Monday, March 7, 2022

Cobalah Peran Baru

 


• Cobalah Peran Berbeda • 


Ada satu hari pasaran Jumat yang oleh Ketua Tanfidz PCNU Babat dikosongi dari jadwal khutbah. Yai Makmun menolak permintaan khutbah dari banyak masjid khusus di hari pasaran itu.

Alasannya sederhana:

"Saya pengen sesekali jadi makmum, pengen menyimak khutbah orang lain." 


Maka, pada hari pasaran itulah beliau datang di awal. Duduk di shaf pertama. Tepat di depan khatib--berdiri shalat di belakang imam Jumat. 


=== 

Sudah lama sekali saya nggak bisa menangis saat shalat. Terutama sejak 1,5 tahun terakhir. Ketika hampir selalu menjadi imam shalat. Saat jadi imam, yang dipikirkan seringkali menyesuaikan makmum. Jangan sampai makmum merasa terlalu lama shalatnya, atau terlalu cepat bacaannya. 


Pernah suatu ketika; di masjid. Saat jamaah Isya', saya membaca surah An-Naba'. 

Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tiba-tiba di pertengahan surat, saat bercerita tentang kondisi neraka Jahanam. Saya menangis tersedu-sedu. Nggak mau berhenti. Saya bingung bagaimana nyetop tangisan saya.


Akhirnya,

Saya putuskan tidak lanjut baca An-Naba'. 

Langsung "Qulhu wae Lek" dengan napas yang masih berat.

Semenjak itu, saya nggak "berani" baca Surat Amma saat jadi imam shalat. 


===


Dini hari itu, sekitar jam 03.00

Di Masjid BSI Penanjakan 1 Gunung Bromo. 

Udara menusuk tulang, saya lihat suhunya 12° celcius. Kaos panjang rangkap sweater, leher dibalut shal, tangan pakai kaos tangan dobel, dan kupluk tebal menutupi kepala dan sebagian wajah. 


Namun, dinginnya tak tertahankan. Seakan berbalok-balok es menghimpit sekujur tubuh. 

Semua rombongan ngelungker di karpet. Tak kuat menahan dinginnya. Air wudhu setara dinginnya air es.


Saya bertanya pada orang yang duduk di samping.

"Dari mana, Pak?" 

"Dari Jepara."

"Dari Salatiga."


Saya lalu ikut melungker.


Sambil mata terpejam, saya bertanya pada diri sendiri. Apa yang kamu cari di sini, Kholid? Apa tujuanmu sampai rela-rela menunggu dalam kedinginan? Apa hanya sekadar untuk melihat indahnya sunrise dari atas gunung? 

Terjadi dialog yang terus menerus berkecamuk dalam diri saya.


Tarhim berkumandang. 

Tanda sesaat lagi waktu Subuh tiba.

Saya lepas kaos kaki, kaos tangan, sweater, dan kupluk. Hanya celana dan kaos oblong panjang menutupi tubuh.


Mengambil air wudhu, dan merasakan alirannya yang melebihi dinginnya air es. Sempat terbersit menyederhanakan wudhu.

Tapi ehhh, kapan lagi saya bisa beribadah wudhu dengan tantangan dingin air semacam ini. Gumam saya. Saya wudhu dengan sempurna, membilas anggota wudhu dengan air yang mengucur deras.


Tibalah saat berjamaah Subuh.

Usai shalat dua rakaat qobliyah yang terasa "aneh", imam bangkit dan memimpin jamaah. 


Ketika itulah saya merasakan sesuatu yang berbeda dalam shalat kali ini. Dalam benak, saya bersyukur sebesar-besarnya pada Allah.

Wong orang seperti saya saja, kok masih diberi kesempatan Allah untuk shalat di tempat seperti ini. Di atas gunung yang dingin. Di tengah mayoritas penduduk yang (sepertinya) non muslim. Perlahan, saya sesenggukan. Air mata mengalir begitu deras. Saya ingin berlama-lama dalam shalat ini. Andai sampai matahari terbit pun tidak mengapa. Batin saya. Saya bahkan senang sekalipun kesempatan melihat sunrise itu hilang pagi ini.


Saat sujud, kepala menempel dinginnya lantai kayu, kedua telapak saya gosok-gosokkan lantai. Air mata semakin deras. 

Saya teringat bahwa bumi sebagai tempat berpijak sujud saya inilah yang kelak datang di padang Mahsyar. 

"Datanglah engkau ya, sebagai saksiku kelak," dalam hati saya berbisik.

Dan tangisan saya makin membucah. 

Saat membayangkan gunung ini sambil meletus-letus datang menghampiriku yang sedang menghadapi pengadilan akhirat.

Lalu, dia bersaksi bahwa saya pernah sujud dalam 2 rakaat shalat yang penuh keikhlasan dan kebahagian ibadah kepada Allah.

Sayang sekali,

Shalat sudah berakhir.

Rasanya imam terlalu cepat memimpin shalat pagi ini. Beliau membaca Adl-Dluha dan al-Insyiroh. 

Usai shalat, saya masih tidak dapat menahan derasnya air mata. 


Gunung Bromo, 6 Maret 2022


===


Abdullah bin Mas'ud dikenal bersuara merdu. Ia satu-satunya sahabat yang kerap diminta Nabi Muhammad Saw untuk membacakan ayat-ayat Alquran langsung di hadapan beliau. Rasulullah saw menyebut bacaan Ibn Mas'ud sebaik kali pertama Alquran diturunkan.

Dalam satu waktu, Rasululllah meminta Ibnu Mas'ud melafalkan beberapa ayat. 

"Bacakanlah Alquran kepadaku," pinta Rasulullah saw. 

Ibn Mas'ud menjawab, "Apakah aku membacakannya untukmu, Ya Rasulullah? Padahal kepada Engkaulah Alquran diturunkan."

"Sungguh! Aku suka mendengarnya dari orang lain," jawab Nabi.

Tak lama, sahabat bertubuh kecil itu mulai membacakannya. Kali ini, ia melantunkan surat An-Nisa. Hingga pada ayat 41 yang memiliki kandungan arti;

"Maka bagaimanakah (orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)."

Rasulullah saw berkata, "Cukup!"

Ibnu Mas’ud berhenti. Ketika ditengoknya wajah Rasulullah, Ibnu Mas'ud melihatnya tengah berurai air mata.

Nabi merasa iba ketika kelak di akhirat, ia harus menjadi saksi bagi umatnya yang durhaka. Tangisan Rasulullah, menjelma penanda atas kelembutan hati yang dimiliki, bahkan kepada nasib kaumnya yang ingkar sekalipun.

No comments:
Write komentar

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)