Wednesday, October 28, 2015

Ngustadz TV Rodja yang Menolak Tanah Ditempelkan Pipi Mayat

Masalah2 khilfaiyah seperti inilah yang kerapkali menjadi tema bahasan ngustadz di TV kabel itu. Yang lalu disebar via akunnya di youtube.

Celakanya, membahas masalah ini justru menimbulkan masalah baru. Sebab, nyatanya itu ditujukan untuk menyerang kelompok tertentu atau amaliah masyarakat tertentu.

Bagi kami, ini amat melelahkan. Amat menguras energi.

Sebab, di satu sisi kami terus berjuang menyadarkan umat yang kian lupa dengan mati. Kian terlena dengan dunia. Seakan tak peduli ia pun akan mengalami saat dikuburkan jasadnya. Ditempeli pipinya dengan tanah.

Di sisi lain, energi itu terkuras pula untuk meluruskan "serangan2" semacam ini.

Orang awam mudah percaya dengan statemen kotbah televisi itu.

Sebab, senjata yang dipakai selalu; kembali pada Alquran dan Hadis Nabi.
Logika orang awam langsung nyambung (dan manggut2) begitu dikatakan;

Alquran pasti benernya.
Hadis Nabi juga pasti bener. Sebab Nabi itu ma'shum.

Lha, kiai, guru, imam madzhab itu cuma manusia biasa. Tidak terjamin bebas dari dosa.
Jadi, pendapat mereka di kitab2 itu belum tentu benar.

Sesat dah jadinya kalo logika ini yang dipakai.

Babat, 28 Oktober 2015

Sunday, October 25, 2015

Foto Ibnu Qudamah

Pagi ini (Ahad, 2510), di acara Khalifah TV Trans yang diasuh oleh sejarawan muda, Ustadz Budi Azhari, Lc., membahas tentang Syekh Abdul Qodir Al Jaelani.

Di sana disebutkan keberhasilan pendidikan Madrasah Qodiriyah yang dipimpin Syekh Abdul Qodir Al Jaelani. Yang mana banyak menelurkan ulama-ulama besar yang mumpuni.

Salah satu ulama murid Al Jaelani adalah Ibnu Qudamah sang penulis kitab Al-Mughni.
Namun, ada yang aneh saat saya saksikan tayangannya.

Saat menyebut nama Syekh Ibnu Qudamah, tayangan di TV tersebut menampilkan foto hitam putih berikut ini. Yang selama ini kita kenal sebagai gambar seorang tokoh gerakan Islam dari Nejd.

Mohon konfirmasinya, siapa pun yang mengerti. Ini sebenarnya foto siapa?

Saturday, October 24, 2015

Siapa Anda Wahai Kiai?

Siapa Anda Wahai Kiai?

Belakangan, pertanyaan ini menjadi trending topic medsos gara2 rekaman seorang ngustadz di youtube yang mempertanyakan status sang kiai.

Lebih spesifiknya, mempertanyakan keabsahan dalil santri mencium kiainya atau gurunya.

Jawaban soal keabsahan itu, dalilnya sudah diungkap dengna sedemikian bagus oleh saudara se almamater Hanif Luthfi lewat catatan facebooknya.
Dimana adat menghormati guru/kiai/orang shalih, itu sudah dilakukan oleh para ulama salaf dan tabiin.

Saya di sini tergerak untuk menulis tema ini, sebenarnya, karena membaca status2 saudaraku Masyhari yang terus2an mendorong siapa pun untuk menulis apapun.

Saya hendak mengungkap sisi yang berbeda tentang bagaimana kami memberikan gelar kiai, ustadz, guru, atau sekadar mengangkat seseorang menjadi imam shalat kami.

Bukan perkara yang mudah.

Di lingkungan kami, para pencium tangan kiai, tidak serta merta seseorang yang baru wisuda sarjana S1 Agama Islam akan diangkat menjadi imam shalat kami.

Tak serta merta seorang lulusan kampus ternama luar negeri (Saudi Arabia) sekalipun, akan langsung ditunjuk menjadi khatib di masjid kami.

Tak langsung pula, lulusan S2 jurusan agama di kampus jakarta, bisa langsung menjadi pengisi pengajian rutin di masjid kami.

Tidak semudah itu.
Bagi kami, ada seleksi alam yang harus dilewati.

Kalau bahasa guru kami, Kiai Ahsin Sakho Muhammad, setiap lulusan sarjana atau santri harus siap menabur lebih dulu. Tak boleh langsung berharap memanen.

Artinya, ketika kembali ke masyarakat, ia harus membuktikan diri di tengah masyarakat lewat istiqomahnya shalat berjamaah di masjid.
Ia harus rajin berperan dalam tiap kegiatan keagamaan di kampung atau masjid.

Harus rela menjadi panitia bagian riwa-riwi dan usung2 barang. Dan, itu tak cukup 2 - 3 bulan. Bisa berbulan2 utk buktikan. Bahkan tahunan.

Apakah cukup?
Tidak.
Kerapkali masyarakat akan melihat dulu siapa bapak kita, siapa kakek kita, dan apa peran yang beliau2 lakukan untuk masyarakatnya.
Bila kita anak orang biasa, bisa jadi malah lebih lama lagi perjuangan kita untuk menjadi seorang guru yang mengisi sebuah kajian dan pengajian.

Apalagi mendapatkan gelar kiai...!!!???

Jadi, gelar kiai adalah sebuah perjuangan panjang kehidupan seseorang di masyarakat.
Gelar ini tak bisa dibeli, atau diperoleh lewat serangkaian ujian tulis atau semacam skripsi dan tesis.

Pesantren Kranji, 24 Oktober 2015

MS Khaled

Sunday, October 11, 2015

Suul Adab, Tanya; Ikut Nabi apa Ulama?

Suul adab orang yang mempertanyakan;
"Mau ikut kata Nabi apa kata imam Syafii, Malik, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad?"

Tentu saja kami ikut sabda Nabi Muhammad saw dengan pemahaman imam-imam tersebut.
Bukan atas pemahaman di bawah standard kalian.

Imam-imam madzhab itu masa hidup nya lebih dekat zaman Rasulullah. Termasuk dalam tingkatan خير القرون .
Mereka belajarnya pada orang2 yang pernah belajar pada sahabat Nabi.
Mereka cerdas pun ikhlas.

Hafal Alquran
Hafalan hadisnya tak cuma Umdatul Ahkam.
Tapi ratusan ribu, hingga jutaan hadis telah dihafal luar kepala.

Tak seperti "islam-nya" Masa Kini, yang cuma ngandalin laptop dan Maktabah Syamilah.

Kalau keyword yang dimasukkan di Syamilah gak ada, langsung aja bilang:
"TAK ADA HADISNYA"
"TAK ADA DALILNYA"

11102015

Friday, October 9, 2015

Berita "Islam" Masa Kini

Berita "Islam" Masa Kini

Kok tiba-tiba terbersit tanya:
- Dari mana ya asal munculnya "islam" masa kini itu?
- Apakah sekawan dengan Islam Nusantara?
- Ataukah malah sekawan dengan Islam yang katanya salafi itu?

Tapi, saya perhatikan2 kok gak ada sama sekali miripnya "islam" masa kini dengan nusantara atau salafi.

Dengan dalih masa kini, bisa jadi lalu menyimpulkan sebuah hukum agama menjadi amat mudah.

Ya, karena belajar bahasa arab yang mendetail hingga gramatikalnya itu sulit. Butuh waktu lama dan bertahun2.
Cukup baca terjemahan saja. Gampang, cepet, dan langsung bisa.

Mempelajari Ushul Fiqh itu butuh otak yang cerdas. Pikiran dingin dan kelapangan hati. Butuh memeras keringat pula.
Bahkan, butuh bercangkir-cangkir kopi panas.

Khatam Alquran itu tak cukup waktu sehari. Apalagi harus memahami maksud-maksud ayat yang dikaitkan dg asbabun nuzulnya. Itu butuh baca pula kitab tafsir dan asbabun nuzul.
Jadi, karena "islam" masa kini, ya cukup comot satu ayat dan jadikan dalil. Hantam dah...
Kena dah tu tetangga.

Memahami hadis secara mendalam dan benar itu pun rumit. Harus mengerti redaksi kalimatnya, Ashabul wurud, dan keterkaitan dengan hadis2 lainnya.
Itu butuh waktu lama. Bisa jadi, puluhan kitab syarah tak cukup sebagai referensi.

Tapi, karena "islam" masa kini itu berbeda. Mottonya; islam itu mudah, jangan persulit.
Ya, langsung aja ambil satu hadis, jadi dalil dah untuk hukumin si amalan A atau B itu syirik, bidah, kafir, dan lain sebagainya.

Wednesday, October 7, 2015

Produsen Aneka Kreasi Rajut

@rajutmenik
Kreasi tangan dari Lamongan.
Aneka seni rajut unik dan cantik
- gantungan kunci
- tempat HP
- boneka wisuda
- bross
- kalung rajut
- de el el
Cantik khan?
Lihat koleksi lain?
Follow akun instagram nya.
Pesen atau tanya-tanya?
Booolehhhh....
With Owner:
Arini PIN BB = 7E7AFF00
WA/SMS☎ : +6285731089546
IG : rajutmenik

Saturday, September 26, 2015

Umar, Menangis Sebab Harta Berlimpah

Umar, Menangis Sebab Harta Berlimpah
Usai kemenangan lawan Persia, ada banyak harta rampasan bagi kaum muslimin. Seperlima harta rampasan di medan perang, adalah jatahnya Madinah. Baik untuk baitul maal atau dianggarkan untuk hal lain. Sesuai kebijakan Amirul Mukminin.
Ketika itu, Khalifah kita adalah Al Faruq; Umar bin Khattab.
Jatah harta rampasan yang seperlima itu dibawa oleh Ziyad bin Abu Sufyan--bersama sekelompok pasukan menuju Madinah.
Tiba di Madinah, waktu sudah malam. Oleh Umar, harta diminta ditaruh di sudut masjid. Abdurrahman bin Auf dkk yang kebagian jaga.
Beberapa senior mengusulkan agar disimpan di baitul maal. Tapi, Umar ra memutuskan untuk membagikan pada warga Madinah.
Usai shalat Subuh, warga sudah berkumpul.
Umar lalu membuka penutup harta rampasan perang itu.
Betapa berlimpah dan banyaknya harta yang diperoleh. Ada permata, emas, berlian, batu mulia, dan aneka perhiasan bernilai lainnya.
Demi melihat itu, air mata Umar meleleh deras.
Wajahnya tampak sedih...
Abdurrahman bin Auf pun menanyakan sebabnya.
"Bila umat sudah dilimpahi kekayaan dan kemakmuran seperti ini, aku kuatir akan timbul permusuhan dan kedengkian di antara mereka.
Pikiran mereka tak lagi untuk umat dan kejayaan Islam. Tapi, sudah mulai berlomba untuk harta dan kekayaan."
(Au kama qaala Umar).
Kekuatiran itu muncul, bisa jadi karena umar memang diberi karomah oleh Allah swt melihat masa depan.
Atau, muncul sebab melihat latar belakang kehidupan bangsa Arab.
Selama ini, bertahun-tahun, bangsa Arab memperoleh kekayaan lewat kerja keras dan usaha tak mudah.
Mereka harus riwa riwi di musim panas dan dingin, ke Yaman dan Syam. Dengan hasil yang secukupnya.
Beberapa kelompok malah berprofesi sebagai tukang antar (pengawal) kafilah perdagangan melintasi gurun pasir. Mempertaruhkan nyawa demi upah yang kadang tak seberapa.
~~
Dan kini, Umar menangis saat menyaksikan begitu mudahnya kaum muslimin mendapatkan harta berlimpah ruah. Beliau amat kuatir.
~~~
Di sumber lainnya, saya baca saat menang perang di Tikrit (Irak), tiap anggota pasukan kavaleri mendapat jatah 1000 dirham.
Pasukan berkuda mendapat jatah 3000 dirham.
Berapa itu kalau di kurs kan rupiah?
Silakan cari referensi sendiri.
Wallahu A'lam
Aula Tabah, 26 September 2015

Sendirian Jalan Kami 490 km

Sampai sekarang saya masih belum bisa membayangkan perjalanan hijrah sahabat Ali bin Abi Thalib, dari Mekah ke Madinah.

Malam itu, usai penggerebekan yang gagal di ndalem Baginda Rasulullah saw, Ali yang berperan sebagai pengganti di tempat tidur Rasulullah segera bertindak.
Beliau segera mengembalikan barang2 (amanah) orang Quraisy yang dititipkan kepada Baginda Rasulullah.

Setelah semua beres, Ali segera bergerak menyusul Rasulullah. Hijrah menuju Madinah.
Sendirian. Tanpa teman.
Jarak Mekah - Madinah itu sekitar 490 km. Itu setara dengan perjalanan Lamongan ke Cirebon. Atau lebih ke barat sedikit.
Tidak naik kuda atau unta.

Tapi, jalan kaki.
Beratnya,
Jalanan akses menuju Madinah tak seperti zaman sekarang. Banyak jalan aspal atau cor-coran.
Sendirian,

Melintasi jalan berbatu, mendaki bukit, menuruni lembah, melewati padang pasir. Sendirian.
Siang hari, beliau sembunyi.
Malam hari, lanjutkan perjalanan.
Ingat pula, tak ada senter. Ali juga tak punya hape Nokia yang bisa nyala lampunya. Tak punya petromaks.

Entah berapa minggu beliau tiba di Madinah.
Entah dan entah apa lagi yang terjadi selama menempuh perjalanan itu.
Bisa jadi, ada banyak keajaiban dan karomah yang diberikan Allah bagi walinya itu. Namun, cerita itu tak pernah sampai pada kita.

Atau, karena memang Imam Ali tak pernah menceritakannya pada siapa pun.

Wallahu A'lam...

Aula Tabah, 26 September 2015


Adv.

IKLAN Hubungi: 0896-2077-5166 (WA) 0852-1871-5073 (Telegram)