Thursday, August 29, 2019

Tak Ada Paksaan dalam Beragama

• Tak Ada Paksaan dalam Beragama •
لا إكراه في الدين ..
Sehingga tidak boleh lah kita memaksa orang lain untuk meyakini kebenaran dan Ke-Esa-an Tuhan.

Ini bukan berarti; bahwa semua agama benar.
Sebab, kalau semua agama benar. Semua keyakinan tentang tuhan itu benar, apa fungsinya Tuhan mengutus para nabi (pemberi kabar). Yang jumlahnya puluhan atau ratusan ribu itu.

Kenapa?

Karena, Tuhan Maha Esa itu kebenaran absolut.
Kebenaran yang tidak terbantahkan oleh akal sehat.

قد تبين الرشد من الغي
(Perbedaan) antara jalan yang benar dengan yang sesat itu sudah jelas. Gamblang.

Kebenaran absolut tentang Keesaan Tuhan, bisa dibaratkan hitungan matematika: 1 + 1 = 2.

Siapa pun yang berakal sehat dan waras, maka akan menjawab "2".
Gak perlu dipaksa-paksa dengan ancaman bunuh, bom, atau siksa neraka.

Siapa pun yang berakal sehat, pasti menjawab "2".
Gak perlu diiming-iming hadiah uang 1 juta.
Iming-iming hadiah jabatan, amplop, atau SURGA kelak.
Apalagi sekadar iming-iming sebungkus mie instan.

Saking absolutnya kebenaran itu, Nabi saw sampai dawuh dengan ekstrim:
من قال لا إله إلا الله دخل الجنة، وإن زنا وإن سرق
Siapa pun yang mengucapkan La ilaha illallah, maka akan masuk surga.
Meskipun dia pernah zina atau pernah mencuri.

Kenapa begitu?
Karena lagi-lagi, kebenaran absolut akan keesaan Tuhan itu akan tetap berlaku--siapa pun yang mengucapkannya.
Tidak peduli dia seorang pelacur.
Tak peduli dia seorang perampok.
Bahkan koruptor sekalipun, jika mengucapkan kalimat itu, ya mesti kita benarkan.

Bukan sebaliknya.
Yang aneh, zaman sekarang.
Orang jadi tertuduh kafir dan musyrik gara-gara kalimat paling absolut itu.
"Tahlilan".

Sebagaimana 1 + 1 = 2,
Sekalipun diucapkan seorang lonte atau si hidung belang, tetap kita benarkan.
Perampok sekalipun, kalau menjawab 2, ya tetap kita nilai benar.

Tidak boleh dibeda-bedakan.
Karena yang menjawab "2" itu pezina atau perampok, lantas kita tolak pengakuan itu.

Atau malah sebaliknya, seorang profesor Al-Azhar menjadi tidak mau jawab "2", gara-gara ngerti jawaban itu sudah digunakan pezina dan koruptor.
Dia memilih jawaban yang berbeda, misalnya.
Itu kan justru profesor edan. Gak bener.

Untuk meruntuhkan argumen soal keyakinan maha esa-nya tuhan, Alquran memberikan 'bayyinah'--penjelasan yang tak terbantahkan.

Misalnya, soal pendakuan Firaun sebagai tuhan.
Alquran menyebut; bagaimana dengan bapak, kakek, dan moyangnya Firaun?
Kepada siapa mereka bertuhan?
Wong Firaun-nya datang (lahir) belakangan sesudah mereka.
Kalaupun Firaun itu benar-benar tuhan, kira-kira apa tidak lebih hebat bapak, kakek, dan moyangnya Firaun?
Yang jadi sebab adanya Firaun.

Misalnya lagi,
Kalau patung itu tuhan.
Apa material sebelum patung? Batu khan?
Kenapa harus menyembah patung, jika ada batu yang lebih dulu daripada patung.

Atau,
Kalau patung itu tuhan, siapa yang memahat patung sehingga menjadi seindah itu?
Tukang pahat, bukan?
Kenapa bukan tukang pahatnya saja yang disembah. Yang dijadikan tuhan.
Bukankah dia yang menjadikannya indah--atau sebaliknya, merusaknya jadi bebatuan biasa.

Misal lagi,
Kalau Isa dan Maryam itu tuhan.
Kenapa keduanya makan?
Kenapa keduanya merasakan lapar. Yang kemudian bisa kenyang "hanya" dengan bantuan air dan roti (atau nasi, konteks kita).
Kenapa tidak air atau nasinya saja yang kita jadikan tuhan.
Wong nasi dan air itu telah berjasa besar terhadap kekuatan Isa dan Maryam.

Quran cukup bilang:
كانا يأكلان الطعام

Begitu seterusnya... dan seterusnya...

Tritunggal, 29 Agustus 2019
@mskholid

- dirangkum dari ngaji Gus Baha Narukan.
- insert: replika mumi Firaun Ramses II

No comments:
Write komentar

Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)