• Beda Sudut Pandang •
Beberapa waktu lalu, lewat channel Youtube Mata Najwa saya menyimak diskusi dengan judul "Laga Usai Pilpres". Menampilkan dua orang perwakilan dari tiap kubu.
Salah satu hal yang dibahas ialah menyikapi viralnya sikap salah satu tokoh populer di Indonesia saat ini. Dia sedang gebrak-gebrak meja.
Kubu A menyebut, orang tersebut marah-marah. Emosional.
Sementara kubu B menyebut si A tidak mengenal dengan baik karakter tokoh tersebut.
"Lha, kalau kita dengar kabar seseorang sedang gebrak-gebrak meja, apa tidak bisa kita sebut marah-marah?" argumen Si A.
"Berarti Anda tidak mengenal beliau. Itu memang gaya dan karakter beliau yang seperti itu. Tidak berarti sedang marah. Beliau sedang berekspresi."
"Kalau berekspresi, kenapa pula pakai gebrak-gebrak meja?"
"Ya, itu marahnya ke meja."
"Kasihan sekali meja. Gak ikut ngapa-ngapain kena marah."
Begitu kira-kira perdebatan ramai antar dua kubu. Saya tidak ingat persis dialognya, karena saya dengarkan sambil menyetir mobil.
Saya jadi teringat dengan Kitab Tafsir Rawai'ul Bayan, karya Syekh Ali as-Shabuny. Ulama ahli tafsir asal al-Balad al-Amìn.
Bagi sebagian kalangan, karya Syaikh As-Shabuny adalah salah satu rujukan tafsir kontemporer yang berkelas. Keilmuan beliau diakui banyak kalangan ulama dunia.
Tapi, bagi kalangan lain, karya beliau malah difatwakan membawa kesesatan. Sehingga ada fatwa lanjutan; haram membeli kitab karya beliau. Bahkan bersedekah dengan bentuk kitab beliau pun dinilai batil. Karena sama saja menebarkan kebatilan (kesesatan).
Contoh lain, Sang Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, bagi kalangan NU, beliau adalah segala-galanya. Kitabnya, Ihya' Ulumuddin, seakan menjadi bacaan wajib santri NU. Bahkan, kiai yang belum khatam Ihya', bisa disebut belum matang kekiaiannya. Ceramah kiai NU, banyak disisipi kutipan tulisan atau bumbu cerita yang dimuat Al-Ghazali di Ihya'.
Namun, nasib Al-Ghazali 180 derajat berbalik saat dihadapkan pada kalangan Wahabi. Pendapat beliau dianggap tak bernilai. Ihya' dikritik habis-habisan, bahkan dianggap pembawa kesesatan. Hadits-hadits dalam Ihya' disebut dhaif (lemah)--bahkan banyak yang maudhu' (palsu). Yang kemudian direspons oleh Sayyid az-Zabidi lewat Ithaf--syarah Ihya'.
Sebaliknya,
Syaikh Ibnu Taimiyah, bagi kalangan Wahabi, beliau adalah syaikhul Islam. Yang pendapat beliau menjadi referensi utama dalam pemikiran dan hukum-hukum Islam.
Namun, di kalangan santri NU, mayoritas justru alergi dengan penulis Majmu' Fatawa itu.
من هو؟
Emang siapa dia?
Pembawa kebid'ahan dalam Islam.
Begitulah kira-kira anggapan yang sering disematkan pada Ibnu Taimiyah.
Di satu sisi disegani dan dimuliakan, di sisi lain dicaci maki dan dikritik habis-habisan.
Dulu, sebelum masuk ke LIPIA, saya melihat kampus ini gak bagus semua. Pokoknya Wahabi. Pokoknya menyesatkan. Tapi, begitu masuk kampus dan belajar di dalamnya, saya menemukan banyak kebaikan. Bahkan, bagi saya, menjadi bekal yang mahal untuk pengembangan pemikiran dan kajian keilmuan.
Sampai hari ini, ada sebagian elemen warga sebuah provinsi yang tidak bisa move on dari gubernur idolanya. Setiap ada masalah di provinsi tersebut, langsung panggil-panggil nama mantannya. Tiap kali gubernur sekarang bikin kebijakan, langsung dibanding-bandingkan dengan yang lama. Andai-andai. Pokoknya gubernur ini selalu salah.
Sebaliknya, ada yang saking demennya pada sang gubernur, sampai menjulukinya Gubernur rasa presiden. Mantabbb bener. Tiap kebijakan dan pidatonya selalu dipuja-puja--dianggap paling wah sedunia. Pidato gubernur rasa presiden lah.
Begitu seterusnya, dan seterusnya...
Objek yang sama, bisa berubah harga atau nilainya. Tergantung dari sudut mana seseorang memandangnya. Atau tergantung pada tingkat pengetahuan seseorang untuk menilainya.
Mungkin kita ingat dengan perumpamaan dua orang buta yang disuruh memegang seekor gajah. Lalu, keduanya diminta untuk mendeskripsikan sosok gajah. Ternyata, berbeda-beda hasilnya. Tergantung dari sisi mana, orang buta tersebut memegang si gajah.
Babat, 5 April 2019
@mskholid
Selamat Idul Fitri 1440 H
Beberapa waktu lalu, lewat channel Youtube Mata Najwa saya menyimak diskusi dengan judul "Laga Usai Pilpres". Menampilkan dua orang perwakilan dari tiap kubu.
Salah satu hal yang dibahas ialah menyikapi viralnya sikap salah satu tokoh populer di Indonesia saat ini. Dia sedang gebrak-gebrak meja.
Kubu A menyebut, orang tersebut marah-marah. Emosional.
Sementara kubu B menyebut si A tidak mengenal dengan baik karakter tokoh tersebut.
"Lha, kalau kita dengar kabar seseorang sedang gebrak-gebrak meja, apa tidak bisa kita sebut marah-marah?" argumen Si A.
"Berarti Anda tidak mengenal beliau. Itu memang gaya dan karakter beliau yang seperti itu. Tidak berarti sedang marah. Beliau sedang berekspresi."
"Kalau berekspresi, kenapa pula pakai gebrak-gebrak meja?"
"Ya, itu marahnya ke meja."
"Kasihan sekali meja. Gak ikut ngapa-ngapain kena marah."
Begitu kira-kira perdebatan ramai antar dua kubu. Saya tidak ingat persis dialognya, karena saya dengarkan sambil menyetir mobil.
Saya jadi teringat dengan Kitab Tafsir Rawai'ul Bayan, karya Syekh Ali as-Shabuny. Ulama ahli tafsir asal al-Balad al-Amìn.
Bagi sebagian kalangan, karya Syaikh As-Shabuny adalah salah satu rujukan tafsir kontemporer yang berkelas. Keilmuan beliau diakui banyak kalangan ulama dunia.
Tapi, bagi kalangan lain, karya beliau malah difatwakan membawa kesesatan. Sehingga ada fatwa lanjutan; haram membeli kitab karya beliau. Bahkan bersedekah dengan bentuk kitab beliau pun dinilai batil. Karena sama saja menebarkan kebatilan (kesesatan).
Contoh lain, Sang Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, bagi kalangan NU, beliau adalah segala-galanya. Kitabnya, Ihya' Ulumuddin, seakan menjadi bacaan wajib santri NU. Bahkan, kiai yang belum khatam Ihya', bisa disebut belum matang kekiaiannya. Ceramah kiai NU, banyak disisipi kutipan tulisan atau bumbu cerita yang dimuat Al-Ghazali di Ihya'.
Namun, nasib Al-Ghazali 180 derajat berbalik saat dihadapkan pada kalangan Wahabi. Pendapat beliau dianggap tak bernilai. Ihya' dikritik habis-habisan, bahkan dianggap pembawa kesesatan. Hadits-hadits dalam Ihya' disebut dhaif (lemah)--bahkan banyak yang maudhu' (palsu). Yang kemudian direspons oleh Sayyid az-Zabidi lewat Ithaf--syarah Ihya'.
Sebaliknya,
Syaikh Ibnu Taimiyah, bagi kalangan Wahabi, beliau adalah syaikhul Islam. Yang pendapat beliau menjadi referensi utama dalam pemikiran dan hukum-hukum Islam.
Namun, di kalangan santri NU, mayoritas justru alergi dengan penulis Majmu' Fatawa itu.
من هو؟
Emang siapa dia?
Pembawa kebid'ahan dalam Islam.
Begitulah kira-kira anggapan yang sering disematkan pada Ibnu Taimiyah.
Di satu sisi disegani dan dimuliakan, di sisi lain dicaci maki dan dikritik habis-habisan.
Dulu, sebelum masuk ke LIPIA, saya melihat kampus ini gak bagus semua. Pokoknya Wahabi. Pokoknya menyesatkan. Tapi, begitu masuk kampus dan belajar di dalamnya, saya menemukan banyak kebaikan. Bahkan, bagi saya, menjadi bekal yang mahal untuk pengembangan pemikiran dan kajian keilmuan.
Sampai hari ini, ada sebagian elemen warga sebuah provinsi yang tidak bisa move on dari gubernur idolanya. Setiap ada masalah di provinsi tersebut, langsung panggil-panggil nama mantannya. Tiap kali gubernur sekarang bikin kebijakan, langsung dibanding-bandingkan dengan yang lama. Andai-andai. Pokoknya gubernur ini selalu salah.
Sebaliknya, ada yang saking demennya pada sang gubernur, sampai menjulukinya Gubernur rasa presiden. Mantabbb bener. Tiap kebijakan dan pidatonya selalu dipuja-puja--dianggap paling wah sedunia. Pidato gubernur rasa presiden lah.
Begitu seterusnya, dan seterusnya...
Objek yang sama, bisa berubah harga atau nilainya. Tergantung dari sudut mana seseorang memandangnya. Atau tergantung pada tingkat pengetahuan seseorang untuk menilainya.
Mungkin kita ingat dengan perumpamaan dua orang buta yang disuruh memegang seekor gajah. Lalu, keduanya diminta untuk mendeskripsikan sosok gajah. Ternyata, berbeda-beda hasilnya. Tergantung dari sisi mana, orang buta tersebut memegang si gajah.
Babat, 5 April 2019
@mskholid
Selamat Idul Fitri 1440 H
No comments:
Write komentar