penceritaannya sangat kuat dengan bahasa yang membumi. Arafat piawai mengambil jarak dengan semua tokoh dan peristiwa, tetapi kisahnya sangat dekat dengan kita semua."
—Ayi Jufridar, jurnalis dan novelis
Lampuki bercerita tentang Aceh di era Daerah Operasi Militer. (Sekadar info buat agan-agan yang masih ABG dan barangkali ga tahu: sebelum jadi provinsi dengan syariat Islam seperti sekarang, Aceh pernah jadi wilayah operasi militer. Tentara dikirim untuk menumpas apa yang dianggap pemberontak Gerakan Aceh Merdeka, menyebabkan banyak pelanggaran hak asasi manusia. Ini terjadi di zaman Presiden Suharto. Baru di masa Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Aceh diberikan status yang seperti sekarang.) Jadi, buku ini pantas dibaca untuk yang ingin mengenal persoalan manusia dan negeri ini.
Ada dua tokoh utama dalam novel ini: si pencerita dan yang diceritakan. Si pencerita tidak punya perubahan plot, yang diceritakanlah yang berjalan bersama plot cerita. Si pencerita adalah seorang Teungku yang pada malam hari menjadi guru ngaji dan siang hari mencari uang sebagai tukang bangunan. Sedangkan, yang diceritakan adalah seorang pemberontak yang gagah dan berkumis tebal bernama Ahmadi.
Soal si pencerita: Yang paling menarik adalah sudut pandang sang Teungku pembawa kisah itu. Sebagai guru ngaji ia punya standar moral yang tinggi. Bawaannya adalah mengecam semua orang. Ia mengecam tentara Jawa, ia juga mengecam para pemberontak, yang baginya membikin rakyat jelata jadi semakin sengsara. Tapi ia juga mengecam warga kampungnya sebagai pesong (serong, bengkok). Pokoknya, ga ada yang bener lah orang-orang di mata dia.
Bahkan, novel ini diantar dengan kutipan protes malaikat: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu manusia yang bakal membuat kerusakan dan menumpahkan darah sesamanya...?" (Albaqarah: 30). Si pencerita pun melihat semua orang berkelakuan miring. Murid ngajinya yang bebal meninggalkan pelajaran dan ikut jadi pemberontak. Muridnya yang rupawan berselingkuh dengan dua istri pemberontak. Salah satu pemberontak suka bermasturbasi. Yang lain selalu saja sedang buang air ketika ada suasana darurat.
Tak ada idealisasi manusia di sini. Semua manusia adalah lucu sekaligus menyedihkan. Si guru ngaji sendiri juga tak lepas dari kekonyolan dan kelemahan. Karakter sang pencerita ini digarap cermat sehingga kita tak perlu diberitahu, tetapi kita bisa melihat sendiri kecemburuan di balik pandangannya terhadap orang lain. Ini adalah sebuah satire sesungguhnya.
Soal yang diceritakan: Tokoh utama yang dikisahkan adalah Ahmadi, seorang pemberontak gagah yang dapat dikenali lewat kumis ekstra tebalnya. Ia datang untuk "merebut" murid-murid pengajian yang apolitis menjadi pasukannya. Di titik ini saja, ia sudah bertentangan kepentingan dengan sang Teungku.
Sebagai pemberontak, Ahmadi tidak diceritakan sebagai heroik. Sebaliknya, perjuangannya penuh kekonyolan dan impiannya kosong. Pada akhirnya ia dan sisa-sisa laskarnya muncul kembali sebagai pejuang yang letih dan kalah.
Bagaimana membaca novel ini?Seorang pemakan sastra tidak akan kesulitan membaca novel ini. Tapi, pembaca umum bisa mendekatinya dengan suatu cara. Pembaca awam biasanya mencari momen-momen dramatis, haru-biru, action, kisah cinta, pengorbanan, yang tidak menjadi perhatian novel ini. Sebaliknya, si pencerita bersikap sangat dingin sehingga segala peristiwa jadi "kering". Tapi di situlah kelebihannya. Pengarangnya sukses menghadirkan seorang tokoh yang, seperti banyak orang yang menjadi tua, menjelma skeptis dan sinis. Karakter yang skeptis dan sinis ini mendongengkan gosip-gosip di kampung itu. Kita bisa membayangkan Lampuki adalah judul sebuah serial televisi. Setiap babnya adalah episode. Masing-masing episode harus dinikmati sebagai cerita tentang manusia yang berdiri sendiri, sekalipun memiliki kaitan dengan episode lain. Kita pun akan menemukan serial tentang sebuah kampung. Sebuah serial yang berani mengakui kekurangan-kekurangan serta kemunafikan manusia.
Novel ini merupakan catatan yang berharga untuk melihat Aceh yang kini telah menjadi provinsi dengan hukum syariah.
*Tulisan di atas dicopy dari postingan Ayu Utami di forum Serapium Kaskus.
Ada postingan lain:
Inilah novel menyentuh dan mencerahkan berlatar Aceh pada masa penuh gejolak setelah kejatuhan Soeharto. Lampuki adalah sebuah satir cerdas tentang gebalau konflik antara tentara pemerintah dan kaum gerilyawan yang pada ujungnya menyengsarakan orang-orang kecil tak berdosa.
Di pusat cerita adalah seorang lelaki kampungan berkumis tebal bernama Ahmadi. Dialah mantan berandal yang kemudian tampil menjadi pemimpin laskar gerilyawan yang berlindung di desa Lampuki. Si kumis yang banyak lagak ini menghasut para penduduk untuk mengangkat senjata melawan tentara yang datang dari pulau seberang. Namun, walau dia selalu lolos dari kejaran orang-orang berseragam, para penduduk desalah yang kena batunya. Orang-orang tak berdaya itu kerap menjadi sasaran kemarahan tentara.
Kisah kian menarik dengan bumbu cinta terlarang antara Halimah, istri Ahmadi yang bertugas mengutip pajak perjuangan ke rumah-rumah penduduk, dan Jibral si Rupawan, pemuda tanggung penakut yang menjadi pujaan hati gadis-gadis sekampung.
Novel ini ditulis penuh perasaan dan dengan rasa humor yang cerdas. Tak tampak penggambaran hitam-putih sehingga pesan melesap ke dalam cerita dengan bahasa yang lincah walaupun kental terasa pemihakan terhadap si lemah.
Komentar Pembaca:
"Strategi pengarang untuk mengambil jarak emosional dengan masalah politik dan sosial penting yang diungkapkannya berhasil menyadarkan kita bahwa protes atau komentar sosial dan politik tidak harus disampaikan dengan bahasa kepalan tangan. Pengarang telah memanfaatkan penghayatan dan pengetahuannya tentang masalah itu untuk menyusun sebuah kisah yang mampu menumbuhkan simpati terhadap tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya."
—Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru besar sastra UI, juri Sayembara Menulis Novel DKJ 2010
"Di dalam Lampuki, Arafat bergerak, membawa kita pada sehimpun kisah yang mengejutkan, penuh satir, dan hanya mungkin lahir oleh kekacauan politik ... Dia telah mengganggu apa yang paling tidak diinginkan otoritas moral di mana pun: khayalan untuk melindungi sifat buruk manusia!"
—Azhari Aiyub, penulis Aceh, penerima anugerah internasional Free Word Award 2005
"Lampuki adalah novel satir yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa. Ia membikin kita penasaran sampai khatam."
—Abidah el Khalieqy, novelis, penulis cerita film Perempuan Berkalung Sorban, tinggal di Yogyakarta
"Sebuah novel yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai."
—Helvy Tiana Rosa, sastrawan, motivator menulis, dan dosen Universitas Negeri Jakarta
"Lagi-lagi Aceh membikin kejutan! Sebelumnya soal perang, lalu tsunami, dan kali ini Lampuki. Kisahnya amat menyentak dan sangat berani."
—Gol A Gong, penulis, Ketua Forum Taman Baca Masyarakat Indonesia, dan pendiri komunitas Rumah Dunia, Serang
"Arafat Nur sangat cerdas merebut realitas sosial yang beranak duri dalam daging dari peristiwa Aceh. Dia intip, dengar, lihat, dan rasakan kecamuk berpuluh tahun yang mengeram di bumi Aceh, diolah melalui kemampuan berpikir, melahirkan pengalaman jiwa, maka jadilah realitas sastra bernama Lampuki. Novel ini mengungkit kegetiran kondisi sosial Aceh dengan cara bergelak tawa yang sesungguhnya pahit mengiris jiwa. Memang, sesungguhnya kekuasaan sangat dekat dengan kejahatan. Lampuki sangat luar biasa. Bravo, Arafat!"
—Sulaiman Juned, penyair, kolumnis, dramawan, sutradara teater, pendiri Komunitas Seni Kuflet, dan dosen teater Institut Seni Indonesia Padangpanjang
"Meskipun Arafat menceritakan tokoh-tokoh pesong dari kampung Lampuki, sesungguhnya dia sedang membahasakan perangai anak manusia yang bisa kita temukan di belahan bumi mana pun dan pada zaman kapan pun ... Dalam Lampuki kita menemukan kisah universal yang ditulis begitu sederhana, lugas, dan mudah dipahami setiap orang. Penulisnya saya yakin suatu hari nanti akan mendunia."
—D. Kemalawati, sastrawan dan guru, tinggal di Banda Aceh
“Sejarah lebih sering mencatat hal-hal besar, sastrawan perlu mengambil peran mencatat hal-hal yang tidak ditangkap oleh mata formal sejarah. Arafat telah berusaha mencatat fragmen-fragmen kecil dari sebuah ritus sejarah di Aceh.”
—Dianing Widya Yudhistira, novelis, tinggal di Jakarta
“Saya yakin Lampuki menjadi novel paling menonjol tahun ini dan bakal bertahan lama sebab ceritanya mirip gaya penulis dunia. Benar-benar novel yang cerdas, sanggup memukau dari awal sampai akhir.”
—Fikar W. Eda, penyair dan wartawan, tinggal di Jakarta
“Lampuki memiliki keteraturan diksi dan kehati-hatian pemilihan kalimat. Ada kesadaran pascakolonial dalam bernarasi yang tidak tunduk pada bahasa pop pasaran. Ceritanya kadangkala kelu dan muram, tetapi memang begitulah warna dalam kehidupan nyata ...”
—Teuku Kemal Fasya, esais, dosen antropologi Universitas Malikussaleh, Banda Aceh
"Lampuki disajikan dengan cara berbeda dari kebanyakan karya sastra di Indonesia. Penceritaannya sangat kuat dengan bahasa yang membumi. Arafat piawai mengambil jarak dengan semua tokoh dan peristiwa, tetapi kisahnya sangat dekat dengan kita semua."
—Ayi Jufridar, jurnalis dan novelis
No comments:
Write komentar